• Beranda
  • Artikel dan Esai
  • Akademik
    • Beasiswa dan Kepemudaan
    • Tugas Kuliah
    • Soon
  • Puisi
  • Cerpen
  • Pidato
  • #Berani Merasa
  • Excel
instagram facebook youtube Google+ bloglovin Email

Aksara Fauzi

"Aku hadir saat mata terpejam..."

Source: Antimalware News

Perbincangan mengenai bullying kembali mencuat ke permukaan. Pada era milenial ini, bullying memiliki kemasan baru sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, yaitu cyberbullying. 

“Jarimu harimaumu” adalah pepatah baru yang menerminkan keadaan di era pesatnya globalisasi. Akhir-akhir ini media sosial mengalami alif fungsi dari tempat untuk mendekatkan yang jauh menjadi ajang fitnah, gibah, dan menjatuhkan satu sama lain. 

Dewasa ini, cyberbullying seolah menjadi tren yang sayang untuk dilewatkan. Pengguna sosial media tidak menyelidiki dahulu suatu permasalahan sampai ke akar, semuanya ditelan mentah-mentah. Nahasnya, anak dibawah umur terjerat dalam rantai cyberbullying ini, tidak sedikit anak usia SD menjadi korban hanya karena keawamannya dalam memanfaatkan produk perkembangan zaman, yaitu sosial media.

Kasus cyberbullying sangat berdampak fatal kepada para korban, mulai dari psikis, penurunan performa akademis dan sampai tindakan bunuh diri. Contoh konkretnya adalah kematian Amanta Todd, perempuan yang masih mengenyam bangku kelas 1 SMP yang ditemukan tewas gantung diri di rumahnya pada 10 Oktober 2012. Data yang diperoleh UNICEF pada 2016, sebanyak 41 hingga 50 persen remaja di Indonesia dalam rentang usia 13 sampai 15 tahun pernah mengalami tindakan cyberbullying. Angka ini tidak menutup kemungkinan terus meingkat.

Bertolak dari fenomena tersebut, peran orangtua dan pemerintah adalah unsur vital untuk mereduksi cyberbullying. Perlu adanya edukasi yang tepat dengan komunikasi yang baik kepada anak sejak dini mengenai bijak dalam bersosial media. Pemerintah pun harus tegas dalam membangun  UU ITE agar para pelaku cyberbullying berkurang dan memberi efek jera. Dengan demikian, generasi muda akan tumbuh menjadi manusia yang bijak dalam pemanfaatan teknologi dan selalu mengedepankan introspeksi dibandingkan diskriminasi atau intimidasi. 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Judul: Anti Panik Berbicara di Depan Umum
Penulis: Asti Musman
Penerbit: Komunika
Cetakan: I, Mei 2018
Tebal: 308 halaman
ISBN: 978-602-5638-50-3
Harga: Rp 58.800,00 
Dale Carnegie dalam buku “Sukses Berkomunikasi” (2015) menyatakan bahwa berdasarkan survei mengenai ketakutan yang dirasakan manusia, berbicara di depan publik menempati posisi teratas dibandingkan ketakutan lainnya seperti kematian, penyakit atau hilangnya pekerjaan. Berdasarkan hasil survey The People’s Almanac: The Book of Lists terhadap tiga ribu orang Amerika, salah satu yang mengejutkan adalah jawaban terhadap pertanyaan “Apa yang paling Anda takutkan”, hasil surveinya ternyata yang menduduki tempat teratas adalah berbicara di hadapan kelompok, yaitu 41%.

Ketakutan berbicara di depan umum atau keberanian yang tidak muncul atau ketakutan yang tidak beralasan disebut sebagai glossophobia. Artinya sama seperti “demam panggung”. Saat sedang berada di sebuah keramaian acara atau dalam sebuah situasi, kemudian nama kita disebut dan dipanggil ke depan untuk berbicara di depan publik, tiba-tiba lutut terasa lemas, perut mual, telapak tangan berkeringat, dan sulit untuk mengeluarkan kata-kata.

Ketika kita menghadiri suatu acara, seringkali terkagum dan bahkan iri menyaksikan pembawa acara yang pandai berbicara di depan umum dan mampu mencairkan suasana. Kemampuan tersebut tentu saja tidak didapatkan secara instan. Mereka yang tampak percaya diri di hadapan publik, telah melakukan latihan terus-menerus. 

Banyak aspek yang harus dikuasai agar lihai memainkan irama suatu acara. Pembiasaan diri dan keterampilan berbahasa adalah hal mutlak yang harus dimiliki seorang pembawa acara. Saat bertugas sebagai pembawa acara, lancar tidaknya suatu acara, berhasil tidaknya suatu acara, tergantung pada pembawa acara. Mengingat pentingnya peran yang dimainkannya, orang yang ditugasi tentu bukan orang yang sembarangan.

Pembawa acara juga merupakan orang yang terpilih dan mempunyai bekal yang cukup. Beberapa bekal pembawa acara antara lain kepribadian, semangat, pengetahuan, dan keterampilan. Saat tampil membawakan acara, pembawa acara perlu memerhatikan hal-hal yang menyangkut cara berpakaian, bersikap, memandang hadirin, berdiri, memegang mikrofon, dan cara mengakhiri acara.

Tugas pembawa acara bukan hanya membacakan susunan acara yang sudah tertulis, yang dapat dilakukan semua orang. Bukan hanya itu. Pembawa acara adalah seorang pemimpin yang bila di perlukan, sewaktu-waktu harus dapat mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi. Kemampuan untuk mengoordinasikan berbagai bidang yang berkiatan dengan pelaksanaan acara sangat iperlukan, sebab kelancaran dan kesuksesan sautu acara menjadi tanggungjawabnya. Untuk itu, pembawa acara harus melakukan tahapan-tahapan, yaitu tahap orientasi, tahap penyusunan acara, dan tahap pelatihan.

Selain menjadi pembawa acara, hal yang tak kalah menakutkan tampil di depan umum adalah berpidato. Maka dari itu, sama halnya menjadi pembawa acara, latihan terus menerus adalah wajib agar bisa sukses berpidato. Adapun menurut Hudoro Sameto dalam buku “Cara Berbicara dan Presentasi dengan Audio-Visual” lima langkah sukses berpidato, yaitu survey, analisis, rencana/ bagan, aktualisasi/ realisasi, serta pencatatan dan evaluasi.

Terkadang sebagian orang ketika berada di atas podium cenderung mengubah gaya pidato menjadi lebih formal sehingga terkesan kaku. Kenyataannya, pidato tidak melulu harus formal. Menjadi diri sendiri pun adalah penting. Bersikaplah seolah terjadi percakapan. Penggunaan kata atau kalimat juga lebih baik dibandingkan kalimat panjang. Kita pun dalam beberapa kesempatan harus menyampaikan segalanya secara sederhana dan langsung, tergantung situasi dan kondisi audiens. Adapun beberapa unsur yang bisa membuat pidato lebih hidup dan menjad ilebih menarik, yaitu kisah, audiensi, humor, analogi, fakta yang mengejutkan, anekdot, dan kejadian aktual. Dengan menguasai semua unsur tersebut, maka tidak ayal kita akan mampu mencuri perhatian audiens dan menjadi primadona dalam acara.

Secara keseluruhan, buku ini sarat akan informasi mengenai berbicara di depan umum dan penguasaan diri agar acara berjalan sukses. Materi yang disajikan pun sangat mudah dicerna karena disampaikan dengan penjelasan-penjelasan praktis, dalam bahasa yang lugas dan santai. Nilai tambah lainnya adalah adanya tips dan trik cara berpidato dan MC sesuai situasi dan kondisi dan mengulas cara-cara mengatasi demam panggung secara sederhana, sebab panggung adalah medan perang para MC/ pembawa acara. Ragam contoh susunan acara, ucapan pembawa acara, hingga ragam contoh pidato pada berbagai acara pun termaktub dalam buku ini, sehingga memudahkan pembaca untuk mengimplementasikannya. Buku ini juga menguak kekuatan pidato tak hanya pada isi pidato, namun juga gaya berpidato yang ditampilkan tokoh dunia, beserta contoh pidato mereka yang pidatonya mampu menarik simpati massa, seperti  Bung Karno, Bung Tomo, Hitler, Fidel Castro, dll.

Dilihat dari sisi sistematika, buku ini mempunyai sistematika yang baik karena setiap bab disusun secara terstruktur sehingga pembaca lebih mudah mengikuti alur pemikiran dari penulisnya. Buku ini sangat disarankan dan bisa menjadi bekal untuk berbagai kalangan yang ingin terjun ke dunia public speaking. Terutama yang saat ini masih berguru di perguruan tinggi dan mengambil jurusan komunikasi atau pun sejenisnya.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Hingga pertengahan 2018 tanaman kampus mulai dari rerumputan hingga tanaman-tanaman kecil yang ditanam sepanjang jalan di kampus UIN Bandung ini tak kunjung tumbuh. Terlebih ketika musim kemarau tiba, hanya kekeringan yang saya lihat. Upaya dari pihak kampus untuk penghijauan belumlah terlihat. Terbukti dengan mendahulukan perenovasian gedung rektor, tetapi tidak mengindahkan kehijauan kampus.

Saat musim hujan datang, memang kampus terlihat menghijau, selain itu, terpampang papan peringatan agar tidak menginjak tanaman. Namun hal ini tidak diimbangi dengan kinerja petugas untuk menjaga tanaman. Hal ini pun diperkeruh oleh tindakan mahasiswa yang mengacuhkan peringatan, sehingga tanaman pun hancur karena diinjak.

Sebagaimana yang saya ketahui, kampus semakin gersang, padahal jika dilihat secara geografis, kampus UIN Bandung berada di kaki Gunung Manglayang. Suhu udara pun semakin panas, tidak sesejuk gambaran suhu Bandung, malah cenderung seolah suhu di Sahara. Kegersangan lebih terasa ketika kendaraan berparkiran secara liar menyesaki jalanan kampus. Masalah ini mungkin sekilas sedikit sepele, masih ada hal besar yang lebih penting untuk dibenahi, tetapi bagaimana mungkin kampus besar seperti UIN Bandung tidak bisa menyelesaikan masalah sesepele ini?

Masker menjadi perlengkapan yang wajib dibawa oleh saya dan kebanyakan mahasiswa lainnya. Udara sudah tidak sehat. Polusi ada dimana-mana. Jalanan untuk transportasi dan pedestrian sama sempitnya, sehingga terkadang pejalan kaki harus berjalan di jalan untuk kendaraan dan konsekuensinya adalah terpapar asap knalpot yang berbahaya.

Kalau boleh saya memberi saran, sebaiknya pihak yang terkait dalam manajemen tata ruang kampus serta sarana dan prasarana mesti melangkah lebih dari langkah-langkah kemarin yang sudah dilakukan, seperti dengan menanam rerumputan dan tanaman yang sesuai dengan suhu di kampus dan memilih tanah dan pupuk yang lebih menyuburkan. Setelah itu, untuk perawatan sebaiknya diurus oleh orang yang secara khusus ditugaskan untuk merawat tanaman tersebut. Kemudian untuk mempermudah penyiraman, sebaiknya disediakan keran di setiap lokasi tanaman. Terakhir, jangan bosan-bosan untuk mengajak seluruh mahasiswa mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, bahkan seluruh pengunjung kampus agar bersama-sama merawat gerakan kampus hijau ini.
 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Source: Riaumandiri

Tahun 2019 adalah tahun euforia dari implementasi nilai-nilai demokrasi yang dipegang teguh bangsa Indonesia. Segenap rakyat Indonesia akan menghelat hajat besar yang rutin diadakan selama lima tahun sekali. Ya, rakyat Indonesia akan mengetahui who will be the next president of Indonesia. Walaupun acara besar itu akan dilaksanakan awal tahun 2019, namun, kini sudah banyak baligo, spanduk, maupun poster yang dilengkapi foto para calon presiden dan calon wakil presiden yang memenuhi setiap sudut pusat kota dan pedesaan, bahkan sampai menyesakkan timeline media sosial.

Dalam kampanye pilpres pada tahun 2019 yang mengusung nomor urut 1 yaitu bapak Joko Widodo dan prof. KH. Makruf Amin serta di posisi nomor urut ke 2 yaitu bapak Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Atmosfer persaingan antarkedua kubu sudah terasa. Keduanya berlomba-lomba untuk eksis di hati masyarakat.

Kisruh “Sontoloyo” dan “Tampang Boyolali”

Pada Pilpres 2019 mendatang, sudah terlihat sangat rentan dengan pertarungan yang menghalalkan segala cara untuk meraih simpatisan masyarakat termasuk black campaign. Dalam hal ini black campaign termasuk hoax, money politics, dan vote buying, dan sebagainya yang melanggar norma-norma sosial dan kode etik. 

Belum sembuh masyarakat Indonesia dari luka akibat hoax yang meresahkan yang dilakukan Ratna Sarumpaet –mengaku dikeroyok oleh sejumlah orang di Bandung, muncul masalah baru, yaitu saling melontarkan ‘panggilan buruk’. Suhu politik semakin panas karena masing-masing tim sukses dan para pendukung pasangan calon terus menerus berusaha membangun basis argumentasi rasional dalam rangka merebut basis pemilih di setiap TPS, walaupun dalam praktek di lapangan keduanya tidak mampu memberikan pendidikan politik yang sehat kepada Masyarakat karena mereka –kedua kubu, telah sukses mempertahankan istilah “cebong dan kampret”, sebuah istilah sangat kontradiksi dengan peradaban yang dicita-citakan para pendiri Bangsa ini, karna Bangsa Indonesia dibangun atas dasar moral dan etika.

Para kompetitor politik dari keduanya tengah saling sindir dengan panggilan yang mungkin menurut keduanya wajar dalam tataran demokrasi di persimpangan jalan ini. Seolah sebutan ‘cebong dan kampret’ belumlah cukup, muncul ‘panggilan cinta’ yang baru.  Prabowo Subianto menyindir konsep dan kehidupan kapitalisme di Indonesia tidak akan bisa dinikmati oleh kaum Marhaenis dengan memunculkan istilah “Tampang Boyolali” yang berujung gesekan kecil diantara para pendukung. Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo calon petahana Pilpres 2019 dua kali berturut-turut mengeluarkan pernyataan dan menurut sebagian kalangan dapat dikategorikan sebagai pernyataan menggelikan sekaligus “menakutkan”, yaitu istilah “Sontoloyo” dan “Genderuwo” yang membuat tim suksesnya hampir kedodoran menanggapi bullyan dari warganet.  Istilah “Sontoloyo” dan “Tampang Boyolali” menjadi diskursus di kalangan masyarakat. Suasana perpolitikan pun panas antar kedua pendukung. Wibawa seorang calon presiden dan wakil presiden pun seolah tidak dihiraukan lagi. Hal ini berujung pada sebuah pertanyaan, “Pantaskah calon presiden dan wakil presiden berbuat demikian?”

Ethos, Pathos, dan Logos

Pada hakikatnya, segala tindakan dan ucapan para bakal calon presiden dan wakil presiden adalah representatif kepribadiannya masing-masing. Terlepas mengenai panggilan-panggil di atas dianggap sebuah lelucon, setiap masyarakat memiliki kadar penerimaan informasi dan interpretasi yang berbeda-beda, mispersepsi pun tidak terelakkan. Maka dari itu, kedua bakal calon harus pintar dalam branding namanya masing-masing. Ketika mereka mengkomunikasikan sesuatu, yang berpengaruh bukan saja apa yang ia katakan, tetapi juga keadaan dia sendiri. “He doesn’t communicate what he says, he communicates what he is.”. Ia tidak dapat menyuruh pendengar hanya memperhatikan apa yang ia katakan. Pendengar juga akan memperhatikan siapa yang mengatakan. Terkadang, ‘siapa’ lebih penting dari ‘apa’. Sudah tentu hal ini harus dijadikan perhatian khusus bagi kedua kubu untuk bisa mencuri hati masyarakat dalam pemilu nanti melalui kampanye politik. 

Para capres dan cawapres beserta tim suksesnya adalah komunikator dengan pesan yang berisi kelebihan-kelebihan yang dikemas apik dalam kampanye untuk disampaikan kepada masyarakat selaku komunikan. Komunikasi persuasif dengan retorika yang mumpuni adalah hal wajib dimiliki komunikator. Kemampuan dan keahlian untuk berbicara di depan publik dan untuk mempersuasi komunikan untuk melakukan sesuatu melalui seni berbicara adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pelatihan seorang intelektual (Jalaluddin Rakhmat, 1989).

Sementara itu, dalam sistematisasi retorika, Aristoteles menyebutkan aspek terpenting dalam teori dan dasar pemikiran retorika adalah tiga jenis pendekatan untuk mempersuasi komunikan, yakni logos, pathos dan ethos. Ketiga hal ini adalah satu kesatuan yang harus dimiliki para bakal calon nomor urut 1 dan 2. Jika salah satunya tidak dimiliki, maka akan terjadi ketimpangan atau justru menajdi cacat dalam proses pemasaran diri (kampanye).

Seorang calon pemimpin tidak hanya dilihat dari kepandaiannya dalam pengungkapan gagasan (bersifat intelektual), tetapi juga karakter dan kredibelitas menjadi pondasi penting agar apa yang disampaikan dapat diterima baik masyarakat. Seorang calon pemimpin dituntut memiliki karakter moral yang baik dan diterima oleh siapapun itu, atau biasa disebut akhakul karimah. 

Jika melihat fakta lapangan, ethos dari kedua kubu tidak nampak. Orang yang memiliki ethos baik tidak akan mengujar kata-kata kebencian, saling menjegal dan menjatuhkan satu sama lain. Revolusi mental yang dielu-elukan pun seolah tidak berlaku untuk para pemimpin. Pemimpin yang baik adalah yang kredibel, yang bisa dipercaya semua konstituenya karena hanya pemimpin kredibel yang mampu menjadi pemimpin visioner

Kemudian, dilihat dari unsur pathos, seorang pemimpin harus memiliki kemampuan membuka jalan untuk orang lain; mampu menyentuh perasaan dan emosi seseorang melalui teladan hidup dan kehidupan. Tujuan akhir dari pathos adalah agar komunikator bisa mempelajari kondisi emosional komunikan dan berupaya untuk menyelaraskan kondisi emosional itu dengan sifat yang harus dimiliki. Pemimpin yang memiliki unsur pathos, akan tau keadaan emosional masyarakatnya, sehingga akan adanya ikatan batin antara keduanya. 

Pathos atau daya tarik emosional, berarti membujuk publik dengan menarik emosi mereka. Penggunaan pathos yang umum adalah untuk menarik rasa iba dari komunikan atau publik. Para pemimpin harus menyadari topik-topik emosional yang hangat terjadi, salah satunya yaitu sistem nilai dan kepercayaan. Daya tarik yang emosional perlu untuk diciptakan, seperti mengangkat citra “wong cilik”; menjunjung keberagaman; dan yang paling penting adalah toleransi.

Dengan adanya sindiran “Tampang Boyolali”, ini menandakan bahwa calon pemimpin tersebut belum bisa menempatkan diri dengan keadaan dan dianggap tidak peka terhadap kondisi emosional masyarakat, hal ini memicu terjadinya demonstrasi akibat ujaran yang dipandang merendahkan masyarakat Boyolali. Pemimpin harus tahu karakter komunikan sehingga tidak salah dalam mengambil langkah.

Kemudian, ungkapan “sontoloyo” pun dianggap bentuk ketidakmampuan dalam mengolah emosi. Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniagotokoh politik menanggapi sikap emosional Jokowi dalam menanggapi kritik tentang pencairan dana kelurahan yang diangkat jelang Pilpres 2019, menurutnya, jika saja Jokowi bisa lebih tenang dalam menghadapi kritik, maka umpatan “sontoloyo” tidak akan keluar. Sebab, ungkapan ini justru akan merugikan dirinya sendiri karena ungkapan tersebut berkonotasi negatif. (dilansir dari www.eramuslim.com)

Adapun dari aspek logos, yaitu kemampuan komunikator yang mampu mengungkapkan kata-kata yang dapat atau mampu meyakinkan orang lain, sehingga mereka mendapatkan pengetahuan baru ataupun berkembang secara intelektual dan kecerdasannya. Dalam persaingan pilpres 2019 ini, kedua kubu harus memaparkan intelektualitasnya secara sistematis, persuasif, dan tepat sasaran. Referensi pun harus kuat, bukan hanya “katanya”. Dalam melakukan perbandingan dan penganalogian pun harus didukung data-data yang akurat. Jika hal ini disepelekan, maka meskipun memiliki maksud yang baik tetapi penyampainnya tidak terstruktur, hanya akan menciptakan mispersepsi dan miskomunikasi.

Ketika ketiga aspek ini diperhatikan secara serius dan diimplementasikan dalam kegiatan perpolitikan, para capres dan cawapres akan mudah mengambil hati masyarakat. Arti demokrasi akan jelas terlihat. Sehingga keseimbangan hidup berbangsa dan bernegara akan tercipta.
Pentingnya Pendidikan Politik

Kemudian, bertolak dari fenomena yang telah dipaparkan, penulis berpendapat bahwa pendidikan politik adalah penting –baik bagi capres, cawapres, tim sukses, dan masyarakat umum. Hal ini dilakukan agar masyarakat cerdas sebagai pemilih yang memiliki kapabilitas untuk memilih. Para capres dan cawapres pun memiliki kecakapan sebagai aktor dalam ajang demokrasi ini, sehingga persaingan secara sehat pun akan terwujud dan kedamaian pun antara keduanya akan terjalin baik. 

Pendidikan politik ini pun mesti dilakukan secara berkelanjutan. Kerawanan pemilu yang berpotensi pada konflik di pilpres 2019 perlunya partisipasi masyarakat yang cerdas. Partisipasi masyarakat bukan hanya sebagai penyumbangan hak suara saja namun diambang pengontrolan pemerintah mesti dilakukan. Pemilihan pemimpin yang baik harus dilaksanakan dengan masyarakat yang cerdas, masyarakat yang cerdas dilahirkan melalui pendidikan politik yang mencerdaskan pula, pendidikan politik yang baik didasari keterbukaan, transparansi dan aksesibilitas yang baik pula. Dengan demikian, masyarakat mampu mengontrol emosi menghadapi kisruh antar elit politik.


REFERENSI

Fitri, A. (2018). Dinamika dan Tantangan Jelang Pemilu Presiden 2019. Kemudi: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 113-131.
Maswadi Rauf, M. N. (1993). Indonesia dan Komunikasi Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Morissan. (2016). Psikologi Komunikasi. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Rakhmat, J. (1989). Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Rakhmat, J. (2013). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Source: wikipedia

Keragaman bahasa, budaya dan agama yang menjadi entitas bangsa Indonesia disusupi ideologi-ideologi radikal yang memecah belah umat. Nahasnya, nama Islam selalu dikaitkan dengan fenomena radikalisme di Indonesia. Destruksi wajah Islam diselancarkan media-media liberal. Polarisasi pun tercipta sebagai implikasinya. Umat Islam terpecah menjadi 2 bagian, yang dianggap Islam radikal dan Islam moderat. 

Beruntungnya, umat Islam bersatu untuk purinitas citra Islam. Moderasi Islam diangkat dan keeksistensiannya terus digaungkan. Organisasi-organisasi Islam pun tak mau ketinggalan dalam gerakan ini, salah satunya adalah organisasi Nahdlatul Ulama. 

NU, Ormas Islam Moderat

NU adalah organisasi Islam yang telah lama malang-melintang dalam memperjuangkan bentuk-bentuk moderasi Islam, baik melalui institusi pendidikan ataupun kiprah dalam sosial-politik-keagamaan. Organisasi yang didirikan K.H. Hasyim Asy’ari ini merupakan organisasi sosial-keagamaan yang berperan aktif dalam merawat dan menguatkan jaringan dan institusi-institusi penyangga moderasi Islam, bahkan menjadikan Indonesia sebagai proyek percontohan toleransi bagi dunia luar. Dikatakan pula, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU selama ini memainkan peran yang signifikan dalam mengusung ide-ide ke-Islam-an yang toleran dan damai (Hamid, 2007).

Pada dasarnya, sikap moderasi Islam yang dilakukan NU tidak terlepas dari akidah Ahlusunah waljama’ah (Aswaja) yang digolongkan moderat. Dalam Anggaran Dasar NU dikatakan, bahwa NU sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah berakidah Islam menurut paham Aswaja dengan mengakui empat madzhab, yaitu Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali. Perkataan Ahlusunah waljama’ah diartikan sebagai “para pengikut tradisi Rasulullah saw. dan ijtima’ ulama”. Sementara itu, watak moderat (tawassuth) sangat erat dengan Aswaja, disamping juga I’tidal (bersikap adil), tawazun (bersikap seimbang), dan tasamuh (bersikap toleran), sehingga ia menolak segala hal yang ekstrim yang akan berpenetrasi kepada penyelewengan ajaran Islam. 

Dalam pemikiran keagamaan, juga dikembangkan jalan tengah antara naqli dan aqli, sehingga dapat terjadi akomodatif terhadap perubahan-perubahan di masyarakat selama tidak bertentangan dengan aturan yang dogmatis. Aswaja bersikap toleran terhadap tradisi dibandingkan kelompok-kelompok lain. Selain itu, toleransi yang ditunjukan Aswaja pun diimplemantasikan kepada pluralisme pemikiran. Dalam hal ini, Aswaja sangat responsif terhadap hasil pemikiran berbagai madzhab, baik yang mu’tabar maupun ghair mu’tabar.

Model keberagamaan NU ini mengingatkan kita kepada proses Islamisasi yang dilakukan para wali di Indonesia. Sebagaimana diketahui, para wali melakukan akulturasi dengan tradisi yang sudah ada –berakar dari agama Hindu dan kepercayaan animisme dinamisme, contohnya Sunan Kalijaga yang memanfaatkan wayang dan melakukan perubahan substansi cerita menjadi lebih Islami. Ini pun dapat dikatakan suatu pendekatan yang bijak, sebagaimana firman Allah “serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik” (Q.S. An-Nahl: 125). 

Dalam mendinamiskan masyarakat, kalangan NU selalu menghargai budaya dan tradisi lokal. Melaksanakan tradisi secara selektif dalam bingkai syariat merupakan sikap hidup kontekstual sebagaimana peribahasa, “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Bersikap seperti ini bukan berarti bersikap permisif terhadap tradisi, namun tetap selektif dengan menjadikan norma-norma syariat sebagai cara pandangnya. Hal ini merupakan cara-cara persuasif untuk mengekspresikan wajah Islam yang moderat.

Salah satu contoh tradisi NU yang berakar dari agama Hindu-Budha adalah Tahlilan. Secara historis, keberadaan tahlilan adalah salah satu wujud keberhasilan Islamisasi terhadap tradisi-tradisi masyarakat Indonesia pra-Islam terhadap orang yang meninggal. Inti acara tersebut mulanya diisi mabuk-mabukkan, kemudian setelah adanya Islam diisi dengan nilai-nilai keislaman yang dapat mendatangkan manfaat kepada orang yang meninggal dunia, keluarga duka, serta masyarakat secara umum. 

Islam Nusantara Menangkal Radikalisme

Adapun bentuk usaha untuk mengenalkan Islam Moderat, NU menyuguhkan konsep Islam Nusantara. Konsepan ini muncul ketika Muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur dengan tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”. Kemunculan produk NU ini diiringi pro dan kontra, bahkan banyak yang salah mendefinisikan Islam Nusantara. Ada pula yang sengaja menuliskan Islam Nusantara sebagai agama baru. Seperti yang kita ketahui, topik ini bahkan menjadi diskursus di jagad dunia maya. Tidak sedikit yang menyudutkan organisasi Islam yang berdiri pada 31 Januari 1926 ini dengan dalil-dalil ilmu yang minim dan patut dipertanyakan kredibelitasnya. Mereka yang tidak setuju Islam Nusantara mengkritisi tanpa merujuk makna yang dikembangkan NU, melainkan membuat definisi sendiri. 

Spirit Islam Nusantara adalah penghargaan tradisi lokal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. Disini kemudian dituduh sebagai anti-Arab. Padahal Islam tidak identik dengan Arab sehingga tradisi lokal yang bersesuaian dengan kalam Tuhan dapat diterima. Hal ini layak dikembangkan dalam konteks kekinian ketika Islam berkembang ke seluruh pelosok dunia melalui proses migrasi dan kemudahan komunikasi. Beberapa negara tempat Muslim bermigrasi mengeluhkan soal integrasi Muslim dengan masyarakat lokal. Sikap tertutup ini memunculkan kesan bahwa Islam itu eksklusif. Ketertutupan ini menjadi akar munculnya paham radikal, tidak mau menerima paham lain dan bersifat keras. Pesan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin tidak terasa. 

Masih berbekas dengan jelas aksi terorisme yang terjadi di Gereja Surabaya. Paska serangan bom bunuh diri di tiga Gereja Surabaya pada bulan Mei 2018 menjadi titik balik bagi Islam, dan dunia Islam mendapat sorotan secara luas oleh masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Beragam argumentasi dan spekulasi mengenai latar belakang terjadinya aksi teror pun bermunculan. Salah satu spekulasi yang banyak dibicarakan adalah bahwa teror ini didalangi kelompok radikal, terutama yang memiliki keterpautan dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Penyebaran paham radikal ini disebarluaskan melalui narasi ideologi dengan mengutip ayat-ayat kitab suci yang multitafsir, penafsiran yang dilakukan bersifat tekstual, bukan kontekstual.

Terorisme tidak cukup ditangkal hanya dengan peluru atau penjara. Counter ideologi harus dilakukan untuk meluruskan narasi ideologi radikal dengan ideologi yang moderat. Menurut penulis, Islam Nusantara adalah salah satu contoh tandingan ideologi. Deradikalisasi dapat terlaksana jika NU dan anggota masyarakat bahu membahu bekerja sama, bukan justru berdebat hingga tak berujung.

Islam Nusantara dengan membawa semangat nilai-nilai yang santun, toleran, cinta damai,  menjunjung kemanusiaan, perdamaian, dan cinta tanah air menjadikannya sebagai harapan dalam penyelesaian problematika keumatan pada umumnya, dan radikalisasi Islam pada khususnya. Gagasan Islam Nusantara membentuk gerakan Islam kultural sebagai lawan dari gerakan radikalisasi Islam yang merupakan gerakan Islam ideologi. Jika gerakan Islam Nusantara sebagai produk pemikiran dapat diterima dan diimplementasikan secara masif, maka gerakan radikalisasi dalam Islam akan tersingkirkan secara pemikiran dan praktik. 

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa NU adalah organisasi keislaman yang memiliki sepak terjang dan menjadi pionir dalam moderasi Islam di Indonesia. Organisasi dengan K.H. Ma’ruf Amin sebagai Rais Aam Syuriah dan Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siradj, M.A. selaku ketua umum Tanfidziyah ini telah, sedang, dan akan terus melakukan kontribusi untuk menciptakan kesatuan dalam keberagaman.

Share
Tweet
Pin
Share
5 komentar
Sumber: Qureta

Tahun 2016-2018 menjadi masa-masa kelam untuk seluruh masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, rentetan peristiwa terorisme kembali mencuat ke permukaan dan memborbardir berbagai daerah. Tidak ditemukan lagi waktu untuk bersantai dengan penuh ketenangan dan kedamaian. Tiap detik selalu diawasi penuh waspada.

Dimulai dari aksi terorisme bak panggung adu kekuatan antara kepolisian dengan pelaku bom Thamrin, teror bom dan pembunuhan ke kantor polisi di berbagai daerah –disinyalir aksi balas dendam para teroris atas kematian rekannya dalam bom Thamrin–, hingga berlanjut teror ke rumah ibadah –lebih parahnya aksi ini dilancarkan oleh satu keluarga. Tak ayal, seluruh media menyorot, bahkan media luar negeri pun tak luput dalam pemberitaan peristiwa ini. 

Pada era globalisasi saat ini, media menjadi trendsetter dalam kemajuan yang ada. Media bukan hanya menyajikan informasi untuk khalayak, di sisi lain, juga berperan dalam penggiringan opini publik. Islam pun selalu menjadi objek utama dalam beragam diskusi, terutama mengenai Islam radikal dan Islam moderat.

Padahal, pada dasarnya Islam lahir dengan segala kelembutan ajarannya. Secara eksplesit, Al-Quran menyebut Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Implementasi dari nilai-nilai Islam itu adalah kehadirannya melahirkan keselarasan hidup dengan menjunjung toleransi positif dalam keberagamaan dan kepercayaan, hal ini tertuang dalam Q.S. Al-Kafirun ayat 1-6, selaku umat Islam kita dituntut untuk menghormati segala macam perbedaan –dalam hal ini adalah agama– dengan penghormatan yang sewajarnya sebagaimana perlakuan mereka kepada kita. Dengan demikian, ini adalah salah satu acuan bahwa Islam adalah agama yang toleran atau biasa dikenal dengan agama yang moderat.

Media: Islam Agama Radikal

Masih berbekas dengan jelas aksi terorisme yang terjadi di Gereja Surabaya. Paska serangan bom bunuh diri di tiga Gereja Surabaya pada bulan Mei 2018 menjadi titik balik bagi Islam, dan dunia Islam mendapat sorotan secara luas oleh masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Beragam argumentasi dan spekulasi mengenai latar belakang terjadinya aksi teror pun bermunculan. Salah satu spekulasi yang banyak dibicarakan adalah bahwa teror ini didalangi kelompok radikal, terutama yang memiliki keterpautan dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).

Peristiwa tersebut mengingatkan kita akan serangan ke gedung WTC pada 2001 silam. Pada saat itu, Islam berada pada masa-masa sulit. Muslim di Amerika menjadi sorotan dunia. Segala gerak-geriknya dicurigai. Belum lagi perspektif media Amerika Serikat telah mengalami banyak distorsi dan mis-informasi mengenai Islam. Generalisasi terhadap perjuangan yang dilakukan atas nama jihad, oleh media Liberal Barat diidentikkan dengan gerakan kekerasan, fundamentalis dan radikal. Penggiringan opini ini menjadi semakin kuat karena peran media Barat yang terus memborbardir masyarakat dengan informasi yang mempropagandakan Islam. Dampak dari kejahatan media ini adalah munculnya Islamophobia di benua Amerika. Tak bisa dipungkiri, media adalah alat propaganda dan ideologis.

Usaha destruktif wajah Islam yang dilakukan media Barat seolah menular kepada media dalam negeri. Kini, media massa di Indonesia telah mengalami penyalahan prinsip, sehingga muncul keberpihakan dan pendiskreditan atau memancing sentimen golongan tertentu –dalam hal ini adalah umat Islam. 

Komersialisasi media tak terelakkan. Independensi dan kredibelitas media pun diragukan. Media yang diharapkan sebagai kontrol terhadap problematika sosial yang terjadi, justru sebaliknya. Informasi yang disajikan di-framing sedemikian rupa. Realita yang dipilih direkonstruksi agar dipersepsi oleh masyarakat sesuai dengan perspektif media yang bersangkutan. Belum lagi ramainya praktek konglomerasi media, yaitu saat media berada di bawah genggaman tokoh-tokoh yang terlibat dalam dunia politik. Segala macam informasi pun disortir hanya untuk memberikan kesan baik dirinya dan partai politik yang ditungganginya.

Kita bisa mengambil contoh dari peristiwa ‘Aksi Damai Bela Al-Quran 212’. Lebih dari satu juta umat Islam bersatu meluncur ke ibu kota Jakarta, namun aksi ini tak mampu menyedot perhatian media massa di Indonesia yang sering menganggap selalu netral. Banyak media umum memilih untuk tidak mem-blow up secara besar-besaran. Sebagaimana biasa, kalaupun ada, lebih banyak tidak jujur melihat fakta. 

Diantara ketidakjujuran itu adalah mengambil angle lain dengan tidak mengindahkan materi utama, yaitu menuntut pelaku penistaan agama. Sebagian besar media lebih menyukai  penggunaan kata ‘aksi Islam garis keras’ dibandingkan ‘aksi damai’. Hal tersebut tentu menciptakan polarisasi di tengah-tengah masyarakat –terlebih masyarakat yang minim akan pemahaman agama. 

Penulis pernah bertanya kepada salah satu wartawan mengenai hasil liputannya ketika ‘Aksi Damai Bela Al-Quran 212’. Angle yang diangkat untuk dijadikan berita ternyata cenderung kepada pengucilan Islam. Terjadi pembiasan tentang Islam yang digambarkan sebagai agama radikal, contohnya menuding umat muslim sebagai perusak fasilitas umum, terjadinya perkelahian, dan tidak menghormati umat agama lain. Bukan berarti tidak tahu kode etik jurnalis yang menjunjung keberimbangan informasi, hal itu dilakukannya berdasarkan tuntutan perusaahan media tempat dia bekerja.

Hal di atas menggambarkan bahwa idealisme jurnalis menentukan berita yang disajikan. Tidak banyak jurnalis yang menjunjung idealismenya sebagaimana yang tertuang dalam kode etik jurnalistik. Sisi agama pun memiliki kontribusi dalam pembentukan idealisme jurnalis, maka dari itu jurnalis dituntut bukan hanya paham aturan manusia, tetapi juga tanggung jawab dia kepada tuhan-Nya akan hal yang dilakukannya.

Jurnalisme dan Purinitas Citra Islam

Bertolak dari fenomena derasnya informasi yang dipenuhi ujaran kebencian, Islam harus mengambil peran dalam dunia jurnalistik. Peran jurnalisme Islam dituntut tampil sebagai wahana budaya tanding terhadap dominasi media liberal yang masih memandang Islam sebagai musuh yang harus diperangi.
Seluruh umat Islam berkewajiban dalam purinitas citra Islam, terutama tokoh dakwah (da’i) –yang memiliki tanggung jawab besar dalam penyemaian nilai Islam. Namun, Islam memiliki kelemahan dalam sumber daya manusia. Kebanyakan da’i hanya pandai berbicara di atas mimbar, tetapi yang piawai dalam kegiatan jurnalistik atau kepenulisan terbilang sedikit. Media tulisan sebagai proses penyampaian nilai-nilai Islam harus di-revitalisasi. Sehingga diharapkan akan muncul para jurnalis muslim yang siap bersaing di pasar informasi global.

Adapun tipologi media massa yang harus diangkat oleh para jurnalis muslim adalah jurnalisme profetik, bukan provokatif. Jurnalisme profetik adalah jurnalisme kenabian yang mengupayakan penyebaran informasi dan berita dengan penggunaan bahasa yang santun, ramah, damai, dan toleran (moderat). Harapannya, pembaca lebih menemukan pendidikan, pencerahan, kedamaian, dan keterbukaan hati untuk memahami substansi Islam secara esensial. Dalam konteks ini, isi kualitas lebih ditonjolkan dibandingkan ideologi semata. Tipe ini juga bermuara pada penciptaan perdamaian, anti kekerasan, dan anti konflik. Semangat berjihad sembari membangun masyarakat plural dan multikultural lebih ditonjolkan ketimbang segmentasi karena suku, bangsa, dan agama.

Jurnalisme Islam dengan ideologi profetik mesti responsif terhadap segala pergerakan informasi dan sanggup melakukan filterisasi informasi Barat yang kerap menanam bias kejahatan terhadap Islam, mampu menjadi penerjemah dan frontier spirit bagi pembaruan dan gagasan-gagasan kreatif kontemporer. Jurnalisme Islam harus sanggup mempersatukan kelompok-kelompok umat sambil memberikan kesiapan untuk bersikap terbuka bagi perbedaan paham. Islam harus menjadi kelompok tengah (moderat), tidak mudah menjustifikasi terhadap suatu hal. 

Ditengarai sebagai antitesis dari munculnya paham radikalisme, dengan demikian muncul gerakan moderasi Islam. Visi moderasi Islam merupakan tawaran paradigma dan konsepsi yang ideal. Sebab, moderasi Islam tidak hanya berhenti sebatas wacana dan paradigma semata, melainkan moderasi dapat mengejewantahkan dalam bentuk gerakan. Paham Islam radikal harus diimbangi dengan tujuan Islam moderat. Alhasil, kerukunan menjadi keniscayaan bagi bangsa ini karena kerukunan merupakan perwujudan kedewasaan berbangsa dan bernegara yang penuh dengan perbedaan (unity and diversity). 

Dari sisi jurnalis, meminjam istilah Kang Jalal, bahwa jurnalis muslim harus menjadi orang saleh muslih, hadin, dan muhtadin, bukan fasid dan mufsid, atau dhal dan mudhil (Rakhmat, 1994). Dengan demikian jurnalis muslim diharapkan mampu berdiri di garda terdepan dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam di tengah derasnya informasi dengan campur tangan media Barat yang selalu berusaha mencacati wajah Islam.

Maka dari itu, sinergitas antara da’i atau jurnalis muslim –dengan jurnalisme profetiknya– dan pesan dakwah mengenai moderasi Islam akan mampu membangkitkan citra Islam yang aman, damai, dan toleran. Hal ini berimplikasi kepada intensitas gaung informasi media Barat yang akan meredup. Dengan menguatnya toleransi dan moderasi, masyarakat tidak akan mudah disusupi oleh doktrinasi gerakan-gerakan radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme. Bahkan sebaliknya, masyarakat akan menjadi tembok kokoh untuk menangkal gejala pendangkalan agama tersebut. Strereotip negatif tentang Islam pun lambat laun akan hilang dari diskursus tokoh liberal dan media Barat. Sehingga, peradaban yang bermartabat dan memanusiakan manusia akan tercipta. 

Muhammad Irfan Fauzi
Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Kiriman Lampau

Siapakah Aksa?

Siapakah Aksa?
Aku adalah apa yang kamu baca dan dengar

Ikuti dan Tanya Aku!

  • instagram
  • facebook
  • youtube
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

Apa aja yang banyak dicari?

  • [Syarhil] Akhlak Rasulullah sebagai Kunci Perbaikan Dekadensi Moral
    Ilustrasi Assalamualaikum wr.wb. Dewan juri yang kami hormati! para peserta Musabaqah Syarhil Qur’an yang berbahagia, serta ha...
  • Dollar menjadi Raja
    “Waduh! Sembako mahal!” “BBM naik!” “Kemana pemerintah? Kok bahan-bahan pokok jadi mahal!” Itulah beberapa pernyataan yang terlo...
  • Disiplin, Apakah perlu?
    Saat mendengar kata “Disiplin” maka pikiran yang terlintas di benak kita adalah suatu beban atau suatu tanggung jawab yang ...
  • Beasiswa PPA 2019 UIN Sunan Gunung Djati Bandung
    Assalamualaikum! Hallo! Apa kabar? Semoga sehat selalu ya.. Berjumpa lagi dengan Aksa di tahun yang berbeda tapi kabar yang sama...
  • [Story Telling] Malin Kundang (+Video)
    Once upon a time, there was a poor boy named Malin Kundang. He lived with his old mother in West Sumatera. He was very nice boy but he...
  • Mengenal Pilar Budaya Cianjur
    Sejak dahulu, Kabupaten Cianjur sudah terkenal dengan budaya 3M (Maos, Mamaos, Maenpo) yang menjadi ciri Kabupaten Cianjur. Bupati Cianjur...
  • Ruksakna Iman jeung Alam (Bahasa Sunda)
    Sumber: ISNET Dina surat Ar-Rum ayat 40 deugika 42, Alloh negeskeun ka manusa, yén ‘ngayugakeun kahirupan’ , ‘nyiptakeun rejeki’ ajan...
  • [PUISI] Tangis (W.S. Rendra)
    Tangis Karya: W.S. Rendra Ke mana larinya anak tercinta Yang diburu segenap penduduk kota? Paman Doblang! Paman Doblang! Ia la...
  • Best Position Paper Asia World MUN III (Committee OIC)
    Topic : “Discussing the Roles of Member States and the OIC in Response to the Ongoing Refugee Crisis” Commit...
  • Cyberbullying, Tren Generasi Milenial Indonesia
    Source: iam1n4.com Perbincangan mengenai bullying kembali mencuat ke permukaan. Masalah kolot yang biasanya terjadi di sekolah ini b...

Postingan Terbaru!!

Ada Apa Aja?

  • Artikel dan Essai
  • Beasiswa dan Kepemudaan
  • Berani Merasa
  • Cerpen
  • Excel
  • Pidato
  • Puisi
  • Tugas Kuliah

Garis Waktu

  • Juli 2025 (2)
  • Desember 2023 (1)
  • September 2021 (1)
  • Agustus 2021 (1)
  • Mei 2021 (1)
  • Maret 2021 (3)
  • November 2020 (3)
  • Oktober 2020 (1)
  • September 2020 (1)
  • Agustus 2020 (6)
  • Juli 2020 (3)
  • Juni 2020 (1)
  • Mei 2020 (3)
  • April 2020 (7)
  • Maret 2020 (5)
  • Februari 2020 (1)
  • Januari 2020 (5)
  • November 2019 (1)
  • Oktober 2019 (1)
  • Juni 2019 (1)
  • Mei 2019 (1)
  • Maret 2019 (1)
  • Februari 2019 (1)
  • Januari 2019 (2)
  • Desember 2018 (6)
  • November 2018 (3)
  • Oktober 2018 (10)
  • September 2018 (5)
  • Agustus 2018 (6)
  • Juli 2018 (3)
  • April 2018 (6)
  • Desember 2015 (8)
  • Juli 2015 (1)
  • April 2015 (1)
  • Maret 2015 (9)

Created with by Aksara Fauzi | Helped by Someone