Nahdlatul Ulama, Pionir Moderasi Islam di Indonesia
Source: wikipedia |
Keragaman bahasa, budaya dan agama yang menjadi entitas bangsa Indonesia disusupi ideologi-ideologi radikal yang memecah belah umat. Nahasnya, nama Islam selalu dikaitkan dengan fenomena radikalisme di Indonesia. Destruksi wajah Islam diselancarkan media-media liberal. Polarisasi pun tercipta sebagai implikasinya. Umat Islam terpecah menjadi 2 bagian, yang dianggap Islam radikal dan Islam moderat.
Beruntungnya, umat Islam bersatu untuk purinitas citra Islam. Moderasi Islam diangkat dan keeksistensiannya terus digaungkan. Organisasi-organisasi Islam pun tak mau ketinggalan dalam gerakan ini, salah satunya adalah organisasi Nahdlatul Ulama.
NU, Ormas Islam Moderat
NU adalah organisasi Islam yang telah lama malang-melintang dalam memperjuangkan bentuk-bentuk moderasi Islam, baik melalui institusi pendidikan ataupun kiprah dalam sosial-politik-keagamaan. Organisasi yang didirikan K.H. Hasyim Asy’ari ini merupakan organisasi sosial-keagamaan yang berperan aktif dalam merawat dan menguatkan jaringan dan institusi-institusi penyangga moderasi Islam, bahkan menjadikan Indonesia sebagai proyek percontohan toleransi bagi dunia luar. Dikatakan pula, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU selama ini memainkan peran yang signifikan dalam mengusung ide-ide ke-Islam-an yang toleran dan damai (Hamid, 2007).
Pada dasarnya, sikap moderasi Islam yang dilakukan NU tidak terlepas dari akidah Ahlusunah waljama’ah (Aswaja) yang digolongkan moderat. Dalam Anggaran Dasar NU dikatakan, bahwa NU sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah berakidah Islam menurut paham Aswaja dengan mengakui empat madzhab, yaitu Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali. Perkataan Ahlusunah waljama’ah diartikan sebagai “para pengikut tradisi Rasulullah saw. dan ijtima’ ulama”. Sementara itu, watak moderat (tawassuth) sangat erat dengan Aswaja, disamping juga I’tidal (bersikap adil), tawazun (bersikap seimbang), dan tasamuh (bersikap toleran), sehingga ia menolak segala hal yang ekstrim yang akan berpenetrasi kepada penyelewengan ajaran Islam.
Dalam pemikiran keagamaan, juga dikembangkan jalan tengah antara naqli dan aqli, sehingga dapat terjadi akomodatif terhadap perubahan-perubahan di masyarakat selama tidak bertentangan dengan aturan yang dogmatis. Aswaja bersikap toleran terhadap tradisi dibandingkan kelompok-kelompok lain. Selain itu, toleransi yang ditunjukan Aswaja pun diimplemantasikan kepada pluralisme pemikiran. Dalam hal ini, Aswaja sangat responsif terhadap hasil pemikiran berbagai madzhab, baik yang mu’tabar maupun ghair mu’tabar.
Model keberagamaan NU ini mengingatkan kita kepada proses Islamisasi yang dilakukan para wali di Indonesia. Sebagaimana diketahui, para wali melakukan akulturasi dengan tradisi yang sudah ada –berakar dari agama Hindu dan kepercayaan animisme dinamisme, contohnya Sunan Kalijaga yang memanfaatkan wayang dan melakukan perubahan substansi cerita menjadi lebih Islami. Ini pun dapat dikatakan suatu pendekatan yang bijak, sebagaimana firman Allah “serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik” (Q.S. An-Nahl: 125).
Dalam mendinamiskan masyarakat, kalangan NU selalu menghargai budaya dan tradisi lokal. Melaksanakan tradisi secara selektif dalam bingkai syariat merupakan sikap hidup kontekstual sebagaimana peribahasa, “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Bersikap seperti ini bukan berarti bersikap permisif terhadap tradisi, namun tetap selektif dengan menjadikan norma-norma syariat sebagai cara pandangnya. Hal ini merupakan cara-cara persuasif untuk mengekspresikan wajah Islam yang moderat.
Salah satu contoh tradisi NU yang berakar dari agama Hindu-Budha adalah Tahlilan. Secara historis, keberadaan tahlilan adalah salah satu wujud keberhasilan Islamisasi terhadap tradisi-tradisi masyarakat Indonesia pra-Islam terhadap orang yang meninggal. Inti acara tersebut mulanya diisi mabuk-mabukkan, kemudian setelah adanya Islam diisi dengan nilai-nilai keislaman yang dapat mendatangkan manfaat kepada orang yang meninggal dunia, keluarga duka, serta masyarakat secara umum.
Islam Nusantara Menangkal Radikalisme
Adapun bentuk usaha untuk mengenalkan Islam Moderat, NU menyuguhkan konsep Islam Nusantara. Konsepan ini muncul ketika Muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur dengan tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”. Kemunculan produk NU ini diiringi pro dan kontra, bahkan banyak yang salah mendefinisikan Islam Nusantara. Ada pula yang sengaja menuliskan Islam Nusantara sebagai agama baru. Seperti yang kita ketahui, topik ini bahkan menjadi diskursus di jagad dunia maya. Tidak sedikit yang menyudutkan organisasi Islam yang berdiri pada 31 Januari 1926 ini dengan dalil-dalil ilmu yang minim dan patut dipertanyakan kredibelitasnya. Mereka yang tidak setuju Islam Nusantara mengkritisi tanpa merujuk makna yang dikembangkan NU, melainkan membuat definisi sendiri.
Spirit Islam Nusantara adalah penghargaan tradisi lokal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. Disini kemudian dituduh sebagai anti-Arab. Padahal Islam tidak identik dengan Arab sehingga tradisi lokal yang bersesuaian dengan kalam Tuhan dapat diterima. Hal ini layak dikembangkan dalam konteks kekinian ketika Islam berkembang ke seluruh pelosok dunia melalui proses migrasi dan kemudahan komunikasi. Beberapa negara tempat Muslim bermigrasi mengeluhkan soal integrasi Muslim dengan masyarakat lokal. Sikap tertutup ini memunculkan kesan bahwa Islam itu eksklusif. Ketertutupan ini menjadi akar munculnya paham radikal, tidak mau menerima paham lain dan bersifat keras. Pesan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin tidak terasa.
Masih berbekas dengan jelas aksi terorisme yang terjadi di Gereja Surabaya. Paska serangan bom bunuh diri di tiga Gereja Surabaya pada bulan Mei 2018 menjadi titik balik bagi Islam, dan dunia Islam mendapat sorotan secara luas oleh masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Beragam argumentasi dan spekulasi mengenai latar belakang terjadinya aksi teror pun bermunculan. Salah satu spekulasi yang banyak dibicarakan adalah bahwa teror ini didalangi kelompok radikal, terutama yang memiliki keterpautan dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Penyebaran paham radikal ini disebarluaskan melalui narasi ideologi dengan mengutip ayat-ayat kitab suci yang multitafsir, penafsiran yang dilakukan bersifat tekstual, bukan kontekstual.
Terorisme tidak cukup ditangkal hanya dengan peluru atau penjara. Counter ideologi harus dilakukan untuk meluruskan narasi ideologi radikal dengan ideologi yang moderat. Menurut penulis, Islam Nusantara adalah salah satu contoh tandingan ideologi. Deradikalisasi dapat terlaksana jika NU dan anggota masyarakat bahu membahu bekerja sama, bukan justru berdebat hingga tak berujung.
Islam Nusantara dengan membawa semangat nilai-nilai yang santun, toleran, cinta damai, menjunjung kemanusiaan, perdamaian, dan cinta tanah air menjadikannya sebagai harapan dalam penyelesaian problematika keumatan pada umumnya, dan radikalisasi Islam pada khususnya. Gagasan Islam Nusantara membentuk gerakan Islam kultural sebagai lawan dari gerakan radikalisasi Islam yang merupakan gerakan Islam ideologi. Jika gerakan Islam Nusantara sebagai produk pemikiran dapat diterima dan diimplementasikan secara masif, maka gerakan radikalisasi dalam Islam akan tersingkirkan secara pemikiran dan praktik.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa NU adalah organisasi keislaman yang memiliki sepak terjang dan menjadi pionir dalam moderasi Islam di Indonesia. Organisasi dengan K.H. Ma’ruf Amin sebagai Rais Aam Syuriah dan Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siradj, M.A. selaku ketua umum Tanfidziyah ini telah, sedang, dan akan terus melakukan kontribusi untuk menciptakan kesatuan dalam keberagaman.
5 komentar
Waahh.. Bener nih, moderasi Islam harus digaungkan biar teroris lari terbirit-birit..
BalasHapusMantap bos
BalasHapusMakasih aksarafauzi. Jadi nambah tau tentang NU dan pentingnya moderasi Islam
BalasHapussemoga Islam Moderat terwujud ya!
BalasHapusSaya juga waktu Ponpes berbasis NU. dan memang NU itu mengajarkan Islam Moderat
BalasHapus