Source: Antimalware News |
Perbincangan mengenai bullying kembali mencuat ke permukaan. Pada era milenial ini, bullying memiliki kemasan baru sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, yaitu cyberbullying.
“Jarimu harimaumu” adalah pepatah baru yang menerminkan keadaan di era pesatnya globalisasi. Akhir-akhir ini media sosial mengalami alif fungsi dari tempat untuk mendekatkan yang jauh menjadi ajang fitnah, gibah, dan menjatuhkan satu sama lain.
Dewasa ini, cyberbullying seolah menjadi tren yang sayang untuk dilewatkan. Pengguna sosial media tidak menyelidiki dahulu suatu permasalahan sampai ke akar, semuanya ditelan mentah-mentah. Nahasnya, anak dibawah umur terjerat dalam rantai cyberbullying ini, tidak sedikit anak usia SD menjadi korban hanya karena keawamannya dalam memanfaatkan produk perkembangan zaman, yaitu sosial media.
Kasus cyberbullying sangat berdampak fatal kepada para korban, mulai dari psikis, penurunan performa akademis dan sampai tindakan bunuh diri. Contoh konkretnya adalah kematian Amanta Todd, perempuan yang masih mengenyam bangku kelas 1 SMP yang ditemukan tewas gantung diri di rumahnya pada 10 Oktober 2012. Data yang diperoleh UNICEF pada 2016, sebanyak 41 hingga 50 persen remaja di Indonesia dalam rentang usia 13 sampai 15 tahun pernah mengalami tindakan cyberbullying. Angka ini tidak menutup kemungkinan terus meingkat.
Bertolak dari fenomena tersebut, peran orangtua dan pemerintah adalah unsur vital untuk mereduksi cyberbullying. Perlu adanya edukasi yang tepat dengan komunikasi yang baik kepada anak sejak dini mengenai bijak dalam bersosial media. Pemerintah pun harus tegas dalam membangun UU ITE agar para pelaku cyberbullying berkurang dan memberi efek jera. Dengan demikian, generasi muda akan tumbuh menjadi manusia yang bijak dalam pemanfaatan teknologi dan selalu mengedepankan introspeksi dibandingkan diskriminasi atau intimidasi.