Dollar menjadi Raja

by - Desember 28, 2015


“Waduh! Sembako mahal!”
“BBM naik!”
“Kemana pemerintah? Kok bahan-bahan pokok jadi mahal!”

Itulah beberapa pernyataan yang terlontar dari berbagai lapisan masyarakat, baik itu pedagang, petani, ibu-ibu rumah tangga, bahkan pengusaha sekali pun. Akhir-akhir ini Indonesia sedang “dilanda” kenaikan harga bahan-bahan pokok. Kenaikan tersebut sudah seperti penyakit, jika terlalu lama tidak segera diobati, maka masyarakat akan menjerit kesakitan karena dicekik oleh kenaikan tersebut.

Nilai tukar rupiah terhadap dollar adalah salah satu diantara penyebab merangkak naiknya bahan-bahan pokok kebutuhan sehari-hari. Rupiah termasuk soft currency, yaitu mata uang yang mudah berfluktuasi ataupun terdepresiasi, karena perekonomian negara asalnya relatif kurang mapan. Mata uang negara-negara berkembang umumnya adalah mata uang tipe ini, sedangkan mata uang negara maju seperti Amerika Serikat disebut hard currency, karena kemampuannya untuk mempengaruhi nilai mata uang yang lebih lemah. Karakteristik khusus mata uang soft currency adalah sensitivitasnya terhadap kondisi ekonomi internasional. Contohnya saat krisis tahun 97/98, ketika perekonomian Indonesia dalam bahaya. Begitu pula, ketika terjadi krisis Subprime Mortgage di Amerika Serikat, Rupiah sempat terkena imbasnya. Selain itu, sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia berbagi sentimen dengan negara berkembang lainnya. Artinya, ketika sentimen terhadap negara-negara berkembang secara umum baik, maka nilai Rupiah akan cenderung menguat. Sebaliknya, ketika di negara-negara berkembang yang lain banyak kerusuhan, bencana, dan lain sebagainya, maka nilai Rupiah akan melemah.

Melemahnya nilai tukar rupiah ini sepertinya memang cukup membuat banyak pihak kewalahan. Bahkan Presiden Republik Indonesia dibuat pusing karena melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar. Oleh karena itu pemerintah harus bekerja ekstra keras agar nilai Rupiah stabil dan pada akhirnya akan berdampak pada kestabilan ekonomi, namun bukan berarti masyarakat harus berleha-leha hanya dengan menonton pemerintah yang sedang bekerja. Masyarakat juga sangat berperan aktif dalam hal ini, setiap transaksi harus dilakukan dengan mata uang rupiah. Jika kebijakan yang terdapat dalam UU No. 7 Tahun 2011 ini dijalankan tentu rupiah akan terjaga dari tekanan fluktuasi.

Kepusingan yang dirasakan Presiden Jokowi ini bukan tanpa alasan. Karena memang dengan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar ini akan membuat ketidakstabilan ekonomi. Meski memang bagi para pelaku eksportir, kondisi ini malah akan semakin menguntungkan mereka. sehingga tak heran jika mereka cukup banyak diuntungkan dengan adanya kenaikan nilai tukar Dollar.

Terlebih lagi, jika kita melihat masa lalu pada jaman rezim Soeharto kala itu di tahun 1998 terjadi krisis moneter dan ketika itu rupiah melemah. Tentu saja ada beberapa pihak yang kemudian merasa khawatir bahwa kejadian tersebut akan terulang kembali. Namun tentunya untuk membuat hal tersebut tidak terulang kembali peranan pemerintah sangatlah penting. Berbagai kebijakan-kebijakan memang sepertinya perlu diterapkan agar fenomena rupiah melemah ini bisa segera teratasi dan Rupiah sendiri harus dapat mengatasi kenaikan nilai Tukar Dollar yang memang menguat.

Kurs Rupiah yang melemah memiliki beragam implikasi bagi masyarakat, baik perusahaan maupun individual. Ada dampak positif dan dampak negative terhadap nilai tukar rupiah yang melemah, seperti nilai gaji dalam dollar AS meningkat, meningkatkan daya saing produk “Made in Indonesia” di luar negeri, harga barang impor naik, dan beban hutang Negara dan swasta semakin berat.

Oleh karena itu, pemerintah harus dengan segera menerapkan kebijakan-kebijakan yang tepat untuk membangkitkan nilai Rupiah terhadap Dollar. Masyarakat pun harus ikut berpartisipasi dalam kebijakan-kebijakan pemerintah, jangan hanya bisa berkeluh kesah tanpa ada usaha sama sekali.***


You May Also Like

0 komentar