• Beranda
  • Artikel dan Esai
  • Akademik
    • Beasiswa dan Kepemudaan
    • Tugas Kuliah
    • Soon
  • Puisi
  • Cerpen
  • Pidato
  • #Berani Merasa
  • Excel
instagram facebook youtube Google+ bloglovin Email

Aksara Fauzi

"Aku hadir saat mata terpejam..."

sumber: Internet

Wacana lingkungan, khususnya di Indonesia menjadi pembahasan penting di samping demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Gerakan pemikiran tentang lingkungan ini disadari ketika tingkat kerusakan lingkungan berada pada titik kritis. Contoh nyata dari perusakan lingkungan adalah menumpuknya sampah. Masalah sampah di Indonesia tengah menjadi sorotan publik. Indonesia dinobatkan sebagai negara ke-2 dengan polusi sampah plastik terbesar di dunia. Berdasarkan data The World Bank tahun 2018, 87 kota di pesisir Indonesia memberikan kontribusi sampah ke laut diperkirakan sekitar 1,27 juta ton. Dengan komposisi sampah plastik mencapai 9 juta ton dan diperkirakan sekitar 3,2 juta ton adalah sedotan plastik.

Selain itu, kerusakan lingkungan dapat berupa bencana banjir akibat erosi, kabut asap akibat pembakaran kayu lahan perkebunan, lubang raksasa akibat tambang, lumpur panas dan termasuk gempa bumi merupakan ekses dari eksploitasi alam. Padahal gambaran wajah Islam tentang lingkungan dapat ditelusuri dari berbagai ayat-ayat Al-Quran. Allah SWT melarang sekeras-kerasnya manusia untuk membuat kerusakan di lingkungannya dan itu termaktub dalam kalam Allah yang suci di Surat Al-A’raf Ayat 56 yaitu,

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

“dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” 

Di zaman klasik, kajian lingkungan tidak menjadi ikon penting untuk dibicarakan, mengingat struktur masyarakat ketika itu belum menghadapi krisis lingkungan seperti sekarang. Sehingga kajian-kajian terhadap kelestarian lingkungan hanya dibahas dalam bentuk yang lazim dan terpisah-pisah. Atas dasar itulah kemudian para ulama kontemporer merumuskan gagasan tentang pentingnya pemulihan kajian-kajian ke-Islam-an melalui teologi lingkungan, fikih lingkungan dan lain-lain.

Islam dengan spirit “rahmatan li al-‘alamin (rahmat untuk alam semesta) harus disadari sebagai kekuatan yang mampu mendorong manusia untuk membentuk sikap dan prilaku yang peduli terhadap kemaslahatan lingkungan. Meskipun sebenarnya persoalan pelestarian lingkungan dan larangan perusakannya telah tersaji dalam pesan-pesan al-Qur’an.

Istilah lingkungan dalam al-Qur’an disebutkan dalam bentuk yang variatif, seperti al-‘alamin (spesies), al-sama’ (ruang waktu), al-ard (bumi) dan al-bi’ah (lingkungan). Varian-varian yang disebutkan dalam al-Qur’an ini pada prinsipnya mengilustrasikan tentang spirit “rahmatan li al-‘alamin”, lingkungan tidak saja diafiliasikan pada bumi tetapi mencakup semua alam, seperti planet bumi, ruang angkasa dan angkasa luar. Konsep ini tentunya mengacu pada pentingnya pemeliharaan keseimbangan ekosistem di bumi dan sekaligus juga memiliki hubungan dengan ekosistem yang ada di luar bumi. Kewajiban pemeliharaan atas lingkungan tidak hanya terhadap bumi melainkan juga lingkungan planet lainnya.  Konsep ini dapat ditelusuri melalui Q.S. Al-Baqarah: 22,

الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal kamu mengetahui.”

Kalimat dalam ayat ini dipahami bahwa lapisan atmosfer merupakan lapisan pelindung seluruh alam (spesies) baik biotik maupun abiotik yang berada di lapisan bumi. Keberadaan bumi berhubungan erat dengan eksistensi atmosfer. Perusakan terhadap ekosistem langit akan berdampak langsung terhadap kerusakan spesies yang ada di bumi dan ekosistemnya. Terkait dengan itu juga dijelaskan dalam QS. Al-Hajj:63,

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَتُصْبِحُ الْأَرْضُ مُخْضَرَّةً ۗ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ

“Apakah kamu tiada melihat, bahwasanya Allah menurunkan air dari langit, lalu jadilah bumi itu hijau? Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.”

Konsep Keteraturan dan keseimbangan antara pemeliharaan ekosistem bumi dan langit itu diperintahkan untuk kemashlahatan terhadap kelangsungan hidup manusia. Konsep lingkungan versi Islam dalam pengertian luas merupakan upaya penghidupan kembali misi asal ekologi. Pemahaman ekologi dikembalikan pada esensinya dimana ekologi dipersepsi sebagai hubungan timbal balik antara komponen yang ada dalam ekosistem. Dengan kata lain tidak terbatas hanya komponen manusia dan ekosistemnya, melainkan seluruh komponen dalam ekosistem, yakni lingkungan yang saling berkesinambungan. Seluruh komponen dalam ekosistem diperhatikan kepentingannya secara proporsional, tidak ada yang dipentingkan dan tidak ada pula yang ditelantarkan.

Konsepsi Islam tentang kewajiban memelihara lingkungan adalah sama dengan kewajiban memelihara lima tujuan pokok agama. Sederhananya dapat dikatakan bahwa lingkungan adalah prasyarat untuk mewujudkan tujuan pokok agama. Menjaga salat adalah salah satu bentuk perwujudan dari memelihara agama. Lingkungan yang bersih sebagai sarana untuk menjalankan salat juga merupakan salah satu faktor yang menentukan sah atau tidaknya salat seseorang. Apabila lingkungan tercemari, baik berupa air untuk berwudhu atau tempat untuk melaksanakan salat kotor dan sebagainya, maka secara otomatis pemeliharaan terhadap agama pun sudah terabaikan. 

Keseluruahan dari konsep dan doktrin Islam semuanya diserahkan kepada manusia sebagai amanah Allah untuk mengelolanya sebaik mungkin seperti Tuhan mengelola. Kesinambungan alam ini sangat tergantung kepada moralitas manusia. Kepedulian dan sikap keyakinan ini tentunya tidak muncul begitu saja tanpa harus didasari oleh keyakinan bahwa alam dan segenap isinya merupakan amanah yang wajib dipelihara dan dilestarikan. Secara ilmu agama, manusia yang melakukan perusakan pada bumi berarti melakukan pengingkaran terhadap Tuhan. Sementara dalam konteks fiqih, perusakan itu disebut haram dan konsekuensinya adalah dosa. Sebaliknya, memelihara kelestarian alam adalah maslahat, sebagai wujud dari iman. Perbuatan pemeliharaannya sebagai bentuk kewajiban terhadap syariat adalah wajib dan hadiahnya berupa pahala. Adapun sebab kerusakan sudah barang tentu ulah tangan manusia dan dampaknya pun akan dirasakan oleh manusia itu sendiri, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Ar-Rum: 41 yang berbunyi,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Memelihara lingkungan pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan keadilan yang universal. Konsep keadilan universal Islam adalah meletakkan kemaslahatan sebagai tujuan utama dari aktivitas kemanusiaan. Peduli terhadap kelestarian lingkungan tidak saja berorientasi pada kemaslahatan lingkungan itu sendiri, akan tetapi lebih dari itu sebagai jaminan terhadap kelangsungan hidup manusia. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengelola alam, tetapi kebebasan itu adalah kebebasan yang bertanggungjawab dan berkeadilan. Alam sebagai ladang ekonomi tidak hanya untuk dieksploitasi dan dijadikan sumber kekayaan pribadi, melainkan harus dipelihara dan dijadikan  sarana untuk berbagi dan memberdayakan  kelompok-kelompok miskin dan lemah. Karena konsep keadilan pada prinsipnya merupakan pemberdayaan terhadap kaum miskin dan kaum tertindas untuk memperbaiki nasib mereka dalam sejarah manusia. Keadilan terhadap lingkungan juga merupakan perwujudan untuk keadilan Allah, karena pada dasarnya Allah adalah Maha Pemelihara, yang kemudian otoritas pemeliharaan tersebut dilimpahkan kepada manusia untuk kepentingan manusia itu sendiri. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Isra ayat 70, 

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

“dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”

Kajian tentang lingkungan dalam Islam harus dilihat dari berbagai perspektif, karena lingkungan menjadi kata kunci dalam membangun tatanan masyarakat yang religius. Betapa tidak, keyakinan terhadap pencipta harus dimulai dari pengenalan terhadap alam semesta. Begitu pun tentang hak dan kewajiban selalu terkait dengan lingkungan alam sekitar. Sehingga dalam perumusan hukum pun pertimbangan situasi dan kondisi menjadi faktor utama, apakah sesuatu itu wajib, sunat, haram, makruh atau mubah/ boleh.

Mempertimbangkan situasi dan kondisi alam yang semakin kritis, maka menjaga kelestarian alam secara teologis termasuk dalam bagian dari manifestasi iman, dan sebaliknya perusakan terhadap lingkungan berarti pengingkaran terhadap iman. Iman pada dasarnya bertujuan untuk membangun sikap dan perilaku seseorang dalam merespon pergerakan alam, kepedulian terhadap lingkungan dan sebagainya. Maka turunan selanjutnya, iman mewajibkan seseorang untuk berlaku baik terhadap alam sekitar dan sekaligus sebagai pencegah terjadinya perusakan.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Panitia Donor Dakwah
Kegiatan Donor Dakwah dengan tema “Tantangan Generasi Islam Menghadapi Era Revolusi 4.0” telah diselenggarakan dengan baik dan lancar. Kegiatan yang dilaksanakan pada Rabu, 25 Desember 2019 pukul 10.30-17.00 WIB ini bertempat di Masjid Sirojul Athfal Sukasirna dengan sasaran mad’u remaja masjid IKRIMSAS (Ikatan Remaja Islam Masjid Sirojul Athfal Sukasirna). Adapun bentuk kegiatan berupa pelatihan kepenulisan, public speaking, fotografi, dan sinematografi ini diikuti 20 peserta dengan latar belakang pendidikan siswa SMA dan mahasiswa.
  
Dalam kegiatan ini, penulis berperan sebagai ketua pelaksana dan pemateri pelatihan kepenulisan. Acara dimulai pukul 10.30 yang diawali sambutan ketua pelaksana dan sambutan perwakilan DKM Sirojul Athfal, Acep Arif Rahman.  Dalam sambutan, penulis memaparkan latar belakang penyelenggaraan Donor Dakwah. Tema yang diusung berdasarkan pesatnya perkembangan teknologi. Digitalisasi kehidupan yang menjamur tidak hanya memberi peluang tetapi juga tantangan yang kompleks. Beragam tantangan dipikul generasi milenial –sebagai pemilik era. Generasi Islam pun ikut memangku permasalahan, seperti narasi-narasi bermuatan hoaks dan ketidaksiapan umat dalam pemanfaatan teknologi. Maka dari itu, satu-satunya cara untuk menyudahi masalah adalah mendisrupsikan diri ke dalam glamoritas zaman dengan menguasai keterampilan kepenulisan untuk menekan asumsi-asumsi negatif; public speaking agar vokal menyuarakan Islam; fotografi untuk mengabadikan momen-momen keindahan Islam dari berbagai sudut; dan sinematografi agar unggul di kancah pertelevisian dan perfilman.

Pemaparan materi kepenulisan
Usai pembukaan, dilanjutkan ke acara inti yang dimulai pelatihan kepenulisan. Penulis menggunakan teknik feedback and discussion dalam membuka sesi. Pertanyaan ringan seperti seputar pentingnya menulis mampu menghangatkan suasana. Perbedaan jawaban nampak jelas, pemaparan mahasiswa lebih ilmiah karena dikuatkan berbagai teori, sedangkan siswa SMA memberikan jawaban yang sifatnya praktis. Selanjutnya, ditarik kesimpulan bahwa urgensi menulis bukan hanya ekspresi diri, tetapi juga upaya pelanggengan diri dalam peradaban, tantangan revolusi industri 4.0 yang mengharuskan terampil menulis, dan mengembalikan masa keemasan Islam yang pernah terjadi pada masa Dinasti Abasiyah sebagai pusat peradaban dunia dengan bermunculan para cendekiawan muslim.

Materi dilanjutkan mengenai waktu yang tepat untuk menulis dan tempat, situs, atau sumber untuk mencari referensi. Waktu yang penulis paparkan agar produktif menulis adalah saat mood, malam, subuh, dan saat dalam tekanan (deadline). Adapun tempat atau situs untuk mencari referensi adalah perpustakaan, situs berita daring, jurnal daring, kompasiana, pdfdrive.com, dan perpusnas daring. Penulis lebih menekankan yang bersifat daring karena melihat fakta lapangan bahwa generasi saat ini sangat kadung akrab dengan smartphone dan laptop. Situs berita daring diantaranya CNN, tribunews, kompas, dan jurnal-jurnal yang dapat diakses situs garudaristekdikti, situs jurnal universitas, dan google scholar. Peserta pun diinstruksi berselancar di situs-situs daring tersebut dan mengundah jurnal.

Kelompok perempuan sedang berdiskusi
Setelah itu, peserta mendapatkan materi tahapan dan teknik menghasilkan tulisan yang baik, yaitu berwudhu, tentukan topik, membuat kerangka tulisan, mencari referensi, membaca referensi, menulis semampunya, cek tulisan, revisi, dan publikasi. Peserta dibagi ke dalam dua kelompok yang ditugaskan membuat kerangka tulisan dengan tema pendidikan Islam dan era revolusi industri 4.0. Dikarenakan keterbatasan waktu, tahap cek tulisan, revisi, dan publikasi dilakukan pkl. 16.30-17.00. 

Pembuatan blog
Kerangka yang dibuat dikumpulkan dan setiap kelompok diwakili satu orang untuk tahap revisi. Hasil akhir tulisan dijadikan satu dengan judul “Pendidikan Islam dalam Menghadapi Perkembangan Teknologi di Era Revolusi Industri 4.0”. Adapun untuk publikasi tulisan, dikaryakan dalam mading dan situs blog. Ketua IKRIMSAS dibimbing dalam pembuatan blog dan pemanfaatannya (blog: www.ikrimsas.blogspot.com). Adapun mading diletakkan di serambi masjid. 

Kegiatan Donor Dakwah diakhiri dengan foto bersama dan penyerahan sertifikat sebagai ucapan terima kasih kepada IKRIMSAS. 




Penyerahan sertifikat kepada ketua IKRIMSAS

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Sumber: tv2.no

Greta Thunberg duduk diam di kabin kapal yang akan membawanya melintasi Samudera Atlantik. Di dalam, ada tengkorak sapi yang tergantung di dinding, globe yang pudar, dan jas hujan kuning anak-anak. Di luar, terdapat banyak prahara, hujan melempari kapal, es melapisi geladak, dan laut melawan kapal yang akan membawa gadis kecil ini, ayahnya dan beberapa teman dari Virginia ke Portugal. Untuk sesaat, seolah-olah Thunberg adalah mata badai, kumpulan tekad di tengah kekacauan yang berputar-putar. Di sini, dia berbicara pelan. Di luar sana, seluruh dunia alami sepertinya menguatkan suara kecilnya, berteriak bersamanya.

"Kita tidak bisa terus hidup seolah-olah tidak ada hari esok, karena ada hari esok," katanya, menarik-narik lengan baju kaus birunya. "Hanya itu yang kami katakan."

Itu kebenaran sederhana, disampaikan oleh seorang gadis remaja di saat yang menentukan. Perahu layar, La Vagabonde, akan menggiring Thunberg ke Pelabuhan Lisbon, dan dari sana ia akan melakukan perjalanan ke Madrid, tempat Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi tuan rumah konferensi iklim tahun ini. Ini adalah pertemuan puncak terakhir sebelum negara-negara berkomitmen pada rencana baru untuk memenuhi tenggat waktu yang ditentukan oleh Perjanjian Paris, kecuali mereka sepakat pada tindakan transformatif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, kenaikan suhu dunia sejak Revolusi Industri akan mencapai angka 1,5°C —suatu kemungkinan yang para ilmuwan peringatkan akan memaparkan sekitar 350 juta orang tambahan untuk kekeringan dan mendorong sekitar 120 juta orang ke ekstrem kemiskinan pada tahun 2030. Untuk setiap fraksi derajat kenaikan suhu, masalah ini akan memburuk. Ini bukan ketakutan, ini adalah sains. Selama beberapa dekade, para peneliti dan aktivis telah berjuang untuk membuat para pemimpin dunia menanggapi ancaman iklim dengan serius, tapi tahun ini, seorang remaja yang tak terduga entah bagaimana mendapat perhatian dunia.

Thunberg memulai gerakan global dengan bolos sekolah sejak Agustus 2018. Ia menghabiskan hari-harinya berkemah di depan Parlemen Swedia, memegang papan yang dicat huruf hitam dengan latar belakang putih yang bertuliskan Skolstrejk för klimatet, “Mogok Sekolah untuk Iklim”. Dalam 16 bulan sejak itu, ia telah berbicara dengan para kepala negara di PBB, bertemu dengan Paus, berdebat dengan Presiden Amerika Serikat dan mengilhami 4 juta orang untuk bergabung dengan pemogokan iklim global pada 20 September 2019, merupakan demonstrasi iklim terbesar dalam sejarah manusia. Imejnya telah dirayakan dalam mural dan kostum Halloween, dan namanya telah dilampirkan ke segala sesuatu dari bagian sepeda. Margaret Atwood membandingkannya dengan Joan of Arc. Setelah memperhatikan peningkatan penggunaannya seratus kali lipat, para leksikografer di Collins Dictionary menyebut gagasan perintis Thunberg, Climate Strike, kata terbaik tahun ini.

Politik aksi iklim begitu mengakar dan kompleks seperti fenomena itu sendiri, dan Thunberg tidak memiliki solusi ajaib, tapi dia telah berhasil menciptakan perubahan sikap global, mengubah jutaan kecemasan samar-samar, tengah malam menjadi gerakan di seluruh dunia yang menyerukan perubahan mendesak. Dia telah menawarkan panggilan moral kepada mereka yang bersedia untuk bertindak, dan melemparkan rasa malu pada mereka yang tidak. Dia telah membujuk para pemimpin, dari walikota hingga Presiden, untuk membuat komitmen dimana mereka sebelumnya meraba-raba, setelah dia berbicara dengan Parlemen dan berdemonstrasi dengan kelompok lingkungan Inggris, Extinction Rebellion, Inggris mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan negara menghilangkan jejak karbonnya. Dia telah memusatkan perhatian dunia pada ketidakadilan lingkungan yang diprotes aktivis muda selama bertahun-tahun. Karena dia, ratusan ribu remaja "Gretas" dari Libanon ke Liberia, telah bolos sekolah untuk memimpin rekan-rekan mereka dalam serangan iklim di seluruh dunia.

Thunberg berusia 16 tetapi terlihat 12. Dia biasanya memakai rambutnya yang berwarna coklat muda yang ditarik menjadi dua kepang, terbelah di tengah. Dia mengidap sindrom Asperger, yang berarti dia tidak beroperasi pada register emosi yang sama dengan banyak orang yang dia temui. Dia tidak suka orang banyak, mengabaikan obrolan ringan, dan berbicara dalam kalimat langsung serta tidak rumit. Dia tidak bisa merasa tersanjung atau terganggu. Dia tidak terkesan oleh selebriti orang lain, dia juga tampaknya tidak tertarik dengan ketenarannya yang semakin berkembang. Tetapi kualitas-kualitas ini telah membantunya menjadikannya sensasi global. Saat orang lain tersenyum untuk memotong ketegangan, Thunberg layu. Ketika orang lain berbicara dengan bahasa harapan, Thunberg mengulangi ilmu yang tidak bisa disangkal. Lautan akan naik. Kota-kota akan banjir. Jutaan orang akan menderita.

Thunberg bukan pemimpin partai politik atau kelompok advokasi. Dia bukan yang pertama membunyikan alarm tentang krisis iklim atau yang paling berkualitas untuk memperbaikinya. Dia bukan ilmuwan atau politisi. Dia tidak memiliki akses ke pengaruh pengungkit tradisional. Dia bukan seorang miliarder atau seorang putri, bintang pop atau bahkan orang dewasa. Dia adalah gadis remaja biasa yang memanggil keberanian untuk berbicara kebenaran kepada kekuasaan, menjadi ikon generasi. Dengan mengklarifikasi bahaya abstrak dengan kemarahan yang menusuk, Thunberg menjadi suara paling menarik tentang masalah paling penting yang dihadapi planet ini.

Sepanjang jalan, dia muncul sebagai pembawa standar dalam pertempuran generasi, sebuah avatar aktivis pemuda di seluruh dunia yang berjuang untuk semuanya, mulai dari kontrol senjata hingga perwakilan demokratis. Pemogokan iklim globalnya adalah yang terbesar dan paling internasional dari semua gerakan pemuda, tetapi ini bukan satu-satunya, remaja di AS mengorganisir diri melawan kekerasan senjata dan berbondong-bondong ke kandidat progresif, para siswa di Hong Kong berjuang untuk mendapatkan perwakilan yang demokratis, dan orang-orang muda dari Amerika Selatan ke Eropa merasa gelisah untuk membentuk kembali ekonomi global. Thunberg tidak selaras dengan protes-protes yang berbeda ini, tetapi kehadirannya yang terus-menerus muncul untuk mewakili kemarahan pemuda di seluruh dunia. Menurut survei Amnesti Internasional Desember, kaum muda di 22 negara mengidentifikasi perubahan iklim sebagai masalah paling penting yang dihadapi dunia. Dia adalah pengingat bahwa orang-orang yang bertanggung jawab sekarang tidak akan bertanggung jawab selamanya, dan bahwa orang-orang muda yang mewarisi pemerintahan yang tidak berfungsi, ekonomi yang hancur dan planet yang semakin tidak hidup tahu betapa banyak orang dewasa telah mengecewakan mereka.

Momen Thunberg datang tepat ketika realitas ilmiah yang mendesak bertabrakan dengan ketidakpastian politik global. Setiap tahun kita membuang lebih banyak karbon ke atmosfer, planet ini tumbuh semakin dekat ke titik yang tidak dapat kembali lagi, dimana kehidupan di bumi seperti yang kita tahu akan berubah secara tak dapat diubah. Secara ilmiah, planet ini tidak mampu mengalami kemunduran lagi; secara politis, ini mungkin kesempatan terbaik kita untuk melakukan perubahan besar sebelum terlambat.

Thunberg mungkin setinggi 5 kaki, dan dia terlihat lebih kecil dalam pakaian hujan kebesaran hitamnya. Akhir November bukanlah waktu yang tepat untuk menyeberangi Samudra Atlantik yang lautnya keras, anginnya kencang, dan kapal kecil itu —katamaran yang bocor— menghabiskan waktu berminggu-minggu menumbuk dan menukik lebih dari 23 kaki lautan. Awalnya, Thunberg mabuk laut. Suatu kali, gelombang besar datang dari atas kapal, merobek kursi dari geladak dan mematahkan tali. Di waktu lain, dia terbangun oleh suara guntur yang meremukkan di atas kepala, dan para kru takut bahwa petir akan mengenai tiang.

Thunberg, dengan caranya yang tenang, tidak terpengaruh. Dia menghabiskan sebagian besar sore hari yang panjang di kabin, mendengarkan buku audio dan mengajar teman-teman kapalnya bermain Yatzy. Pada hari-hari yang tenang, dia naik ke dek dan memandangi lautan luas yang tidak berwarna. Di suatu tempat di bawah permukaan, jutaan ton plastik berputar. Ribuan mil ke utara, es laut mencair.

Thunberg mendekati masalah dunia dengan bobot orang tua, padahal dia masih anak-anak. Dia menyukai celana olahraga dan sepatu olahraga Velcro, dan berbagi gelang yang cocok dengan saudara perempuannya yang berusia 14 tahun. Dia suka kuda, dan dia merindukan kedua anjingnya, Moses dan Roxy, di Stockholm. Ibunya Malena Ernman adalah penyanyi opera Swedia terkemuka. Ayahnya Svante Thunberg memiliki hubungan jauh dengan Svante Arrhenius, seorang ahli kimia pemenang Hadiah Nobel yang mempelajari bagaimana karbon dioksida di atmosfer meningkatkan suhu di permukaan bumi.

Lebih dari seabad setelah sains dikenal, guru sekolah dasar Thunberg menunjukkan video efeknya tentang kelaparan beruang kutub, cuaca ekstrem, dan banjir. Guru menjelaskan bahwa itu semua terjadi karena perubahan iklim. Setelah itu seluruh kelas terasa suram, tetapi anak-anak lain dapat melanjutkan. Thunberg tidak bisa. Dia mulai merasa sangat kesepian. Dia berusia 11 tahun ketika dia mengalami depresi berat. Selama berbulan-bulan, dia berhenti berbicara hampir seluruhnya, dan makan sangat sedikit sehingga dia hampir dirawat di rumah sakit. Orang tuanya mengambil cuti untuk merawatnya melalui apa yang diingat ayahnya sebagai periode "kesedihan yang tak berkesudahan" dan Thunberg sendiri ingat merasa bingung. "Saya tidak bisa mengerti bagaimana itu bisa ada, ancaman eksistensial itu, namun kami tidak memprioritaskannya," katanya. "Aku mungkin sedikit menyangkal, seperti, 'Itu tidak mungkin terjadi, karena jika itu terjadi, maka para politisi akan mengurusnya.'"

Pada awalnya, ayah Thunberg meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi ketika dia membaca lebih banyak tentang krisis iklim, dia menemukan kata-katanya sendiri berongga. Dalam upaya untuk menghibur putri mereka, keluarga mulai mengubah kebiasaan mereka untuk mengurangi emisi mereka. Mereka kebanyakan berhenti makan daging, memasang panel surya, dan mulai menanam sayuran mereka.

Diagnosis Asperger yang Thunberg idap membantu menjelaskan mengapa dia memiliki reaksi yang sangat kuat untuk belajar tentang krisis iklim, karena dia tidak memproses informasi dengan cara yang sama seperti yang dilakukan orang-orang neurotipikal, dia tidak dapat memilah-milah fakta bahwa planetnya dalam bahaya. "Saya melihat dunia hitam-putih, dan saya tidak suka berkompromi." Dia dalam beberapa hal bersyukur atas diagnosisnya, jika otaknya bekerja secara berbeda, dia tidak akan bisa duduk berjam-jam dan membaca hal-hal yang diminati. Fokus dan cara berbicara Thunberg menunjukkan kedewasaan yang jauh melampaui usianya. Ketika dia melewati teman-teman sekelasnya di sekolahnya, dia berkomentar bahwa “anak-anak sangat berisik,” seolah-olah dia bukan salah satu dari mereka.

Pada Mei 2018, setelah Thunberg menulis esai tentang perubahan iklim yang diterbitkan di surat kabar Swedia, beberapa aktivis iklim Skandinavia menghubunginya. Thunberg menyarankan agar mereka meniru para siswa dari Sekolah Menengah Marjory Stoneman Douglas di Parkland, Florida, yang baru-baru ini mengorganisir pemogokan sekolah untuk memprotes kekerasan senjata di AS. Para aktivis lain memutuskan menentang gagasan itu, tetapi itu bersarang di benak Thunberg. Dia mengumumkan kepada orang tuanya bahwa dia akan melakukan mogok kerja untuk menekan pemerintah Swedia untuk memenuhi tujuan Perjanjian Paris. Pemogokan sekolahnya, katanya kepada mereka, akan berlangsung hingga pemilihan Swedia pada September 2018.

Orang tua Thunberg pada awalnya tidak senang melihat gagasan bahwa putri mereka kehilangan begitu banyak kelas, dan guru-gurunya menyarankan dia menemukan cara berbeda untuk memprotes, tapi Thunberg tidak bisa digerakkan. Dia mengumpulkan selebaran dengan fakta-fakta tentang tingkat kepunahan dan anggaran karbon, dan kemudian menaburkannya dengan rasa humor yang nakal yang telah membuat kekeraskepalaannya menjadi viral. "Nama saya Greta, saya di kelas sembilan, dan saya sekolah untuk iklim," tulisnya di setiap selebaran. "Karena kalian orang dewasa tidak peduli tentang masa depanku, aku juga tidak."

Pada 20 Agustus 2018, Thunberg tiba di depan Parlemen Swedia, mengenakan jaket biru dan membawa tanda pemogokan sekolah buatannya. Dia tidak memiliki dukungan kelembagaan, tidak ada dukungan formal dan tidak ada yang bisa menemaninya. Tetapi melakukan sesuatu —berdiri, bahkan jika dia sendirian— merasa lebih baik daripada tidak melakukan apa pun. “Mempelajari tentang perubahan iklim memicu depresi saya sejak awal,” katanya. “Tapi itu juga yang membuat saya keluar dari depresi, karena ada beberapa hal yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki situasi. Saya tidak punya waktu untuk depresi lagi, ayahnya mengatakan bahwa setelah dia mulai menyerang, seolah-olah dia "hidup kembali".

Pada hari pertama pemogokan iklimnya, Thunberg sendirian. Dia duduk terpuruk di tanah, tampak hampir tidak lebih besar dari tas punggungnya. Itu adalah hari pada Agustus yang luar biasa dingin. Dia mempublikasikan tentang pemogokannya di media sosial, dan beberapa jurnalis datang untuk berbicara dengannya, tetapi sebagian besar hari dia sendirian. Dia menyantap makan siangnya dengan pasta kacang dengan garam, dan pada jam 3 sore, ketika dia biasanya meninggalkan sekolah, ayahnya menjemputnya dan mereka bersepeda pulang.

Pada hari kedua, seorang asing bergabung dengannya. “Itu langkah besar, dari satu ke dua,” kenangnya. Seorang aktivis Greenpeace membawa pad vegan, yang Thunberg coba untuk pertama kalinya. Tiba-tiba sebuah kelompok, satu orang yang menolak untuk menerima status quo telah menjadi dua, kemudian delapan, kemudian 40, kemudian ratusan, lalu ribuan. Cukup banyak orang yang bergabung dengan pemogokan iklim Thunberg di Stockholm yang dia umumkan akan dilanjutkan setiap Jumat sampai Swedia selaras dengan Perjanjian Paris. Gerakan Jumat untuk masa depan. 

Pada September 2019, serangan iklim telah menyebar ke luar Eropa utara. Di New York City, 250.000 dilaporkan berbaris di Battery Park dan di luar City Hall. Di London, 100.000 berkeliaran di jalan-jalan dekat Westminster Abbey, dalam bayangan Big Ben. Di Jerman, total 1,4 juta orang turun ke jalan, dengan ribuan membanjiri Gerbang Brandenburg di Berlin dan berbaris di hampir 600 kota-kota lain di seluruh negeri. Dari Antartika ke Papua Nugini, dari Kabul ke Johannesburg, diperkirakan 4 juta orang dari segala usia muncul untuk memprotes. Tanda-tanda mereka menceritakan sebuah kisah. Di London: “Dunia Lebih Panas daripada Leonardo DiCaprio Muda”. Di Turki: “Setiap Film Bencana Dimulai dengan Seorang Ilmuwan Diabaikan”. Di New York: “Dinosaurus Mengira Mereka Punya Waktu Juga”. Ratusan orang membawa gambar Thunberg atau melukis kutipannya di papan poster, “Buat Dunia Greta Lagi menjadi seruan”.

Pada 6 Desember, puluhan ribu orang membanjiri Madrid untuk menunjukkan aksi iklim mencurahkan kereta api dan bus dan menyapu ombak besar melalui jantung kota. Di atas kepala mereka, angin membawa pesan-pesan yang ganas —Merry Crisis dan Happy New Fear; Kamu Akan Mati karena Usia Tua, Aku Akan Mati karena Perubahan Iklim— dan deru nyanyian dan gendang yang memuncak seperti guntur di jalanan. Sekelompok wanita muda dan gadis remaja dari Fridays for Future chapter Spanyol mengawal Thunberg perlahan-lahan dari konferensi pers terdekat ke pawai, menghubungkan lengan mereka untuk menciptakan perisai manusia. Sekali lagi, Thunberg adalah ketenangan di mata angin topan yang tengah diterpa dan terangkat oleh kerumunan yang melonjak, hiruk-pikuk dan geram tetapi juga anehnya kegembiraan.

Mereka membutuhkan waktu satu jam hanya untuk mencapai demonstrasi utama. Ketika Thunberg akhirnya mendekati panggung, dia naik sepatu dengan Velcro ke mikrofon dan mulai berbicara. Drum berhenti, dan ribuan bersandar untuk mendengarkan. "Perubahan akan datang dari orang-orang yang menuntut tindakan," katanya, "dan itu adalah kita." Dari tempat dia berdiri, dia bisa melihat ke segala arah. Pemandangan itu adalah lautan luas anak muda dari berbagai negara di seluruh dunia, kekuatan besar dari mereka melonjak dan berjambul, siap untuk bangkit. Kejernihan moralnya menginspirasi orang-orang muda lainnya di seluruh dunia. Berbondong-bondong menjadikannya figur panutan. 

Sumber: Majalah TIME
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Sumber: Liputan6.com

Perkembangan Islam pada periode awal dan periode sekarang, sangatlah bertolak belakang satu sama lain. Dahulu, Islam hadir dengan wajah rahmatan lil ‘alamin, menjunjung tinggi toleransi dan keluhuran adab. Harmonisasi antara ajaran Islam dan kebudayaan setempat terjalin baik, sehingga melahirkan masyarakat yang rukun. Namun sayangnya, realitas yang demikian sudah sulit ditemukan di lapangan. Terjadi destruksi wajah Islam yang dilakukan oleh internal umatnya sendiri. Masing-masing golongan mempertahankan ideologinya yang berujung pada kafir mengkafirkan sesama umat muslim.

Kenyataan ini, diperburuk oleh kehadiran teknologi dan informasi yang semakin canggih, Polarisasi pun terbentuk dikarenakan sumber informasi yang dijadikan acuan berbeda satu sama lainnya. Sehingga, sudah bukan hal yang asing lagi melihat sesama umat muslim saling menjegal, mencaci, dan berbenturan. Fenomena ini bukan hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga telah bermigrasi ke sosial media.

Berkaca dari peristiwa ini, tantangan Islam moderat di zaman sekarang menjadi lebih kompleks. Generasi milenial –selaku pemiliki era modern– harus lebih diperhatikan pergerakannya dan diupayakan dapat menjinakkannya. Moderasi Islam harus kembali digaungkan di tengah generasi milenial yang sebagian besar hidupnya terkuras habis di dunia digital.

Revolusi Mental di Tengah Revolusi Industri

Bila dahulu Kartini mengatakan “habis gelap terbitlah terang”, maka generasi milenial mengatakan “habis revolusi industri 3.0, terbitlah revolusi industri 4.0”.

Seolah tak habis akan ide, manusia terus mengotak-atik otaknya untuk menciptakan sesuatu yang lebih efisien untuk digunakan. Kini, budaya modern semakin marak merebak. Dunia pun semakin menyempit dan tidak ada batasan ruang maupun waktu untuk berinteraksi dengan manusia yang lainnya dari berbagai penjuru.

Berbagai negara di dunia, terutama Indonesia, sedang berbenah untuk mempersiapkan diri menyongsong era industri baru yang ditandai dengan digitalisasi di berbagai lini kehidupan. Para pakar menyebut ini sebagai era revolusi industri 4.0. Akibatnya terjadi pergeseran peran manusia sebagai subjek vital digantikan oleh otomatisasi mekanis dan digitalisasi teknologi.

Era revolusi industri 4.0 dikatakan juga sebagai era disrupsi. Secara bahasa, disrupsi berarti hal tercabut dari akarnya. Jika diartikan dalam kehidupan sehar-hari, disrupsi adalah terjadinya perubahan fundamental yang dipengaruhi perkembangan zaman dimana evolusi teknologi menyasar celah-celah kehidupan manusia. Tatanan kehidupan terjadi perombakan, terjadi migrasi dari dunia nyata ke dunia maya.

Glamoritas teknologi yang semakin canggih ini rupanya belum siap untuk dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Masalah utama dan yang selalu menjadi momok bangsa adalah sumber daya manusia (SDM) yang belum memadai. Mentalitas masyarakat masih bertumpu pada yang bersifat tradisional dan tradisi turun temurun. Sehingga, ketika sesuatu yang baru datang, nampaknya masih tergopoh-gopoh dalam penanganannya, atau justru mati tertinggal oleh zaman.

Sebagaimana gagasan yang diutarakan presiden Indonesia, Ir. H. Joko Widodo, revolusi mental penting untuk dilakukan. Revolusi mental bukan hanya dijadikan jargon, tetapi juga suatu gerakan untuk merubah mentalitas masyarakat agar bisa memajukan Indonesia di tengah persaingan global yang semakin kompetitif. Revolusi mental ini hakikatnya megisi mental manusia dengan nilai-nilai luhur (nilai agama, nilai tradisi budaya dan nilai falsafah bangsa) secara besar-besaran sehingga terbentuk karakter baik (Maragustam, 2015). Secara substansi paradigma revolusi mental adalah pandangan baru tentang perubahan besar dalam struktur mental manusia dalam membangun mentalitas baik. Dalam kajian keislaman, mentalitas pelaku dakwah harus diisi sesuai zaman, karena problematika yang dihadapi jauh berbeda dibandingkan pada zaman Nabi. Metode dakwah yang notabene bersifat oral harus segera berpindah ke digital.

Islam Moderat di Tengah Gempuran Era Disrupsi

Sebagaimana hukum alam, segala sesuatu pasti memiliki sisi positif dan sisi negatif. Begitupula dengan era disrupsi ini. Menjadi peluang ketika bisa menguasai teknologi, tetapi juga bisa menjadi ancaman ketika enggan berinovasi dan masih menutup diri dari pesatnya laju globalisasi.

Kasali dalam buku Disruption: Tak Ada yang Tak Bisa Diubah Sebelum Dihadapi memaparkan bahwa terdapat empat indikator era disrupsi ini, yaitu simpler (lebih mudah), cheaper (lebih murah), accessible (lebih terjangkau), dan faster (lebih cepat). Keempat indikator inilah yang digandrungi generasi saat ini. Penyangga dari era ini adalah generasi milenial. Mereka masih aktif dan responsif terhadap produk teknologi informasi mutakhir.

Mulanya, revolusi industri hanya berdampak pada bidang ekonomi, namun seiring perkembangannya, berbagai sektor pun terkena imbasnya. Faktanya, maraknya situs dakwah, baik di youtube, instagram, facebook, twitter, dan sosial media lainnya, menjadikan jalan alternatif di tengah sibuknya pekerjaan. Pada posisi ini, era disrupsi menancapkan taringnya dalam ajaran Islam.

Pegiat dakwah pun berbondong-bondong ikut meramaikan dengan I’lam, yaitu dakwah dengan teknologi. Melihat dari sisi positif, umat muslim secara fleksibel dapat menimba melalui artikel-artikel Islam maupun yang berbentuk audio-visual.

Namun nyatanya, kemudahan yang disuguhkan tidak menjadikan umat memiliki tingkat literasi yang baik. Karakteristik dari generasi milenial saat ini yaitu menyukai sesuatu yang instan, nir-proses, dan kebutuhan pola pikir eksponensial. Generasi ini cenderung taqlid terhadap satu situs saja, tanpa melakukan penelitian atau komparasi dengan informasi yang dihadirkan oleh situ-situs lain. Tidak ada pemahaman secara mendalam yang disadurkan kepada Al-Quran dan Sunnah beserta tafsirannya. Selain dari itu, ideologi yang mengusung semangat radikalisme pun tersebar luas di media online. Para “pedagang ideologi” dengan mudah memasarkan paham-pahamnya yang bertentangan dengan Islam di media sosial. Sehingga bukan hal asing, banyak yang saling mengkafirkan dengan didasarkan kepada sesuatu yang bersifat tekstual, bukan kontekstual.

Dengan demikian, tantangan besar di era disrupsi ini adalah penyemaian paham Islam moderat di kalangan generasi milenial. Pegiat dakwah yang menyelami dunia digital belumlah seimbang dengan jumlah generasi milenial yang ada. Hal ini dikarenakan masih ada yang mengharamkan produk teknologi dan menganggap golongan yang memakai media digital sebagai antek-antek Yahudi.

Revitalisasi media digital sebagai media dakwah Islam moderat harus gencar dilakukan untuk menekan radikalisme yang mulai menjalar ke berbagai kalangan. Gempuran ideologi radikal yang menjadikan akses internet sebagai medianya, terkesan sangat revolusioner karena sebarannya sangat pesat, serta efek keterpengaruhannya pada generasi muda yang mempunyai semangat beragama tinggi begitu melekat. Pada saat ideologi yang sering tidak mengindahkan dialog dan konfirmasi ini menjadi tren baru yang diminati, maka ormas atau kelompok Islam yang melakukan kampanye dan propagandanya di media online. Walaupun tidak bisa menghilangkan laju pemikiran yang terkesan keras itu, setidaknya mampu membendung agar pengaruhnya tidak semakin meluas.

Cara pertama yang harus dilakukan adalah dengan menggunakan disruptive mindset. Persoalan mindset menjadi sangat penting, karena bagaimana manusai berpikir, yang menentukan “setting awal”, yang kita buat sebelum seseorang berpikir dan bertindak.

Maka, mindset yang harus selalu dipropagandakan, dikampanyekan secara masif adalah Islam merupakan agama yang membawa rahmah bagi seluruh makhluk, mengedepankan toleransi, ramah, terbuka untuk dialog (musyawarah) dan tidak mengenal kekerasan serta ujaran kebencian dalam spirit dakwahnya.

Selain itu, memproduksi narasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai moderasi, keberagaman-kebhinekaan, semangat kebangsaan melalui media online dengan tahapan produksi, posting, reposting, sharing, dan broadcasting. Karena cara inilah yang lazim digunakan oleh pengelola ujaran kebencian di dunia maya.

Selain menyajikan narasi positif, perlu juga memproduksi lebih banyak jurnalisme visual. Melalui pembuatan infografis yang sifatnya powerfull dan menarik, serta video maker yang menggambarkan keragaman dan kekhasan Islam Indonesia yang moderat, santun, dan toleran.

Melalui berbagai strategi inilah, maka mempromosikan Islam moderat di tengah generasi milenial melalui digital menemukan efektifitasnya. Hal ini dalam rangka menghadang dan membendung membludaknya informasi yang mengandung pemahaman yang tidak sesuai dengan semangat moderasi yang selama ini menjadi aset ekspresi keislaman bangsa Indonesia.

Juara 1 Menulis Artikel dalam Perlombaan Communication Festival Se-Jawa Barat
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Topic : “Discussing the Roles of Member States and the OIC in Response to the Ongoing Refugee Crisis”
Committee  : Organization of Islamic Cooperation (OIC)
Country : Morocco
In the current global framework, the dynamics of migration in the world have undergone many transformations since 2000 as a result of the deteriorating economic conditions in many parts of Africa and the security upheaval that occurred in Middle Eastern countries. As a result, migration flows have become irregular and unpredictable along the western Mediterranean route, which was initially used mostly by migrants from sub-Saharan Africa countries and Al-Jazeera. This movement continued to escalate between 2000 and 2006, then increased sharply over the next four years as migration routes shifted from Morocco to Libya and the central Mediterranean.

Morocco began to receive many migrants and refugees after the civil war in Syria that began in 2014. Now, almost 8,000 refugees live in Morocco, most of them from Syria, Yemen, Cameroon, Ivory Coast, and other countries of Sub-Saharan Africa. In addition, the International Organization for Migration (IOM) estimates that there are nearly 100,000 migrants living in Morocco, this figure represents 0.3 per cent of the total Moroccan population.

The increasing number of migrants from sub-Saharan Africa passing through Morocco on their way to Europe during the first nine months of 2018 has again made it one of the most important migratory corridors in the Mediterranean. As of 30 September 2018, nearly 37,000 people had emigrated in an irregular way between Africa and Europe via the western Mediterranean migration route in 2018. Thus Morocco became the first country of departure for migrants from Africa in 2018, while Spain became the most important gateway to Europe.

Recognizing the increasing phenomenon of refugees in Morocco, on 10 September 2013, Moroccan King Mohamed VI, adopted a new policy on immigration and asylum seekers, as a result of meetings with the Minister of the Interior and human rights representatives (among them the National Council for Human Rights, CNDH). This policy offers new protection for refugees in Morocco, by providing access to public education, health services, and the labor market.

The new migration policy consists of three main elements: (1) an extraordinary regulatory process for immigrants, which was carried out in 2014 (this operation benefited nearly 45,000 migrants); (2) expand the power for UNHCR to grant asylum rights to more asylum seekers and refugees in Morocco; (3) new laws that allow better integration of migrants and asylum seekers into Moroccan society, as well as increased emphasis on the fight against human trafficking.

As for overcoming the problem as a result of increasing refugees, one of which is in the economic field, the United Nations and the General Confederation of Enterprises of Morocco (GCEM) have signed a tripartite agreement with the Moroccan Government to support the economic integration of refugees in Morocco. A statement issued by the Ministry of Foreign Affairs outlining the agreement, signed on May 18, under which GCEM will work with refugees to develop their professional skills and improve employability in the private sector. As a union of corporate leaders in Morocco, GCEM is committed to promoting economic autonomy for all vulnerable populations through workshops and skills development.

As already stated, most of the refugees are from Syria, Yemen, Ivory Coast, and other countries of Sub-Saharan Africa, these countries are member states of the OIC. This phenomenon reflects that the OIC has not been able to carry out the main objectives of the formation of OIC in 1969, which include promoting Islamic solidarity among its members and eliminating racial discrimination and colonialism in all its forms. Therefore, OIC must also focus on the problem of the refugee crisis, because this crisis affects many things, such as human trafficking, unemployment, economic downturn, and disputes with the country where refugees stop. Resolution on Humanitarian Affairs agreed in Abu Dhabi, United Arab Emirates must be taken seriously. Affiliation with various other international organizations must be carried out in order to be mutually sustainable.

Morocco proposes a mandate resolution to facilitate the integration of newly regulated official immigrants, to establish an adaptable institutional and regulatory framework, and to manage the flow of migration in a way that maintains respect for human rights. Then, Morocco also recommends that directed at the United Nations, International Community, OIC, UNHCR, and civil society throughout the world, that according to article 14 of the Universal Declaration of Human Rights (UDHR), "Everyone has the right to seek and enjoy asylum in other countries from persecution". Therefore it is important to pay close attention to the implementation of the Refugee Convention, namely securing the rights of refugees to obtain protection and recognition of the right to access livelihoods.

To facilitate this, there is a need for the international community to establish 'watchdog' supra-national monitoring on the implementation of the Refugee Convention. This 'watchdog' is also given a mandate to take action or sanctions against countries that have ratified the convention but have not implemented it properly.

Then, often the international media and the world community misinterpreted refugees. It is important that people, especially officials, know the meaning of refugee and its rights under the Refugee Convention. Need to do socialization about refugees and their rights. By being more aware of refugee rights, refugees will be able to more easily claim their rights and civil society can put more pressure on government authorities to provide refugee access to their refugee rights. OIC’s member states (and other countries throughout the world) must also implement adequate asylum procedures to explain to irregular migrants and refugees about their rights and how realistic their expectations are. Migration management must include a humanitarian perspective and focus on securing basic human rights for all migrants.

REFERENCE

The Externalization Of European Borders: Morocco Becomes A Key EU Partner In Migration Control. (2018, December 26). Retrieved October 10, 2019, from Forbes: https://www.forbes.com/sites/anagarciavaldivia/2018/12/26/the-externalization-of-european-borders-morocco-becomes-a-key-partner-for-the-eu/#2a97eb282657

anonym. (2018, May 21). Moroccan Gov’t, CGEM, UN Team Up to Support Refugee Integration in Morocco. Retrieved October 10, 2019, from Morocco World News: https://www.moroccoworldnews.com/2018/05/246802/moroccan-government-cgem-un-refugee-integration/

Brinke, D. t. (2011). Being a Refugee in Morocco. Nijmigen: Radboud University Nijmigen.

Lahlou, M. (2018). Migration Dynamics in Play in Morocco: Trafficking and Political Relationship and Their Implications at The Regional Level. Menara, 1-18.

Pierce, M. (2019, March 19). Between the Desert and the Sea: The Plight of Refugees in Morocco. Retrieved October 10, 2019, from Pulitzer Center: https://pulitzercenter.org/reporting/between-desert-and-sea-plight-refugees-morocco
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Kiriman Lampau

Siapakah Aksa?

Siapakah Aksa?
Aku adalah apa yang kamu baca dan dengar

Ikuti dan Tanya Aku!

  • instagram
  • facebook
  • youtube
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

Apa aja yang banyak dicari?

  • [Syarhil] Akhlak Rasulullah sebagai Kunci Perbaikan Dekadensi Moral
    Ilustrasi Assalamualaikum wr.wb. Dewan juri yang kami hormati! para peserta Musabaqah Syarhil Qur’an yang berbahagia, serta ha...
  • Dollar menjadi Raja
    “Waduh! Sembako mahal!” “BBM naik!” “Kemana pemerintah? Kok bahan-bahan pokok jadi mahal!” Itulah beberapa pernyataan yang terlo...
  • Disiplin, Apakah perlu?
    Saat mendengar kata “Disiplin” maka pikiran yang terlintas di benak kita adalah suatu beban atau suatu tanggung jawab yang ...
  • Beasiswa PPA 2019 UIN Sunan Gunung Djati Bandung
    Assalamualaikum! Hallo! Apa kabar? Semoga sehat selalu ya.. Berjumpa lagi dengan Aksa di tahun yang berbeda tapi kabar yang sama...
  • [Story Telling] Malin Kundang (+Video)
    Once upon a time, there was a poor boy named Malin Kundang. He lived with his old mother in West Sumatera. He was very nice boy but he...
  • Mengenal Pilar Budaya Cianjur
    Sejak dahulu, Kabupaten Cianjur sudah terkenal dengan budaya 3M (Maos, Mamaos, Maenpo) yang menjadi ciri Kabupaten Cianjur. Bupati Cianjur...
  • Ruksakna Iman jeung Alam (Bahasa Sunda)
    Sumber: ISNET Dina surat Ar-Rum ayat 40 deugika 42, Alloh negeskeun ka manusa, yén ‘ngayugakeun kahirupan’ , ‘nyiptakeun rejeki’ ajan...
  • [PUISI] Tangis (W.S. Rendra)
    Tangis Karya: W.S. Rendra Ke mana larinya anak tercinta Yang diburu segenap penduduk kota? Paman Doblang! Paman Doblang! Ia la...
  • Best Position Paper Asia World MUN III (Committee OIC)
    Topic : “Discussing the Roles of Member States and the OIC in Response to the Ongoing Refugee Crisis” Commit...
  • Cyberbullying, Tren Generasi Milenial Indonesia
    Source: iam1n4.com Perbincangan mengenai bullying kembali mencuat ke permukaan. Masalah kolot yang biasanya terjadi di sekolah ini b...

Postingan Terbaru!!

Ada Apa Aja?

  • Artikel dan Essai
  • Beasiswa dan Kepemudaan
  • Berani Merasa
  • Cerpen
  • Excel
  • Pidato
  • Puisi
  • Tugas Kuliah

Garis Waktu

  • Juli 2025 (2)
  • Desember 2023 (1)
  • September 2021 (1)
  • Agustus 2021 (1)
  • Mei 2021 (1)
  • Maret 2021 (3)
  • November 2020 (3)
  • Oktober 2020 (1)
  • September 2020 (1)
  • Agustus 2020 (6)
  • Juli 2020 (3)
  • Juni 2020 (1)
  • Mei 2020 (3)
  • April 2020 (7)
  • Maret 2020 (5)
  • Februari 2020 (1)
  • Januari 2020 (5)
  • November 2019 (1)
  • Oktober 2019 (1)
  • Juni 2019 (1)
  • Mei 2019 (1)
  • Maret 2019 (1)
  • Februari 2019 (1)
  • Januari 2019 (2)
  • Desember 2018 (6)
  • November 2018 (3)
  • Oktober 2018 (10)
  • September 2018 (5)
  • Agustus 2018 (6)
  • Juli 2018 (3)
  • April 2018 (6)
  • Desember 2015 (8)
  • Juli 2015 (1)
  • April 2015 (1)
  • Maret 2015 (9)

Created with by Aksara Fauzi | Helped by Someone