Sontoloyo VS Tampang Boyolali: Perspektif Ethos, Pathos, dan Logos

by - Desember 13, 2018

Source: Riaumandiri

Tahun 2019 adalah tahun euforia dari implementasi nilai-nilai demokrasi yang dipegang teguh bangsa Indonesia. Segenap rakyat Indonesia akan menghelat hajat besar yang rutin diadakan selama lima tahun sekali. Ya, rakyat Indonesia akan mengetahui who will be the next president of Indonesia. Walaupun acara besar itu akan dilaksanakan awal tahun 2019, namun, kini sudah banyak baligo, spanduk, maupun poster yang dilengkapi foto para calon presiden dan calon wakil presiden yang memenuhi setiap sudut pusat kota dan pedesaan, bahkan sampai menyesakkan timeline media sosial.

Dalam kampanye pilpres pada tahun 2019 yang mengusung nomor urut 1 yaitu bapak Joko Widodo dan prof. KH. Makruf Amin serta di posisi nomor urut ke 2 yaitu bapak Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Atmosfer persaingan antarkedua kubu sudah terasa. Keduanya berlomba-lomba untuk eksis di hati masyarakat.

Kisruh “Sontoloyo” dan “Tampang Boyolali”

Pada Pilpres 2019 mendatang, sudah terlihat sangat rentan dengan pertarungan yang menghalalkan segala cara untuk meraih simpatisan masyarakat termasuk black campaign. Dalam hal ini black campaign termasuk hoax, money politics, dan vote buying, dan sebagainya yang melanggar norma-norma sosial dan kode etik. 

Belum sembuh masyarakat Indonesia dari luka akibat hoax yang meresahkan yang dilakukan Ratna Sarumpaet –mengaku dikeroyok oleh sejumlah orang di Bandung, muncul masalah baru, yaitu saling melontarkan ‘panggilan buruk’. Suhu politik semakin panas karena masing-masing tim sukses dan para pendukung pasangan calon terus menerus berusaha membangun basis argumentasi rasional dalam rangka merebut basis pemilih di setiap TPS, walaupun dalam praktek di lapangan keduanya tidak mampu memberikan pendidikan politik yang sehat kepada Masyarakat karena mereka –kedua kubu, telah sukses mempertahankan istilah “cebong dan kampret”, sebuah istilah sangat kontradiksi dengan peradaban yang dicita-citakan para pendiri Bangsa ini, karna Bangsa Indonesia dibangun atas dasar moral dan etika.

Para kompetitor politik dari keduanya tengah saling sindir dengan panggilan yang mungkin menurut keduanya wajar dalam tataran demokrasi di persimpangan jalan ini. Seolah sebutan ‘cebong dan kampret’ belumlah cukup, muncul ‘panggilan cinta’ yang baru.  Prabowo Subianto menyindir konsep dan kehidupan kapitalisme di Indonesia tidak akan bisa dinikmati oleh kaum Marhaenis dengan memunculkan istilah “Tampang Boyolali” yang berujung gesekan kecil diantara para pendukung. Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo calon petahana Pilpres 2019 dua kali berturut-turut mengeluarkan pernyataan dan menurut sebagian kalangan dapat dikategorikan sebagai pernyataan menggelikan sekaligus “menakutkan”, yaitu istilah “Sontoloyo” dan “Genderuwo” yang membuat tim suksesnya hampir kedodoran menanggapi bullyan dari warganet.  Istilah “Sontoloyo” dan “Tampang Boyolali” menjadi diskursus di kalangan masyarakat. Suasana perpolitikan pun panas antar kedua pendukung. Wibawa seorang calon presiden dan wakil presiden pun seolah tidak dihiraukan lagi. Hal ini berujung pada sebuah pertanyaan, “Pantaskah calon presiden dan wakil presiden berbuat demikian?”

Ethos, Pathos, dan Logos

Pada hakikatnya, segala tindakan dan ucapan para bakal calon presiden dan wakil presiden adalah representatif kepribadiannya masing-masing. Terlepas mengenai panggilan-panggil di atas dianggap sebuah lelucon, setiap masyarakat memiliki kadar penerimaan informasi dan interpretasi yang berbeda-beda, mispersepsi pun tidak terelakkan. Maka dari itu, kedua bakal calon harus pintar dalam branding namanya masing-masing. Ketika mereka mengkomunikasikan sesuatu, yang berpengaruh bukan saja apa yang ia katakan, tetapi juga keadaan dia sendiri. “He doesn’t communicate what he says, he communicates what he is.”. Ia tidak dapat menyuruh pendengar hanya memperhatikan apa yang ia katakan. Pendengar juga akan memperhatikan siapa yang mengatakan. Terkadang, ‘siapa’ lebih penting dari ‘apa’. Sudah tentu hal ini harus dijadikan perhatian khusus bagi kedua kubu untuk bisa mencuri hati masyarakat dalam pemilu nanti melalui kampanye politik. 

Para capres dan cawapres beserta tim suksesnya adalah komunikator dengan pesan yang berisi kelebihan-kelebihan yang dikemas apik dalam kampanye untuk disampaikan kepada masyarakat selaku komunikan. Komunikasi persuasif dengan retorika yang mumpuni adalah hal wajib dimiliki komunikator. Kemampuan dan keahlian untuk berbicara di depan publik dan untuk mempersuasi komunikan untuk melakukan sesuatu melalui seni berbicara adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pelatihan seorang intelektual (Jalaluddin Rakhmat, 1989).

Sementara itu, dalam sistematisasi retorika, Aristoteles menyebutkan aspek terpenting dalam teori dan dasar pemikiran retorika adalah tiga jenis pendekatan untuk mempersuasi komunikan, yakni logos, pathos dan ethos. Ketiga hal ini adalah satu kesatuan yang harus dimiliki para bakal calon nomor urut 1 dan 2. Jika salah satunya tidak dimiliki, maka akan terjadi ketimpangan atau justru menajdi cacat dalam proses pemasaran diri (kampanye).

Seorang calon pemimpin tidak hanya dilihat dari kepandaiannya dalam pengungkapan gagasan (bersifat intelektual), tetapi juga karakter dan kredibelitas menjadi pondasi penting agar apa yang disampaikan dapat diterima baik masyarakat. Seorang calon pemimpin dituntut memiliki karakter moral yang baik dan diterima oleh siapapun itu, atau biasa disebut akhakul karimah. 

Jika melihat fakta lapangan, ethos dari kedua kubu tidak nampak. Orang yang memiliki ethos baik tidak akan mengujar kata-kata kebencian, saling menjegal dan menjatuhkan satu sama lain. Revolusi mental yang dielu-elukan pun seolah tidak berlaku untuk para pemimpin. Pemimpin yang baik adalah yang kredibel, yang bisa dipercaya semua konstituenya karena hanya pemimpin kredibel yang mampu menjadi pemimpin visioner

Kemudian, dilihat dari unsur pathos, seorang pemimpin harus memiliki kemampuan membuka jalan untuk orang lain; mampu menyentuh perasaan dan emosi seseorang melalui teladan hidup dan kehidupan. Tujuan akhir dari pathos adalah agar komunikator bisa mempelajari kondisi emosional komunikan dan berupaya untuk menyelaraskan kondisi emosional itu dengan sifat yang harus dimiliki. Pemimpin yang memiliki unsur pathos, akan tau keadaan emosional masyarakatnya, sehingga akan adanya ikatan batin antara keduanya. 

Pathos atau daya tarik emosional, berarti membujuk publik dengan menarik emosi mereka. Penggunaan pathos yang umum adalah untuk menarik rasa iba dari komunikan atau publik. Para pemimpin harus menyadari topik-topik emosional yang hangat terjadi, salah satunya yaitu sistem nilai dan kepercayaan. Daya tarik yang emosional perlu untuk diciptakan, seperti mengangkat citra “wong cilik”; menjunjung keberagaman; dan yang paling penting adalah toleransi.

Dengan adanya sindiran “Tampang Boyolali”, ini menandakan bahwa calon pemimpin tersebut belum bisa menempatkan diri dengan keadaan dan dianggap tidak peka terhadap kondisi emosional masyarakat, hal ini memicu terjadinya demonstrasi akibat ujaran yang dipandang merendahkan masyarakat Boyolali. Pemimpin harus tahu karakter komunikan sehingga tidak salah dalam mengambil langkah.

Kemudian, ungkapan “sontoloyo” pun dianggap bentuk ketidakmampuan dalam mengolah emosi. Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniagotokoh politik menanggapi sikap emosional Jokowi dalam menanggapi kritik tentang pencairan dana kelurahan yang diangkat jelang Pilpres 2019, menurutnya, jika saja Jokowi bisa lebih tenang dalam menghadapi kritik, maka umpatan “sontoloyo” tidak akan keluar. Sebab, ungkapan ini justru akan merugikan dirinya sendiri karena ungkapan tersebut berkonotasi negatif. (dilansir dari www.eramuslim.com)

Adapun dari aspek logos, yaitu kemampuan komunikator yang mampu mengungkapkan kata-kata yang dapat atau mampu meyakinkan orang lain, sehingga mereka mendapatkan pengetahuan baru ataupun berkembang secara intelektual dan kecerdasannya. Dalam persaingan pilpres 2019 ini, kedua kubu harus memaparkan intelektualitasnya secara sistematis, persuasif, dan tepat sasaran. Referensi pun harus kuat, bukan hanya “katanya”. Dalam melakukan perbandingan dan penganalogian pun harus didukung data-data yang akurat. Jika hal ini disepelekan, maka meskipun memiliki maksud yang baik tetapi penyampainnya tidak terstruktur, hanya akan menciptakan mispersepsi dan miskomunikasi.

Ketika ketiga aspek ini diperhatikan secara serius dan diimplementasikan dalam kegiatan perpolitikan, para capres dan cawapres akan mudah mengambil hati masyarakat. Arti demokrasi akan jelas terlihat. Sehingga keseimbangan hidup berbangsa dan bernegara akan tercipta.
Pentingnya Pendidikan Politik

Kemudian, bertolak dari fenomena yang telah dipaparkan, penulis berpendapat bahwa pendidikan politik adalah penting –baik bagi capres, cawapres, tim sukses, dan masyarakat umum. Hal ini dilakukan agar masyarakat cerdas sebagai pemilih yang memiliki kapabilitas untuk memilih. Para capres dan cawapres pun memiliki kecakapan sebagai aktor dalam ajang demokrasi ini, sehingga persaingan secara sehat pun akan terwujud dan kedamaian pun antara keduanya akan terjalin baik. 

Pendidikan politik ini pun mesti dilakukan secara berkelanjutan. Kerawanan pemilu yang berpotensi pada konflik di pilpres 2019 perlunya partisipasi masyarakat yang cerdas. Partisipasi masyarakat bukan hanya sebagai penyumbangan hak suara saja namun diambang pengontrolan pemerintah mesti dilakukan. Pemilihan pemimpin yang baik harus dilaksanakan dengan masyarakat yang cerdas, masyarakat yang cerdas dilahirkan melalui pendidikan politik yang mencerdaskan pula, pendidikan politik yang baik didasari keterbukaan, transparansi dan aksesibilitas yang baik pula. Dengan demikian, masyarakat mampu mengontrol emosi menghadapi kisruh antar elit politik.


REFERENSI

Fitri, A. (2018). Dinamika dan Tantangan Jelang Pemilu Presiden 2019. Kemudi: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 113-131.
Maswadi Rauf, M. N. (1993). Indonesia dan Komunikasi Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Morissan. (2016). Psikologi Komunikasi. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Rakhmat, J. (1989). Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Rakhmat, J. (2013). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

You May Also Like

0 komentar