Moderasi Islam: Peran Jurnalisme Islam di Tengah Radikalisme Agama

by - Desember 03, 2018

Sumber: Qureta

Tahun 2016-2018 menjadi masa-masa kelam untuk seluruh masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, rentetan peristiwa terorisme kembali mencuat ke permukaan dan memborbardir berbagai daerah. Tidak ditemukan lagi waktu untuk bersantai dengan penuh ketenangan dan kedamaian. Tiap detik selalu diawasi penuh waspada.

Dimulai dari aksi terorisme bak panggung adu kekuatan antara kepolisian dengan pelaku bom Thamrin, teror bom dan pembunuhan ke kantor polisi di berbagai daerah –disinyalir aksi balas dendam para teroris atas kematian rekannya dalam bom Thamrin–, hingga berlanjut teror ke rumah ibadah –lebih parahnya aksi ini dilancarkan oleh satu keluarga. Tak ayal, seluruh media menyorot, bahkan media luar negeri pun tak luput dalam pemberitaan peristiwa ini. 

Pada era globalisasi saat ini, media menjadi trendsetter dalam kemajuan yang ada. Media bukan hanya menyajikan informasi untuk khalayak, di sisi lain, juga berperan dalam penggiringan opini publik. Islam pun selalu menjadi objek utama dalam beragam diskusi, terutama mengenai Islam radikal dan Islam moderat.

Padahal, pada dasarnya Islam lahir dengan segala kelembutan ajarannya. Secara eksplesit, Al-Quran menyebut Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Implementasi dari nilai-nilai Islam itu adalah kehadirannya melahirkan keselarasan hidup dengan menjunjung toleransi positif dalam keberagamaan dan kepercayaan, hal ini tertuang dalam Q.S. Al-Kafirun ayat 1-6, selaku umat Islam kita dituntut untuk menghormati segala macam perbedaan –dalam hal ini adalah agama– dengan penghormatan yang sewajarnya sebagaimana perlakuan mereka kepada kita. Dengan demikian, ini adalah salah satu acuan bahwa Islam adalah agama yang toleran atau biasa dikenal dengan agama yang moderat.

Media: Islam Agama Radikal

Masih berbekas dengan jelas aksi terorisme yang terjadi di Gereja Surabaya. Paska serangan bom bunuh diri di tiga Gereja Surabaya pada bulan Mei 2018 menjadi titik balik bagi Islam, dan dunia Islam mendapat sorotan secara luas oleh masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Beragam argumentasi dan spekulasi mengenai latar belakang terjadinya aksi teror pun bermunculan. Salah satu spekulasi yang banyak dibicarakan adalah bahwa teror ini didalangi kelompok radikal, terutama yang memiliki keterpautan dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).

Peristiwa tersebut mengingatkan kita akan serangan ke gedung WTC pada 2001 silam. Pada saat itu, Islam berada pada masa-masa sulit. Muslim di Amerika menjadi sorotan dunia. Segala gerak-geriknya dicurigai. Belum lagi perspektif media Amerika Serikat telah mengalami banyak distorsi dan mis-informasi mengenai Islam. Generalisasi terhadap perjuangan yang dilakukan atas nama jihad, oleh media Liberal Barat diidentikkan dengan gerakan kekerasan, fundamentalis dan radikal. Penggiringan opini ini menjadi semakin kuat karena peran media Barat yang terus memborbardir masyarakat dengan informasi yang mempropagandakan Islam. Dampak dari kejahatan media ini adalah munculnya Islamophobia di benua Amerika. Tak bisa dipungkiri, media adalah alat propaganda dan ideologis.

Usaha destruktif wajah Islam yang dilakukan media Barat seolah menular kepada media dalam negeri. Kini, media massa di Indonesia telah mengalami penyalahan prinsip, sehingga muncul keberpihakan dan pendiskreditan atau memancing sentimen golongan tertentu –dalam hal ini adalah umat Islam. 

Komersialisasi media tak terelakkan. Independensi dan kredibelitas media pun diragukan. Media yang diharapkan sebagai kontrol terhadap problematika sosial yang terjadi, justru sebaliknya. Informasi yang disajikan di-framing sedemikian rupa. Realita yang dipilih direkonstruksi agar dipersepsi oleh masyarakat sesuai dengan perspektif media yang bersangkutan. Belum lagi ramainya praktek konglomerasi media, yaitu saat media berada di bawah genggaman tokoh-tokoh yang terlibat dalam dunia politik. Segala macam informasi pun disortir hanya untuk memberikan kesan baik dirinya dan partai politik yang ditungganginya.

Kita bisa mengambil contoh dari peristiwa ‘Aksi Damai Bela Al-Quran 212’. Lebih dari satu juta umat Islam bersatu meluncur ke ibu kota Jakarta, namun aksi ini tak mampu menyedot perhatian media massa di Indonesia yang sering menganggap selalu netral. Banyak media umum memilih untuk tidak mem-blow up secara besar-besaran. Sebagaimana biasa, kalaupun ada, lebih banyak tidak jujur melihat fakta. 

Diantara ketidakjujuran itu adalah mengambil angle lain dengan tidak mengindahkan materi utama, yaitu menuntut pelaku penistaan agama. Sebagian besar media lebih menyukai  penggunaan kata ‘aksi Islam garis keras’ dibandingkan ‘aksi damai’. Hal tersebut tentu menciptakan polarisasi di tengah-tengah masyarakat –terlebih masyarakat yang minim akan pemahaman agama. 

Penulis pernah bertanya kepada salah satu wartawan mengenai hasil liputannya ketika ‘Aksi Damai Bela Al-Quran 212’. Angle yang diangkat untuk dijadikan berita ternyata cenderung kepada pengucilan Islam. Terjadi pembiasan tentang Islam yang digambarkan sebagai agama radikal, contohnya menuding umat muslim sebagai perusak fasilitas umum, terjadinya perkelahian, dan tidak menghormati umat agama lain. Bukan berarti tidak tahu kode etik jurnalis yang menjunjung keberimbangan informasi, hal itu dilakukannya berdasarkan tuntutan perusaahan media tempat dia bekerja.

Hal di atas menggambarkan bahwa idealisme jurnalis menentukan berita yang disajikan. Tidak banyak jurnalis yang menjunjung idealismenya sebagaimana yang tertuang dalam kode etik jurnalistik. Sisi agama pun memiliki kontribusi dalam pembentukan idealisme jurnalis, maka dari itu jurnalis dituntut bukan hanya paham aturan manusia, tetapi juga tanggung jawab dia kepada tuhan-Nya akan hal yang dilakukannya.

Jurnalisme dan Purinitas Citra Islam

Bertolak dari fenomena derasnya informasi yang dipenuhi ujaran kebencian, Islam harus mengambil peran dalam dunia jurnalistik. Peran jurnalisme Islam dituntut tampil sebagai wahana budaya tanding terhadap dominasi media liberal yang masih memandang Islam sebagai musuh yang harus diperangi.
Seluruh umat Islam berkewajiban dalam purinitas citra Islam, terutama tokoh dakwah (da’i) –yang memiliki tanggung jawab besar dalam penyemaian nilai Islam. Namun, Islam memiliki kelemahan dalam sumber daya manusia. Kebanyakan da’i hanya pandai berbicara di atas mimbar, tetapi yang piawai dalam kegiatan jurnalistik atau kepenulisan terbilang sedikit. Media tulisan sebagai proses penyampaian nilai-nilai Islam harus di-revitalisasi. Sehingga diharapkan akan muncul para jurnalis muslim yang siap bersaing di pasar informasi global.

Adapun tipologi media massa yang harus diangkat oleh para jurnalis muslim adalah jurnalisme profetik, bukan provokatif. Jurnalisme profetik adalah jurnalisme kenabian yang mengupayakan penyebaran informasi dan berita dengan penggunaan bahasa yang santun, ramah, damai, dan toleran (moderat). Harapannya, pembaca lebih menemukan pendidikan, pencerahan, kedamaian, dan keterbukaan hati untuk memahami substansi Islam secara esensial. Dalam konteks ini, isi kualitas lebih ditonjolkan dibandingkan ideologi semata. Tipe ini juga bermuara pada penciptaan perdamaian, anti kekerasan, dan anti konflik. Semangat berjihad sembari membangun masyarakat plural dan multikultural lebih ditonjolkan ketimbang segmentasi karena suku, bangsa, dan agama.

Jurnalisme Islam dengan ideologi profetik mesti responsif terhadap segala pergerakan informasi dan sanggup melakukan filterisasi informasi Barat yang kerap menanam bias kejahatan terhadap Islam, mampu menjadi penerjemah dan frontier spirit bagi pembaruan dan gagasan-gagasan kreatif kontemporer. Jurnalisme Islam harus sanggup mempersatukan kelompok-kelompok umat sambil memberikan kesiapan untuk bersikap terbuka bagi perbedaan paham. Islam harus menjadi kelompok tengah (moderat), tidak mudah menjustifikasi terhadap suatu hal. 

Ditengarai sebagai antitesis dari munculnya paham radikalisme, dengan demikian muncul gerakan moderasi Islam. Visi moderasi Islam merupakan tawaran paradigma dan konsepsi yang ideal. Sebab, moderasi Islam tidak hanya berhenti sebatas wacana dan paradigma semata, melainkan moderasi dapat mengejewantahkan dalam bentuk gerakan. Paham Islam radikal harus diimbangi dengan tujuan Islam moderat. Alhasil, kerukunan menjadi keniscayaan bagi bangsa ini karena kerukunan merupakan perwujudan kedewasaan berbangsa dan bernegara yang penuh dengan perbedaan (unity and diversity). 

Dari sisi jurnalis, meminjam istilah Kang Jalal, bahwa jurnalis muslim harus menjadi orang saleh muslih, hadin, dan muhtadin, bukan fasid dan mufsid, atau dhal dan mudhil (Rakhmat, 1994). Dengan demikian jurnalis muslim diharapkan mampu berdiri di garda terdepan dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam di tengah derasnya informasi dengan campur tangan media Barat yang selalu berusaha mencacati wajah Islam.

Maka dari itu, sinergitas antara da’i atau jurnalis muslim –dengan jurnalisme profetiknya– dan pesan dakwah mengenai moderasi Islam akan mampu membangkitkan citra Islam yang aman, damai, dan toleran. Hal ini berimplikasi kepada intensitas gaung informasi media Barat yang akan meredup. Dengan menguatnya toleransi dan moderasi, masyarakat tidak akan mudah disusupi oleh doktrinasi gerakan-gerakan radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme. Bahkan sebaliknya, masyarakat akan menjadi tembok kokoh untuk menangkal gejala pendangkalan agama tersebut. Strereotip negatif tentang Islam pun lambat laun akan hilang dari diskursus tokoh liberal dan media Barat. Sehingga, peradaban yang bermartabat dan memanusiakan manusia akan tercipta. 

Muhammad Irfan Fauzi
Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

You May Also Like

0 komentar