­

Ngeuyeuk Seureuh: Tradisi Pernikahan Sunda

by - Agustus 08, 2020

Sumber: Bridestory.com


Masyarakat Indonesia yang religius memandang pernikahan sebuah upacara yang sangat sakral, umumnya dilakukan dengan acara yang benar-benar berkesan. Dalam setiap upacara pernikahan tiap daerah memiliki tatacara adat yang berbeda-beda, yang pada hakekatnya merupakan simbol adat, intinya sih merupakan nasihat. Salah satunya upacara Ngeuyeuk Seureuh yang merupakan tatacara dalam upacara adat pernikahan Sunda.


Menurut terminologi bahasa ngeuyeuk seureuh artinya meramu sirih. Dalam upacara ini memang sirih menjadi salah satu perlengkapan yang dipergunakan. Sirih tidak hanya dipergunakan dalam tatacara pernikahan Sunda saja, konon di Sumatera, Jawa hingga Nusa Tenggara daun sirih dipakai sebagai perlambang kehormatan dalam penyambutan.


Upacara ngeuyeuk seureuh biasanya diadakan di rumah mempelai wanita satu hari sebelum dilangsungkannya akad nikah. Upacara ngeuyeuk seureuh merupakan penggalan dari upacara adat perkawinan Sunda yang berisikan nasihat-nasihat untuk hidup bahagia dalam berumah tangga. Isi nasihatnya beraneka macam hingga ke hal-hal yang berhubungan suami istri agar saling membahagiakan, yang diungkapkan dengan canda dan kaya makna.  Pendek kata upacara ini juga merupakan sex education juga. Sehingga tidak mengherankan upacara ini biasanya berlangsung penuh dengan canda da tawa.


Ngeuyeuk seureuh dilaksanakan malam hari sehari sebelum hari perkawinan. Yang melaksanakan adalah wanita yang telah berumur dipimpin wanita ahli dalam upacara dibantu laki-laki yang juga harus berumur bertugas membacakan do’a dan membakar kemenyan. Banyaknya pelaksana upacara harus kelipatan 7 karena dianggap bertuah dan baik. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan pada bagian selanjutnya. 


Prosesi setelah akad nikah, antara lain:

1. Sungkeman

2. Buka Pintu

3. Parebut Bakakak

4. Nincak Endog

5. Nyawer


Upacara ini tidak boleh dihadiri oleh sembarang orang, melainkan hanya oleh orang tertentu saja, yaitu:

1. Kedua orang tua calon pengantin.

2. Keluarga terdekat yang sudah berkeluarga atau dewasa.

3. Orang yang sudah berumur dan dianggap perlu.


Yang tidak diizinkan hadir dalam upacara ini adalah:

1. Anak gadis.

2. Anak laki-laki yang belum akil balig.

3. Wanita yang telah berumur dan belum pernah kawin.

4. Anak wanita yang belum pernah mendapat menstruasi/ haid yang dalam bahasa sunda disebut wanita balangantrang.

5. Wanita atau pria yang sering kawin.


Perlengkapan yang tampak dalam upacara ini, 

1. Sirih bertangkai, 

2. Pinang bertangkai, 

3. Padi dua ikat, 

4. Bunga pinang, 

5. Ramuan sirih untuk makan sirih lengkap. 


Bagian dari alat tenun tradisional seperti, 

1. Papan tipis dan sepotong bambu tak beruas, 

2. Kain poleng merah yang belum dijahit, 

3. Lidi enau, 

4. Benang tenun, 

5. Lampu minyak kelapa bersumbu tujuh, 

6. Kendi, 

7. Uang koin, 

8. Tikar pandan, 

9. Kain putih kafan, 

10. Cobek dan ulekan, 

11. Bokor dan tempat membakar kemenyan. 


Perlengkapan lainnya

1. Ayakan, 

2. Nyiru/nampan dari anyaman, 

3. Kayu bakar, 

4. Seperangkat pakaian pengantin, 

5. Kain batik panjang yang jumlahnya harus ganjil. 

6. Parawanten yakni sesaji berupa beras, telur, ayam, pisang, gula aren, kue-kue, jarum dan benangnya serta rurujakan. 


Semua perlengkapan tersebut menurut tetua adat merupakan simbol-simbol kehidupan dan keberlangsungan kedua mempelai ke depannya. Sehingga ngeuyeuk seureuh ini oleh para orang tua juga bisa dianggap sebagai “ramalan” masa depan kedua mempelai. Misalnya, daun sirih dan tembakau melambangkan bahwa kedua mempelai repok (cocok; rep artinya diam, pok artinya berbicara) melambangkan kedua mempelai jika ada perselisihan ketika yang satu berbicara, maka yang satunya akan diam, sehingga tidak akan terjadi pertengkaran. Padi dan kunyit, melambangkan kemakmuran, padi sebagai sumber makanan/kehidupan dan kunyit melambangkan mas, sebagai logam mulia.


Uang koin, melambangkan uang atau kekayaan sebagai sumber kesejahteraan secara material. Harupat, atau lidi enau, melambangkan bahwa ketika terjadi sesuatu antara kedua mempelai jangan sampai getas harupateun artinya tergesa-gesa memutuskan sesuatu, tetapi harus dibeuweung diutahkeun. Cowet dan mutu, atau cobek dan ulekan melambangkan jenis kelamin wanita dan pria.


Semua perlengkapan tersebut dijelaskan satu persatu oleh tetua perempuan dan lekaki dengan gaya yang menarik. Sehingga sebenarnya merupakan pendidikan juga bagi kedua mempelai. Setelah upacara selesai semua perlengkapan ini disimpan dikolong/bawah tempat tidur pengantin. Keesokan harinya diberikan pada pangeuyeuk, yaitu sesepuh yang memimpin upacara. Sebagai bukti bahwa mempelai sudah sukses melakukan hubungan suami istri.


Langkah-Langkah Ngeuyeuk Seureuh

Upacara dipimpin oleh seorang Nini Pangeuyeuk, atau wanita yang telah paham akan upacara ini dan seringkali juga merupakan juru rias adat Sunda. Tidak semua orang boleh hadir dalam upacara ini, hanya calon pengantin, keluarga terdekat dan orang tua yang memiliki peran khusus. Tak hanya itu, seorang gadis, anak remaja yang belum mengalami pubertas, dan wanita dewasa yang belum pernah menikah juga tidak diizinkan menghadiri upacara ini.


Melalui ritual ini, calon pengantin diharapkan dapat mewujudkan filosofi 'Kawas Gula Jeung Peuet' yang secara harfiah berarti 'bagaikan gula dengan nira yang sudah matang'. Peribahasa ini menggambarkan hidup yang rukun, saling menyayangi dan sebisa mungkin menghindari perselisihan.


Untuk lebih jelasnya, berikut langkah-langkah upacara Ngeuyeuk Seureuh dan makna yang terkandung di dalamnya:


1. Untuk memulai upacara ini, nini pangeuyeuk akan memberikan tujuh helai benang kanteh (benang tenun) sepanjang dua jengkal kepada kedua calon pengantin. Kedua calon pengantin kemudian saling memegang ujung benang sebagai tanda cinta kasih sambil duduk menghadap orang tua untuk meminta doa restu. Setelah mendapat ijin dan restu, orang tua akan memotong benang yang dipegang oleh kedua calon pengantin sebagai tanda bahwa upacara akan dimulai.


2. Nini Pangeuyeuk kemudian akan membawakan kidung atau syair yang berisi permohonan dan doa kepada Tuhan sambil menaburkan beras kepada kedua calon pengantin, yang melambangkan hidup sejahtera bagi keduanya.


3. Kedua calon pengantin kemudian 'dikeprak' atau dipukul secara pelan dengan sapu lidi, sambil diberikan nasehat terkait hidup berumah tangga. Hal ini ditujukan agar mereka bisa memupuk kasih sayang antara satu sama lain dan mau bekerja keras demi kesejahteraan keluarga.


4. Kain putih yang menutupi 'pangeuyeukan' kemudian dibuka, melambangkan rumah tangga yang dimulai tanpa cela. Kedua calon pengantin lalu mengangkat dua buah pakaian di atas kain pelekat (sarung), yang melambangkan kerja sama suami dan istri dalam mengelola rumah tangga.


5. Kedua pakaian yang telah diangkat kemudian dibawa ke kamar pengantin, yang menandakan penggabungan harta kekayaan yang harus dijaga bersama, termasuk harta kekayaan nonmaterial seperti orang tua. Calon pengantin pria ikut masuk ke dalam kamar calon pengantin wanita, menandakan bahwa hanya ialah pria yang boleh masuk ke kamar itu.


6. Calon pengantin pria selanjutnya membelah mayang jambe dengan hati-hati, agar tidak rusak atau patah. Mayang jambe ini menandakan kelembutan hati wanita, sehingga seorang suami harus memperlakukan istrinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.


7. Setelah itu, mempelai pria akan dipersilahkan untuk membelah pinang menjadi dua, yang melambangkan bahwa pasangan suami istri harus seperti peribahasa 'Bagai pinang yang dibelah dua'. Hal ini juga menggambarkan tiga sifat utama pandangan hidup orang sunda, yaitu 'Silih Asih, Silih Asuh, dan Silih Asah,' yang berarti saling menyayangi, menjaga dan mengajari. Calon pengantin pria kemudian diminta untuk menumbuk alu ke dalam lumping yang dipegang oleh calon pengantin wanita.


8. Kedua calon pengantin kemudian diminta untuk membuat lungkun, yaitu dua lembar daun sirih bertangkai berhadapan yang digulung memanjang menjadi satu dan diikat dengan benang kanteh. Hal ini dilakukan oleh kedua calon pengantin dan setiap orang tua yang hadir, sebagai lambang kerukunan. Sisa sirih yang ada lalu dibagikan kepada orang-orang yang hadir. Hal ini berarti jika dikemudian hari kedua calon pengantin memiliki rejeki berlebih, mereka harus selalu berbagi dengan keluarga yang membutuhkan.


9. Kedua calon pengantin dan para tamu kemudian akan berlomba mengambil uang yang ada di bawah tikar, sesuai dengan aba-aba Nini Pangeuyeuk. Hal ini menandakan bahwa pasangan suami istri mau bekerja keras untuk mencari rejeki demi kesejahteraan rumah tangga dan agar dikasihi oleh sanak saudara.


10. Sisa-sisa Ngeuyeuk Seureuh kemudian akan dibuang ke persimpangan jalan oleh kedua calon pengantin dan para tetua. Setelah membuang sisa-sisa ini, mereka tidak diperbolehkan menoleh ke belakang. Hal ini melambangkan bahwa calon pengantin sudah membuang hal-hal yang buruk dan mengharapkan kebahagiaan dalam menempuh hidup baru. Sisa-sisa Ngeuyeuk Seureuh ini dibuang di persimpangan jalan agar segala keburukan dari keempat penjuru angin tidak datang.


11. Prosesi yang terakhir adalah menyalakan tujuh buah lilin. Hal ini diambil dari kosmologi Sunda akan jumlah hari yang diterangi matahari, sehingga melambangkan harapan akan kejujuran dalam membina kehidupan rumah tangga.


You May Also Like

0 komentar