• Beranda
  • Artikel dan Esai
  • Akademik
    • Beasiswa dan Kepemudaan
    • Tugas Kuliah
    • Soon
  • Puisi
  • Cerpen
  • Pidato
  • Jajan Yuk!
  • Excel
instagram facebook youtube Google+ bloglovin Email

Aksara Fauzi

"Aku hadir saat mata terpejam..."

Musim hujan di Indonesia segera berlalu. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi, musim kemarau bakal menyambangi Indonesia mulai pertengahan April, dimulai dari wilayah Nusa Tenggara, Bali hingga Jawa. Sedangkan Cianjur menjadi salah satu daerah yang siap ‘kering’ di puncak musim kemarau pada bulan Agustus ini.

Dengan datangnya musim kemarau ini, destinasi wisata air tentu akan menjadi primadona masyarakat. Bayangkan saja kesegaran air dari alam yang membasahi badan setelah tersengat matahari. Tentunya sangat menyenangkan bukan?

Begitu pula dengan warga Cianjur yang akan memburu berbagai destinasi wisata air untuk ‘basah-basahan’. Cianjur tidak hanya terkenal dengan beras pandan wangi dan makanan khas tauconya saja, tetapi Cianjur juga memiliki berbagai tempat rekreasi air yang belum diketahui banyak orang. Apa saja ya? Yuk, simak tulisan berikut ini!

1. Curug Citambur


Curug Citambur terletak di ketinggian 1400 mdpl. Air terjun yang megah ini terdiri dari tiga tingkatan, yaitu 12 meter, 116 meter, dan 2 meter. Terletak pada ketinggian 1400 mdpl, curug ini memiliki air yang sangat dingin dan seolah berkabut. Jatuhnya air yang bergemuruh disorot cahaya mentari tak pelak menghasilkan semburat pelangi tipis yang memanjakan mata.

Meskipun lokasi Curug Citambur cukup jauh dari pusat kota, tepatnya di Desa Karangjaya, Kecamatan Pagelaran, Cianjur Selatan, akses jalan menuju sana sebetulnya tidak terlalu sulit, loh.

Terlebih lagi, hamparan lahan kebun teh yang hijau sudah pasti mampu melupakan segala lelahnya perjalanan. Bagi kamu yang ingin pergi ke sana, sebaiknya gunakan kendaraan pribadi ya! Kendaraan umum yang memiliki akses ke tempat wisata ini masih terbilang sedikit. Jikalau pun ada, kamu harus siap untuk berdesak-desakan.

2. Wisata Air Curug Cikondang

Curug Cikondang kerap disebut sebagai niagara mininya Indonesia. Tak mau kalah dari curug Citambur, ada curug Cikondang yang kerap disebut sebagai ‘niagara mini’ di Indonesia. Jika curug Citambur menang dengan tingginya, maka air terjun ini menjadi juara dengan lebarnya yang mencapai hingga 30 meter. Tak heran sih, karena curug yang berlokasi di perbatasan antara Desa Sukadana dan Desa Wangunjaya, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur ini memang memiliki pesona yang luar biasa. Tertarik ke sana?

3. Wana Wisata Cirata Jangari


Buat kamu yang tidak terlalu suka riuh air yang berjatuhan, wana wisata Cirata Jangari bisa menjadi pilihan. Aliran air yang tenang dan sepoi angin yang menenangkan bisa mengembalikan mood kamu yang sedang berantakan. Obyek wisata yang berada di Desa Bobojong, Kabupaten Cianjur ini lebih mudah dikunjungi dibandingkan kedua curug di atas karena akses jalannya cukup ramai dan dilewati kendaraan umum.

Keindahan danau Cirata bisa kamu nikmati dengan menumpangi perahu kayu atau sekadar memancing di mulut danau. Jika ingin menghabiskan waktu di tempat ini hingga larut, jangan risau karena pihak pengelola telah menyediakan beberapa fasilitas penginapan yang cukup memadai.

Jadi, itulah tiga wisata air yang bisa menjadi rujukan bagi kamu yang ingin mendinginkan badan dan melepas penat dari hiruk pikuk kota. Semoga bisa menjadi inspirasi bagi yang ingin menjelajahi wisata air di Cianjur ya!

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

 

Masih jelas membekas dalam benak

Aku tergopoh kelimpungan mencari tujuan

Hilang arah tenggelam dalam gelap

Begitu sukar dijalani dengan penuh rintangan

 

Tak berangsur lama

Setitik cahaya memancar di depan pintu rumah

Jauh yang kukira, ternyata dekat nyata

Gundah yang sesak dibakar habis senyum sumringah

 

Pertemuan yang tak sempat dikira akhirnya terjadi

Masing-masing membawa bekal yang berbeda

Di dalamnya penuh ambisi dan suka cita

Berharap bisa bersatu padu membentuk realita

 

Tak disangka, bekal yang dinikmati tak seenak dikira

Beberapa hidangan yang disajikan pahit di lidah

Beragam ekspresi bermunculan

Memaki, menahan amarah, membuang, beberapa ungkapan yang muncul di air muka

 

Walau begitu, jangan sampai patah arang

Satu ikrar untuk tetap bersama menjadi pengingat

Semua kisah tak berjalan tanpa duka

Semangat suka cita perlu diangkat ke angkasa

 

Satu persatu buah pikiran diwujudnyatakan

Bersua orang-orang baru yang asing di mata

Gelak tawa mengisi kotak ingatan pendengaran

Menjelma menjadi memori yang terpenjara

 

Mengajar aksara di pagi buta

Tidak menyurutkan semangat berbagi dalam renjana

Dalam sabar, membentuk diri yang dipenuhi rasa cinta

Dalam ikhlas, menjadikan hidup lebih berguna

 

Berganti hari, berganti orang yang ditemui

Ketuk pintu terus terlempar di tiap rumah

Sambutan hangat menjadi obat

Untuk diri yang tak jarang ingin menyerah

 

Tak jarang himpitan terus mendekat

Yang tak diinginkan memaksa untuk bergerak

Kelelahan menjadi buah dari keterpaksaan

Tak ada senyum dalam keberlangsungan

 

Mau tak mau, semau harus dijalani

Semua keluh tertampar kenyataan

Buah yang beraroma busuk ternyata menyimpan manis

Menjadi pelipur lara saat raga hendak runtuh

 

Baru saja menyicipi nikmatnya buah

Waktu memaksa untuk menelannya dengan segera

Manis yang dirasa hanya singgah sedetik

Seperti kalimat yang akhirnya berujung titik

 

Adik-adik..

Sebelum bibir kelu berujar ‘sampai jumpa’

Izinkan kami berujar kejujuran dari palung hati terdalam

 

Terima kasih sudah mau mendengarkan dongeng di pagi hari

Berjejer rapi menghadap kami

Sorot mata yang tertuju kepada kami tiada henti

Sungguh, itu semua menentramkan hati

 

Pak, Bu..

Tiada kata yang sanggup kami ucapkan selain terima kasih

Terima kasih atas pelukan hangat penuh cinta

Senantiasa sabar mendengarkan celoteh mahasiswa

 

Sahabat..

Mungkin, sekarang belumlah terlambat

Bolehkah aku sampaikan sebuah kejujuran?

Yang terpendam dalam luka dan kehinaan

Bersemayam dalam diri yang hampa, hina dan rendahan

Sahabat…

Dulu aku hanyalah segenggam debu

Yang berharap menjadi gunungan emas

Aku terlalu takut untuk melangkah

Apalagi menantang terik dan hujan dihadapan

Dengan penuh kasih, diraihnya tanganku

Menghapus tetes keputus-asaanku

Terngiang ucapmu yang mendebarkan hati,

“Mari bersama, maju hadapi hujan

Payungilah langkahmu dengan keimanan

Dan temukanlah pelangi impian

Kita selalu bersama, kemanapun bagaikan tali disimpul mati”

 

Kita akan tetap sama

Bertemu menjadi saudara, berpisah tanpa ada luka.

#24Agustus2020

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Meski dikenal sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang cukup tua di negeri ini, namun sejarah tentang pesantren tertua di Indonesia tak diketahui secara valid. Ada banyak versi, meski secara umum disepakati bahwa bagian terpenting dari pesantren adalah pondok, masjid, santri, kiai, dan kitab-kitab seperti kitab kuning. Begitu pula dengan sebab pesantren itu dibentuk. Pendapat pertama mengatakan jika pesantren didirikan dari inisiatif dari masyarakat Indonesia yang bersentuhan dengan budaya pra Islam, dimana sistem pendidikan pesantren mirip dengan sistem pendidikan Hindu-Buddha.

Tokoh yang yakin dengan pendapat ini adalah Th G Th Pigeaud, Zamarkhsary Dhofier, dan Nurcholis Madjid. Pendapat kedua menyebut, pesantren merupakan adopsi dari lembaga pendidikan Islam Timur Tengah. Martin Van Bruinessen lebih percaya dengan sejarah pesantren adalah hasil adopsi. Menurut Bruinessen, pesantren muncul sejak abad ke-18, bukan seiring dengan keberadaan Islam di Indonesia. Dari sejumlah pesantren tertua di Jawa, muncul nama Pondok Quro atau Pondok Pesantren Syekh Quro di Karawang, Jawa Barat. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah atau Syekh Qurotil Ain atau lebih dikenal dengan sebutan Syekh Quro pada tahun 1340 Saka (1418 M) di Pelabuhan Bunut Kertayasa, Karawang Kulon Karawang Barat sekarang. Tak cuma pondokan, di sana juga didirikan masjid. Pondok ini diberi nama Pondok Quro yang artinya tempat untuk belajar Al-Quran. Dari tahun didirikannya, boleh jadi Pondok Quro menjadi pesantren tertua di Jawa bahkan di Tanah Air. 

Coba bandingkan dengan pesantren-pesantren lainnya yang rata-rata didirikan sebelumnya. Antara lain Pesantren Al Kahfi Somalangu, Kebumen (1475 M), Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon (1705 M), Pesantren Sidogiri Pasuruan (1718 M), Buntet Pesantren (1750 M versi lain menyebut 1715 M), Pesantren Jamsaren Surakarta (1768 M), Pesantren Tremas Pacitan (1830 M), dan Pesantren Langitan Tuban (1852 M).

Konon, Syekh Quro adalah penganut Mahzhab Hanafi. Ia datang ke Karawang bersama para santrinya antara lain Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur, dan Nyai Subang Larang. Naskah Purwaka Caruban Nagari mencatat, Syekh Quro merupakan putra ulama besar Perguruan Islam dari negeri Campa bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin Akbar al-Husaini serta Syekh Jalaluddin ulama besar Mekah. Dari jalur ibundanya bernama Dyah Kirana diketahui bahwa Syekh Quro masih memiliki garis keturunan dari Sayidina Husein bin Saiyidina Ali r.a., menantu Nabi Muhammad Saw. Selain itu Syekh Hasanudin atau Syekh Quro juga masih saudara seketurunan dengan Syekh Nurjati Cirebon dari generasi ke– 4 Amir Abdullah Khanudin.

Sebelum berlabuh di Pelabuhan Karawang, Syekh Quro datang di Pelabuhan Muara Jati, daerah Cirebon pada tahun 1338 Saka atau tahun 1416 Masehi. Syekh Nurjati mendarat di Cirebon pada tahun 1342 Saka atau tahun 1420 Masehi atau 4 tahun setelah pendaratan Syekh Hasanudin atau Syekh Quro di Cirebon. Kedatangan Syekh Hasanudin atau Syekh Quro di Cirebon, disambut baik oleh Syahbandar atau penguasa Pelabuhan Muara Jati Cirebon yang bernama Ki Gedeng Tapa. Maksud dan tujuan kedatangan Syekh Hasanudin ke Cirebon adalah untuk menyebarkan ajaran Agama Islam kepada Rakyat Cirebon. Syekh Hasanudin ketika di Cirebon, namanya disebut dengan sebutan Syekh Mursahadatillah oleh Ki Gedeng Tapa dan para santrinya atau rakyat Cirebon. 

Setelah sekian lama di Cirebon, akhirnya misi Syekh Hasanudin untuk menyebarkan ajaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon rupanya diketahui oleh Raja Pajajaran yang bernama Prabu Angga Larang. Namun disayangkan misi Syekh Hasanudin ini oleh Prabu Angga Larang di tentang dan dilarang, dan kemudian Prabu Angga Larang mengutus utusannya untuk menghentikan misi penyebaran Agama Islam yang dibawakan oleh Syekh Hasanudin dan mengusir Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah dari Tanah Cirebon. Ketika utusan Prabu Angga Larang sampai di Pelabuhan Cirebon, maka utusan itu langsung memerintahkan kepada Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah untuk segera menghentikan dakwah dan penyebaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon.

Agar tidak terjadi pertumpahan darah, maka oleh Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah atau Syekh Quro perintah yang dibawakan oleh utusan dari Raja Pajajaran Prabu Angga Larang itu disetujuinya, dan Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah seraya berkata kepada utusan Raja Pajajaran Prabu Angga Larang: “Meskipun dakwah dan penyebaran ajaran Agama Islam ini dilarang, kelak dari keturunan raja Pajajaran akan ada yang menjadi Waliyullah meneruskan perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam”.

Peristiwa ini sontak sangat disayangkan oleh Ki Gedeng Tapa dan para santri atau rakyat Cirebon, karena Ki Gedeng Tapa sangat ingin berguru kepada Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah atau Syekh Quro untuk memperdalam ajaran Agama Islam. Ketika itu juga Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah pamit kepada Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon untuk pergi ke Malaka, maka Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon menitipkan anak kandung Putri kesayangannya yang bernama Nyi Subang Larang, untuk ikut berlayar bersama Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah ke Malaka. Kelak, dari Nyai Subang Larang inilah lahir para pedakwah agama Islam yang tersohor. Nyai Subang Larang kemudian menikah dengan Raden Pamanah Rasa yang kelak bergelar Sri Baduga Maharaja ketika menjadi Raja Pajajaran. Pernikahan pun dilakukan di Pondok Quro dengan Syekh Quro sebagai penghulunya. Pasangan Raden Pamanah Rasa dan Nyai Subang Larang dikaruniai tiga anak, yaitu Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat (lahir pada tahun 1345 Saka atau tahun 1423 Masehi), Nyi Mas Rara Santang atau Syarifah Muda’im (lahir pada tahun 1348 Saka atau tahun 1426 Masehi) yang merupakan ibunda dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, dan Raja Sangara atau Raden Kian Santang (lahir pada tahun 1350 Saka atau tahun 1428 Masehi).

Syekh Quro menikah dengan Ratna Sondari putrinya dari Ki Gedeng Karawang dan lahir seorang putra yang bernama Syekh Akhmad yang menjadi penghulu pertama di Karawang. Syekh Quro Karawang meninggal dunia dan dimakamkan di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. Makam Syekh Quro Karawang dan makam muridnya Syekh Bentong ditemukan oleh Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syech Tolha pada tahun 1859 Masehi atau pada abad ke – 19.

Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syech Tolha, ditugaskan oleh Kesultanan Cirebon, untuk mencari makam Maha guru leluhur Cirebon yang bernama Syech Quro. Bukti adanya makam Syekh Quro Karawang di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang, di perkuat lagi oleh Sunan Kanoman Cirebon yaitu Pangeran Haji Raja Adipati Jalaludin saat berkunjung ke tempat itu dan surat, penjelasan sekaligus pernyataan dari Putra Mahkota Pangeran Jayakarta Adiningrat XII Nomor: P-062/KB/PMPJA/XII/11/1992 pada tanggal 05 Nopember 1992 yang di tunjukan kepada Kepala Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang.

Versi Lengkap: Makalah Pesantren Tertua Pondok Quro

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Sumber: Vivekananda


Once upon a time. In a jungle far away. There is a lion baby, his mother died after he born to the world. Baby lions are weak without the protection of its mother's inside, hungry and colds, the lion ask for help with his last strength. Meanwhile, a group of goats came across the place. A goat mother heard the baby lion's cry. She felt pity to see a weak lion baby and live alone.

The mother instinct to care for and protect the baby appears. The goat mother approached and tenders the lion baby with great warmth and affection. Having the warmth of affection that he needs, the lion baby does not want to part with the female goats. He continued to follow the mother goat to go anywhere. The baby lion is accepted as a part of the goat big family. 

Day by day and children grow and big lion in the care of mother goats and sheep live in the community. He was feeding, eating, drinking, and playing with the kids the other goat. His behavior is like a goat. Even the young lion make a sound like a bleating goat that is not the roar! He felt that he was the goat, not unlike the other goats. He did not ever feel that he is a lion. 

One day, there was a tremendous noise. A wolf goes hunting wild goats for prey. Goats panic. All fear. Older goat who also fears the lion asked the child to face the wolves.

"You're a lion, you could face the wolf! Give him a huge roar and he will definitely running scared!" the elder goat said to the lion baby. The baby lion is already looks great and sturdy, but since the little lion lives in the middle of the goat community, he did not have learn about how to became a lion, nobody teach him. The lion scared to the wolf and took shelter behind the biggest goat. He screamed bloody murder and what came out of his mouth is bleat sound, just like the other goat was not roaring. The lion could not do something when one young goat is attacked by the wolf and taken away.

The elder goat is very sad because one of her children were taken by wolves. He looked the young lion with suppuration and angry feelings, "You should be defending us! You should save your brother! Should be able to drive out the evil wolf!

Son of the lion can only be lowered his head. He does not understand why they blame him for the wolf. He was already afraid of the wolf as the other goats. The young lion felt so sad because he could not do anything.

The next day the wolf came again. Back hunt the goats to eat. This time the mother goat was caught and has been gripped by a wolf. All goats were brave enough to help. The young lion was angry to see his goat mother had been gripped by a wolf. A wolf is very surprised to see there is a lion in front of him. He let go his grip. The wolf was trembling with fear! He resigned; he felt that day was the end of his life! With great anger the lion boy cried aloud, it's just a goat sound with strange accent. Then he retreated to the rear.

Viewing behavior of young lion, the wolf is ferocious and cunning immediately knew that that was before him was a mentally lion goat. It makes no difference with the goats. Immediately his fear disappeared. He growled angrily, and planned to eat the lion first.

Feeling that he was goat, the young lion crash his head like a goat, the wolf has been prepared with strong horses. With a little twisted the wolf tore the lion boy's face with its claws. The young lion fell and woe, such as goat moaning. The mother goat witnessed the event with great anxiety. Parent goat wondered why a stocky lion was defeated by a wolf. Is not the lion is the king of the jungle?

Without giving the slightest mercy the wolf attacking the young lion, who are still moaning. The wolf was ready to finish off the lion. At that critical moment, the mother goat who did not have the heart, with all his might hit the wolf. The wolf darted off. Lion awake.

And at that moment, an adult lion's roar came up with a vengeance.

All goats scared and docked! The young children also fear the lion and come closer. While the wolf run. As an adult lion about to pounce on the goat herd, he was surprised in the midst of the goat herd there is a young lion.

Some goats flee, others ran away. The young lion ran away too. The lion was still stunned. He wondered why children join lion ran away following the goat? He pursued young lion and said, "Hey you do not run! You're a lion, not a goat! I will not prey on young lion!

But the young lion were kept running and running. Adult lions continue to pursue. He did not chase a herd of goats, but instead pursue cubs. At last the lion was caught. The young lion who think he was goat fear the lion.

"Do not kill me, please...!"

"You're a lion, not a goat. I did not kill the young lion! "

With a struggling young lion said, "No I am a goat! Please release me! "

Lion child struggled and cried out loud. His voice was not a roar but bleat sound, just like the sound of goats.

The lion adult wonder. How any young lion could voice goats and sheep mentality? With a furious lion he dragged the boy into the lake. He must show who actually the lion childis. Once in the clear lake water, he asked the young lion saw his own shadow.

Then compare with the adult lions.

When he saw the shadow of himself, the son of the lion was shocked, "Oh my god, my face and body is same with you. Same with the lion, the king of the jungle! "

"Yes, because you actually cubs. Not the goat! "

"So I'm not a goat? I am a lion! "

"Yes you are a lion, king of the jungle. Let me teach how to become a king of the jungle! " Lion adults said

Adult lion then lifted his head with dignity and with a loud roar. The young lion imitate the lion then, and with a loud roar. Yes roaring, vibrating throughout the forest. Not far from there vicious wolf that ran faster and faster, he fears the lion roars from the young children.

Son of the lion was again shouted triumphantly, "I am a lion! Forest king gallant! "

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Sumber: Bridestory.com


Masyarakat Indonesia yang religius memandang pernikahan sebuah upacara yang sangat sakral, umumnya dilakukan dengan acara yang benar-benar berkesan. Dalam setiap upacara pernikahan tiap daerah memiliki tatacara adat yang berbeda-beda, yang pada hakekatnya merupakan simbol adat, intinya sih merupakan nasihat. Salah satunya upacara Ngeuyeuk Seureuh yang merupakan tatacara dalam upacara adat pernikahan Sunda.


Menurut terminologi bahasa ngeuyeuk seureuh artinya meramu sirih. Dalam upacara ini memang sirih menjadi salah satu perlengkapan yang dipergunakan. Sirih tidak hanya dipergunakan dalam tatacara pernikahan Sunda saja, konon di Sumatera, Jawa hingga Nusa Tenggara daun sirih dipakai sebagai perlambang kehormatan dalam penyambutan.


Upacara ngeuyeuk seureuh biasanya diadakan di rumah mempelai wanita satu hari sebelum dilangsungkannya akad nikah. Upacara ngeuyeuk seureuh merupakan penggalan dari upacara adat perkawinan Sunda yang berisikan nasihat-nasihat untuk hidup bahagia dalam berumah tangga. Isi nasihatnya beraneka macam hingga ke hal-hal yang berhubungan suami istri agar saling membahagiakan, yang diungkapkan dengan canda dan kaya makna.  Pendek kata upacara ini juga merupakan sex education juga. Sehingga tidak mengherankan upacara ini biasanya berlangsung penuh dengan canda da tawa.


Ngeuyeuk seureuh dilaksanakan malam hari sehari sebelum hari perkawinan. Yang melaksanakan adalah wanita yang telah berumur dipimpin wanita ahli dalam upacara dibantu laki-laki yang juga harus berumur bertugas membacakan do’a dan membakar kemenyan. Banyaknya pelaksana upacara harus kelipatan 7 karena dianggap bertuah dan baik. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan pada bagian selanjutnya. 


Prosesi setelah akad nikah, antara lain:

1. Sungkeman

2. Buka Pintu

3. Parebut Bakakak

4. Nincak Endog

5. Nyawer


Upacara ini tidak boleh dihadiri oleh sembarang orang, melainkan hanya oleh orang tertentu saja, yaitu:

1. Kedua orang tua calon pengantin.

2. Keluarga terdekat yang sudah berkeluarga atau dewasa.

3. Orang yang sudah berumur dan dianggap perlu.


Yang tidak diizinkan hadir dalam upacara ini adalah:

1. Anak gadis.

2. Anak laki-laki yang belum akil balig.

3. Wanita yang telah berumur dan belum pernah kawin.

4. Anak wanita yang belum pernah mendapat menstruasi/ haid yang dalam bahasa sunda disebut wanita balangantrang.

5. Wanita atau pria yang sering kawin.


Perlengkapan yang tampak dalam upacara ini, 

1. Sirih bertangkai, 

2. Pinang bertangkai, 

3. Padi dua ikat, 

4. Bunga pinang, 

5. Ramuan sirih untuk makan sirih lengkap. 


Bagian dari alat tenun tradisional seperti, 

1. Papan tipis dan sepotong bambu tak beruas, 

2. Kain poleng merah yang belum dijahit, 

3. Lidi enau, 

4. Benang tenun, 

5. Lampu minyak kelapa bersumbu tujuh, 

6. Kendi, 

7. Uang koin, 

8. Tikar pandan, 

9. Kain putih kafan, 

10. Cobek dan ulekan, 

11. Bokor dan tempat membakar kemenyan. 


Perlengkapan lainnya, 

1. Ayakan, 

2. Nyiru/nampan dari anyaman, 

3. Kayu bakar, 

4. Seperangkat pakaian pengantin, 

5. Kain batik panjang yang jumlahnya harus ganjil. 

6. Parawanten yakni sesaji berupa beras, telur, ayam, pisang, gula aren, kue-kue, jarum dan benangnya serta rurujakan. 


Semua perlengkapan tersebut menurut tetua adat merupakan simbol-simbol kehidupan dan keberlangsungan kedua mempelai ke depannya. Sehingga ngeuyeuk seureuh ini oleh para orang tua juga bisa dianggap sebagai “ramalan” masa depan kedua mempelai. Misalnya, daun sirih dan tembakau melambangkan bahwa kedua mempelai repok (cocok; rep artinya diam, pok artinya berbicara) melambangkan kedua mempelai jika ada perselisihan ketika yang satu berbicara, maka yang satunya akan diam, sehingga tidak akan terjadi pertengkaran. Padi dan kunyit, melambangkan kemakmuran, padi sebagai sumber makanan/kehidupan dan kunyit melambangkan mas, sebagai logam mulia.


Uang koin, melambangkan uang atau kekayaan sebagai sumber kesejahteraan secara material. Harupat, atau lidi enau, melambangkan bahwa ketika terjadi sesuatu antara kedua mempelai jangan sampai getas harupateun artinya tergesa-gesa memutuskan sesuatu, tetapi harus dibeuweung diutahkeun. Cowet dan mutu, atau cobek dan ulekan melambangkan jenis kelamin wanita dan pria.


Semua perlengkapan tersebut dijelaskan satu persatu oleh tetua perempuan dan lekaki dengan gaya yang menarik. Sehingga sebenarnya merupakan pendidikan juga bagi kedua mempelai. Setelah upacara selesai semua perlengkapan ini disimpan dikolong/bawah tempat tidur pengantin. Keesokan harinya diberikan pada pangeuyeuk, yaitu sesepuh yang memimpin upacara. Sebagai bukti bahwa mempelai sudah sukses melakukan hubungan suami istri.


Langkah-Langkah Ngeuyeuk Seureuh

Upacara dipimpin oleh seorang Nini Pangeuyeuk, atau wanita yang telah paham akan upacara ini dan seringkali juga merupakan juru rias adat Sunda. Tidak semua orang boleh hadir dalam upacara ini, hanya calon pengantin, keluarga terdekat dan orang tua yang memiliki peran khusus. Tak hanya itu, seorang gadis, anak remaja yang belum mengalami pubertas, dan wanita dewasa yang belum pernah menikah juga tidak diizinkan menghadiri upacara ini.


Melalui ritual ini, calon pengantin diharapkan dapat mewujudkan filosofi 'Kawas Gula Jeung Peuet' yang secara harfiah berarti 'bagaikan gula dengan nira yang sudah matang'. Peribahasa ini menggambarkan hidup yang rukun, saling menyayangi dan sebisa mungkin menghindari perselisihan.


Untuk lebih jelasnya, berikut langkah-langkah upacara Ngeuyeuk Seureuh dan makna yang terkandung di dalamnya:


1. Untuk memulai upacara ini, nini pangeuyeuk akan memberikan tujuh helai benang kanteh (benang tenun) sepanjang dua jengkal kepada kedua calon pengantin. Kedua calon pengantin kemudian saling memegang ujung benang sebagai tanda cinta kasih sambil duduk menghadap orang tua untuk meminta doa restu. Setelah mendapat ijin dan restu, orang tua akan memotong benang yang dipegang oleh kedua calon pengantin sebagai tanda bahwa upacara akan dimulai.


2. Nini Pangeuyeuk kemudian akan membawakan kidung atau syair yang berisi permohonan dan doa kepada Tuhan sambil menaburkan beras kepada kedua calon pengantin, yang melambangkan hidup sejahtera bagi keduanya.


3. Kedua calon pengantin kemudian 'dikeprak' atau dipukul secara pelan dengan sapu lidi, sambil diberikan nasehat terkait hidup berumah tangga. Hal ini ditujukan agar mereka bisa memupuk kasih sayang antara satu sama lain dan mau bekerja keras demi kesejahteraan keluarga.


4. Kain putih yang menutupi 'pangeuyeukan' kemudian dibuka, melambangkan rumah tangga yang dimulai tanpa cela. Kedua calon pengantin lalu mengangkat dua buah pakaian di atas kain pelekat (sarung), yang melambangkan kerja sama suami dan istri dalam mengelola rumah tangga.


5. Kedua pakaian yang telah diangkat kemudian dibawa ke kamar pengantin, yang menandakan penggabungan harta kekayaan yang harus dijaga bersama, termasuk harta kekayaan nonmaterial seperti orang tua. Calon pengantin pria ikut masuk ke dalam kamar calon pengantin wanita, menandakan bahwa hanya ialah pria yang boleh masuk ke kamar itu.


6. Calon pengantin pria selanjutnya membelah mayang jambe dengan hati-hati, agar tidak rusak atau patah. Mayang jambe ini menandakan kelembutan hati wanita, sehingga seorang suami harus memperlakukan istrinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.


7. Setelah itu, mempelai pria akan dipersilahkan untuk membelah pinang menjadi dua, yang melambangkan bahwa pasangan suami istri harus seperti peribahasa 'Bagai pinang yang dibelah dua'. Hal ini juga menggambarkan tiga sifat utama pandangan hidup orang sunda, yaitu 'Silih Asih, Silih Asuh, dan Silih Asah,' yang berarti saling menyayangi, menjaga dan mengajari. Calon pengantin pria kemudian diminta untuk menumbuk alu ke dalam lumping yang dipegang oleh calon pengantin wanita.


8. Kedua calon pengantin kemudian diminta untuk membuat lungkun, yaitu dua lembar daun sirih bertangkai berhadapan yang digulung memanjang menjadi satu dan diikat dengan benang kanteh. Hal ini dilakukan oleh kedua calon pengantin dan setiap orang tua yang hadir, sebagai lambang kerukunan. Sisa sirih yang ada lalu dibagikan kepada orang-orang yang hadir. Hal ini berarti jika dikemudian hari kedua calon pengantin memiliki rejeki berlebih, mereka harus selalu berbagi dengan keluarga yang membutuhkan.


9. Kedua calon pengantin dan para tamu kemudian akan berlomba mengambil uang yang ada di bawah tikar, sesuai dengan aba-aba Nini Pangeuyeuk. Hal ini menandakan bahwa pasangan suami istri mau bekerja keras untuk mencari rejeki demi kesejahteraan rumah tangga dan agar dikasihi oleh sanak saudara.


10. Sisa-sisa Ngeuyeuk Seureuh kemudian akan dibuang ke persimpangan jalan oleh kedua calon pengantin dan para tetua. Setelah membuang sisa-sisa ini, mereka tidak diperbolehkan menoleh ke belakang. Hal ini melambangkan bahwa calon pengantin sudah membuang hal-hal yang buruk dan mengharapkan kebahagiaan dalam menempuh hidup baru. Sisa-sisa Ngeuyeuk Seureuh ini dibuang di persimpangan jalan agar segala keburukan dari keempat penjuru angin tidak datang.


11. Prosesi yang terakhir adalah menyalakan tujuh buah lilin. Hal ini diambil dari kosmologi Sunda akan jumlah hari yang diterangi matahari, sehingga melambangkan harapan akan kejujuran dalam membina kehidupan rumah tangga.


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Ada sesuatu yang terasa hampa

Saat langit-langit semakin renta

Ada sesuatu yang terasa sangat berbeda

Saat mentari tertahan diantara gumpalan awan

Sendiri dan sepi, aku ingin meronta


Menelusuri labirin yang tak kunjung menepi

Haruskah aku berdiam disini sendiri?

Menghitung lapis pelangi yang hampir mati

Haruskah aku pulang dan berlindung dalam pelukan bunda?

Lalu melepasmu walau darah telah berceceran di segala arah


Saat mata penuh ikhlas mencoba menatapmu sekali lagi

Aku tersadar dari mimpi yang semu

Terlarut sudah aku dalam cinta yang abstrak

Aku bukanlah satu-satunya yang kau jadikan harapan

Dia yang benar-benar esa, telah bertahta di kursi hatimu


Tapi, walau langkah tak lagi sama

Jangan lepas aku begitu saja, bawalah aku ke singgasanaNya

Dan ajarkan aku bagaimana bersimpuh di hadap-Nya


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Kiriman Lampau

Siapakah Aksa?

Siapakah Aksa?
Aku adalah apa yang kamu baca dan dengar

Ikuti dan Tanya Aku!

  • instagram
  • facebook
  • youtube
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

Apa aja yang banyak dicari?

  • [Syarhil] Akhlak Rasulullah sebagai Kunci Perbaikan Dekadensi Moral
    Ilustrasi Assalamualaikum wr.wb. Dewan juri yang kami hormati! para peserta Musabaqah Syarhil Qur’an yang berbahagia, serta ha...
  • Dollar menjadi Raja
    “Waduh! Sembako mahal!” “BBM naik!” “Kemana pemerintah? Kok bahan-bahan pokok jadi mahal!” Itulah beberapa pernyataan yang terlo...
  • Disiplin, Apakah perlu?
    Saat mendengar kata “Disiplin” maka pikiran yang terlintas di benak kita adalah suatu beban atau suatu tanggung jawab yang ...
  • Beasiswa PPA 2019 UIN Sunan Gunung Djati Bandung
    Assalamualaikum! Hallo! Apa kabar? Semoga sehat selalu ya.. Berjumpa lagi dengan Aksa di tahun yang berbeda tapi kabar yang sama...
  • [Story Telling] Malin Kundang (+Video)
    Once upon a time, there was a poor boy named Malin Kundang. He lived with his old mother in West Sumatera. He was very nice boy but he...
  • Mengenal Pilar Budaya Cianjur
    Sejak dahulu, Kabupaten Cianjur sudah terkenal dengan budaya 3M (Maos, Mamaos, Maenpo) yang menjadi ciri Kabupaten Cianjur. Bupati Cianjur...
  • Ruksakna Iman jeung Alam (Bahasa Sunda)
    Sumber: ISNET Dina surat Ar-Rum ayat 40 deugika 42, Alloh negeskeun ka manusa, yén ‘ngayugakeun kahirupan’ , ‘nyiptakeun rejeki’ ajan...
  • Best Position Paper Asia World MUN III (Committee OIC)
    Topic : “Discussing the Roles of Member States and the OIC in Response to the Ongoing Refugee Crisis” Commit...
  • [PUISI] Tangis (W.S. Rendra)
    Tangis Karya: W.S. Rendra Ke mana larinya anak tercinta Yang diburu segenap penduduk kota? Paman Doblang! Paman Doblang! Ia la...
  • Cyberbullying, Tren Generasi Milenial Indonesia
    Source: iam1n4.com Perbincangan mengenai bullying kembali mencuat ke permukaan. Masalah kolot yang biasanya terjadi di sekolah ini b...

Postingan Terbaru!!

Ada Apa Aja?

  • Artikel dan Essai
  • Beasiswa dan Kepemudaan
  • Cerpen
  • Excel
  • Pidato
  • Puisi
  • Tugas Kuliah

Garis Waktu

  • Desember 2023 (1)
  • September 2021 (1)
  • Agustus 2021 (1)
  • Mei 2021 (1)
  • Maret 2021 (3)
  • November 2020 (3)
  • Oktober 2020 (1)
  • September 2020 (1)
  • Agustus 2020 (6)
  • Juli 2020 (3)
  • Juni 2020 (1)
  • Mei 2020 (3)
  • April 2020 (7)
  • Maret 2020 (5)
  • Februari 2020 (1)
  • Januari 2020 (5)
  • November 2019 (1)
  • Oktober 2019 (1)
  • Juni 2019 (1)
  • Mei 2019 (1)
  • Maret 2019 (1)
  • Februari 2019 (1)
  • Januari 2019 (2)
  • Desember 2018 (6)
  • November 2018 (3)
  • Oktober 2018 (10)
  • September 2018 (5)
  • Agustus 2018 (6)
  • Juli 2018 (3)
  • April 2018 (6)
  • Desember 2015 (8)
  • Juli 2015 (1)
  • April 2015 (1)
  • Maret 2015 (9)

Created with by Aksara Fauzi | Helped by Someone