­

Pondok Quro: Pesantren Tertua di Indonesia yang jarang diketahui

by - Agustus 13, 2020


Meski dikenal sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang cukup tua di negeri ini, namun sejarah tentang pesantren tertua di Indonesia tak diketahui secara valid. Ada banyak versi, meski secara umum disepakati bahwa bagian terpenting dari pesantren adalah pondok, masjid, santri, kiai, dan kitab-kitab seperti kitab kuning. Begitu pula dengan sebab pesantren itu dibentuk. Pendapat pertama mengatakan jika pesantren didirikan dari inisiatif dari masyarakat Indonesia yang bersentuhan dengan budaya pra Islam, dimana sistem pendidikan pesantren mirip dengan sistem pendidikan Hindu-Buddha.

Tokoh yang yakin dengan pendapat ini adalah Th G Th Pigeaud, Zamarkhsary Dhofier, dan Nurcholis Madjid. Pendapat kedua menyebut, pesantren merupakan adopsi dari lembaga pendidikan Islam Timur Tengah. Martin Van Bruinessen lebih percaya dengan sejarah pesantren adalah hasil adopsi. Menurut Bruinessen, pesantren muncul sejak abad ke-18, bukan seiring dengan keberadaan Islam di Indonesia. Dari sejumlah pesantren tertua di Jawa, muncul nama Pondok Quro atau Pondok Pesantren Syekh Quro di Karawang, Jawa Barat. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah atau Syekh Qurotil Ain atau lebih dikenal dengan sebutan Syekh Quro pada tahun 1340 Saka (1418 M) di Pelabuhan Bunut Kertayasa, Karawang Kulon Karawang Barat sekarang. Tak cuma pondokan, di sana juga didirikan masjid. Pondok ini diberi nama Pondok Quro yang artinya tempat untuk belajar Al-Quran. Dari tahun didirikannya, boleh jadi Pondok Quro menjadi pesantren tertua di Jawa bahkan di Tanah Air. 

Coba bandingkan dengan pesantren-pesantren lainnya yang rata-rata didirikan sebelumnya. Antara lain Pesantren Al Kahfi Somalangu, Kebumen (1475 M), Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon (1705 M), Pesantren Sidogiri Pasuruan (1718 M), Buntet Pesantren (1750 M versi lain menyebut 1715 M), Pesantren Jamsaren Surakarta (1768 M), Pesantren Tremas Pacitan (1830 M), dan Pesantren Langitan Tuban (1852 M).

Konon, Syekh Quro adalah penganut Mahzhab Hanafi. Ia datang ke Karawang bersama para santrinya antara lain Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur, dan Nyai Subang Larang. Naskah Purwaka Caruban Nagari mencatat, Syekh Quro merupakan putra ulama besar Perguruan Islam dari negeri Campa bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin Akbar al-Husaini serta Syekh Jalaluddin ulama besar Mekah. Dari jalur ibundanya bernama Dyah Kirana diketahui bahwa Syekh Quro masih memiliki garis keturunan dari Sayidina Husein bin Saiyidina Ali r.a., menantu Nabi Muhammad Saw. Selain itu Syekh Hasanudin atau Syekh Quro juga masih saudara seketurunan dengan Syekh Nurjati Cirebon dari generasi ke– 4 Amir Abdullah Khanudin.

Sebelum berlabuh di Pelabuhan Karawang, Syekh Quro datang di Pelabuhan Muara Jati, daerah Cirebon pada tahun 1338 Saka atau tahun 1416 Masehi. Syekh Nurjati mendarat di Cirebon pada tahun 1342 Saka atau tahun 1420 Masehi atau 4 tahun setelah pendaratan Syekh Hasanudin atau Syekh Quro di Cirebon. Kedatangan Syekh Hasanudin atau Syekh Quro di Cirebon, disambut baik oleh Syahbandar atau penguasa Pelabuhan Muara Jati Cirebon yang bernama Ki Gedeng Tapa. Maksud dan tujuan kedatangan Syekh Hasanudin ke Cirebon adalah untuk menyebarkan ajaran Agama Islam kepada Rakyat Cirebon. Syekh Hasanudin ketika di Cirebon, namanya disebut dengan sebutan Syekh Mursahadatillah oleh Ki Gedeng Tapa dan para santrinya atau rakyat Cirebon. 

Setelah sekian lama di Cirebon, akhirnya misi Syekh Hasanudin untuk menyebarkan ajaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon rupanya diketahui oleh Raja Pajajaran yang bernama Prabu Angga Larang. Namun disayangkan misi Syekh Hasanudin ini oleh Prabu Angga Larang di tentang dan dilarang, dan kemudian Prabu Angga Larang mengutus utusannya untuk menghentikan misi penyebaran Agama Islam yang dibawakan oleh Syekh Hasanudin dan mengusir Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah dari Tanah Cirebon. Ketika utusan Prabu Angga Larang sampai di Pelabuhan Cirebon, maka utusan itu langsung memerintahkan kepada Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah untuk segera menghentikan dakwah dan penyebaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon.

Agar tidak terjadi pertumpahan darah, maka oleh Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah atau Syekh Quro perintah yang dibawakan oleh utusan dari Raja Pajajaran Prabu Angga Larang itu disetujuinya, dan Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah seraya berkata kepada utusan Raja Pajajaran Prabu Angga Larang: “Meskipun dakwah dan penyebaran ajaran Agama Islam ini dilarang, kelak dari keturunan raja Pajajaran akan ada yang menjadi Waliyullah meneruskan perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam”.

Peristiwa ini sontak sangat disayangkan oleh Ki Gedeng Tapa dan para santri atau rakyat Cirebon, karena Ki Gedeng Tapa sangat ingin berguru kepada Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah atau Syekh Quro untuk memperdalam ajaran Agama Islam. Ketika itu juga Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah pamit kepada Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon untuk pergi ke Malaka, maka Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon menitipkan anak kandung Putri kesayangannya yang bernama Nyi Subang Larang, untuk ikut berlayar bersama Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah ke Malaka. Kelak, dari Nyai Subang Larang inilah lahir para pedakwah agama Islam yang tersohor. Nyai Subang Larang kemudian menikah dengan Raden Pamanah Rasa yang kelak bergelar Sri Baduga Maharaja ketika menjadi Raja Pajajaran. Pernikahan pun dilakukan di Pondok Quro dengan Syekh Quro sebagai penghulunya. Pasangan Raden Pamanah Rasa dan Nyai Subang Larang dikaruniai tiga anak, yaitu Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat (lahir pada tahun 1345 Saka atau tahun 1423 Masehi), Nyi Mas Rara Santang atau Syarifah Muda’im (lahir pada tahun 1348 Saka atau tahun 1426 Masehi) yang merupakan ibunda dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, dan Raja Sangara atau Raden Kian Santang (lahir pada tahun 1350 Saka atau tahun 1428 Masehi).

Syekh Quro menikah dengan Ratna Sondari putrinya dari Ki Gedeng Karawang dan lahir seorang putra yang bernama Syekh Akhmad yang menjadi penghulu pertama di Karawang. Syekh Quro Karawang meninggal dunia dan dimakamkan di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. Makam Syekh Quro Karawang dan makam muridnya Syekh Bentong ditemukan oleh Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syech Tolha pada tahun 1859 Masehi atau pada abad ke – 19.

Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syech Tolha, ditugaskan oleh Kesultanan Cirebon, untuk mencari makam Maha guru leluhur Cirebon yang bernama Syech Quro. Bukti adanya makam Syekh Quro Karawang di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang, di perkuat lagi oleh Sunan Kanoman Cirebon yaitu Pangeran Haji Raja Adipati Jalaludin saat berkunjung ke tempat itu dan surat, penjelasan sekaligus pernyataan dari Putra Mahkota Pangeran Jayakarta Adiningrat XII Nomor: P-062/KB/PMPJA/XII/11/1992 pada tanggal 05 Nopember 1992 yang di tunjukan kepada Kepala Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang.

Versi Lengkap: Makalah Pesantren Tertua Pondok Quro

You May Also Like

0 komentar