­

Tantangan Da’i di Era Disruptif

by - Januari 06, 2020

Sumber: Liputan6.com

Perkembangan Islam pada periode awal dan periode sekarang, sangatlah bertolak belakang satu sama lain. Dahulu, Islam hadir dengan wajah rahmatan lil ‘alamin, menjunjung tinggi toleransi dan keluhuran adab. Harmonisasi antara ajaran Islam dan kebudayaan setempat terjalin baik, sehingga melahirkan masyarakat yang rukun. Namun sayangnya, realitas yang demikian sudah sulit ditemukan di lapangan. Terjadi destruksi wajah Islam yang dilakukan oleh internal umatnya sendiri. Masing-masing golongan mempertahankan ideologinya yang berujung pada kafir mengkafirkan sesama umat muslim.

Kenyataan ini, diperburuk oleh kehadiran teknologi dan informasi yang semakin canggih, Polarisasi pun terbentuk dikarenakan sumber informasi yang dijadikan acuan berbeda satu sama lainnya. Sehingga, sudah bukan hal yang asing lagi melihat sesama umat muslim saling menjegal, mencaci, dan berbenturan. Fenomena ini bukan hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga telah bermigrasi ke sosial media.

Berkaca dari peristiwa ini, tantangan Islam moderat di zaman sekarang menjadi lebih kompleks. Generasi milenial –selaku pemiliki era modern– harus lebih diperhatikan pergerakannya dan diupayakan dapat menjinakkannya. Moderasi Islam harus kembali digaungkan di tengah generasi milenial yang sebagian besar hidupnya terkuras habis di dunia digital.

Revolusi Mental di Tengah Revolusi Industri

Bila dahulu Kartini mengatakan “habis gelap terbitlah terang”, maka generasi milenial mengatakan “habis revolusi industri 3.0, terbitlah revolusi industri 4.0”.

Seolah tak habis akan ide, manusia terus mengotak-atik otaknya untuk menciptakan sesuatu yang lebih efisien untuk digunakan. Kini, budaya modern semakin marak merebak. Dunia pun semakin menyempit dan tidak ada batasan ruang maupun waktu untuk berinteraksi dengan manusia yang lainnya dari berbagai penjuru.

Berbagai negara di dunia, terutama Indonesia, sedang berbenah untuk mempersiapkan diri menyongsong era industri baru yang ditandai dengan digitalisasi di berbagai lini kehidupan. Para pakar menyebut ini sebagai era revolusi industri 4.0. Akibatnya terjadi pergeseran peran manusia sebagai subjek vital digantikan oleh otomatisasi mekanis dan digitalisasi teknologi.

Era revolusi industri 4.0 dikatakan juga sebagai era disrupsi. Secara bahasa, disrupsi berarti hal tercabut dari akarnya. Jika diartikan dalam kehidupan sehar-hari, disrupsi adalah terjadinya perubahan fundamental yang dipengaruhi perkembangan zaman dimana evolusi teknologi menyasar celah-celah kehidupan manusia. Tatanan kehidupan terjadi perombakan, terjadi migrasi dari dunia nyata ke dunia maya.

Glamoritas teknologi yang semakin canggih ini rupanya belum siap untuk dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Masalah utama dan yang selalu menjadi momok bangsa adalah sumber daya manusia (SDM) yang belum memadai. Mentalitas masyarakat masih bertumpu pada yang bersifat tradisional dan tradisi turun temurun. Sehingga, ketika sesuatu yang baru datang, nampaknya masih tergopoh-gopoh dalam penanganannya, atau justru mati tertinggal oleh zaman.

Sebagaimana gagasan yang diutarakan presiden Indonesia, Ir. H. Joko Widodo, revolusi mental penting untuk dilakukan. Revolusi mental bukan hanya dijadikan jargon, tetapi juga suatu gerakan untuk merubah mentalitas masyarakat agar bisa memajukan Indonesia di tengah persaingan global yang semakin kompetitif. Revolusi mental ini hakikatnya megisi mental manusia dengan nilai-nilai luhur (nilai agama, nilai tradisi budaya dan nilai falsafah bangsa) secara besar-besaran sehingga terbentuk karakter baik (Maragustam, 2015). Secara substansi paradigma revolusi mental adalah pandangan baru tentang perubahan besar dalam struktur mental manusia dalam membangun mentalitas baik. Dalam kajian keislaman, mentalitas pelaku dakwah harus diisi sesuai zaman, karena problematika yang dihadapi jauh berbeda dibandingkan pada zaman Nabi. Metode dakwah yang notabene bersifat oral harus segera berpindah ke digital.

Islam Moderat di Tengah Gempuran Era Disrupsi

Sebagaimana hukum alam, segala sesuatu pasti memiliki sisi positif dan sisi negatif. Begitupula dengan era disrupsi ini. Menjadi peluang ketika bisa menguasai teknologi, tetapi juga bisa menjadi ancaman ketika enggan berinovasi dan masih menutup diri dari pesatnya laju globalisasi.

Kasali dalam buku Disruption: Tak Ada yang Tak Bisa Diubah Sebelum Dihadapi memaparkan bahwa terdapat empat indikator era disrupsi ini, yaitu simpler (lebih mudah), cheaper (lebih murah), accessible (lebih terjangkau), dan faster (lebih cepat). Keempat indikator inilah yang digandrungi generasi saat ini. Penyangga dari era ini adalah generasi milenial. Mereka masih aktif dan responsif terhadap produk teknologi informasi mutakhir.

Mulanya, revolusi industri hanya berdampak pada bidang ekonomi, namun seiring perkembangannya, berbagai sektor pun terkena imbasnya. Faktanya, maraknya situs dakwah, baik di youtube, instagram, facebook, twitter, dan sosial media lainnya, menjadikan jalan alternatif di tengah sibuknya pekerjaan. Pada posisi ini, era disrupsi menancapkan taringnya dalam ajaran Islam.

Pegiat dakwah pun berbondong-bondong ikut meramaikan dengan I’lam, yaitu dakwah dengan teknologi. Melihat dari sisi positif, umat muslim secara fleksibel dapat menimba melalui artikel-artikel Islam maupun yang berbentuk audio-visual.

Namun nyatanya, kemudahan yang disuguhkan tidak menjadikan umat memiliki tingkat literasi yang baik. Karakteristik dari generasi milenial saat ini yaitu menyukai sesuatu yang instan, nir-proses, dan kebutuhan pola pikir eksponensial. Generasi ini cenderung taqlid terhadap satu situs saja, tanpa melakukan penelitian atau komparasi dengan informasi yang dihadirkan oleh situ-situs lain. Tidak ada pemahaman secara mendalam yang disadurkan kepada Al-Quran dan Sunnah beserta tafsirannya. Selain dari itu, ideologi yang mengusung semangat radikalisme pun tersebar luas di media online. Para “pedagang ideologi” dengan mudah memasarkan paham-pahamnya yang bertentangan dengan Islam di media sosial. Sehingga bukan hal asing, banyak yang saling mengkafirkan dengan didasarkan kepada sesuatu yang bersifat tekstual, bukan kontekstual.

Dengan demikian, tantangan besar di era disrupsi ini adalah penyemaian paham Islam moderat di kalangan generasi milenial. Pegiat dakwah yang menyelami dunia digital belumlah seimbang dengan jumlah generasi milenial yang ada. Hal ini dikarenakan masih ada yang mengharamkan produk teknologi dan menganggap golongan yang memakai media digital sebagai antek-antek Yahudi.

Revitalisasi media digital sebagai media dakwah Islam moderat harus gencar dilakukan untuk menekan radikalisme yang mulai menjalar ke berbagai kalangan. Gempuran ideologi radikal yang menjadikan akses internet sebagai medianya, terkesan sangat revolusioner karena sebarannya sangat pesat, serta efek keterpengaruhannya pada generasi muda yang mempunyai semangat beragama tinggi begitu melekat. Pada saat ideologi yang sering tidak mengindahkan dialog dan konfirmasi ini menjadi tren baru yang diminati, maka ormas atau kelompok Islam yang melakukan kampanye dan propagandanya di media online. Walaupun tidak bisa menghilangkan laju pemikiran yang terkesan keras itu, setidaknya mampu membendung agar pengaruhnya tidak semakin meluas.

Cara pertama yang harus dilakukan adalah dengan menggunakan disruptive mindset. Persoalan mindset menjadi sangat penting, karena bagaimana manusai berpikir, yang menentukan “setting awal”, yang kita buat sebelum seseorang berpikir dan bertindak.

Maka, mindset yang harus selalu dipropagandakan, dikampanyekan secara masif adalah Islam merupakan agama yang membawa rahmah bagi seluruh makhluk, mengedepankan toleransi, ramah, terbuka untuk dialog (musyawarah) dan tidak mengenal kekerasan serta ujaran kebencian dalam spirit dakwahnya.

Selain itu, memproduksi narasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai moderasi, keberagaman-kebhinekaan, semangat kebangsaan melalui media online dengan tahapan produksi, posting, reposting, sharing, dan broadcasting. Karena cara inilah yang lazim digunakan oleh pengelola ujaran kebencian di dunia maya.

Selain menyajikan narasi positif, perlu juga memproduksi lebih banyak jurnalisme visual. Melalui pembuatan infografis yang sifatnya powerfull dan menarik, serta video maker yang menggambarkan keragaman dan kekhasan Islam Indonesia yang moderat, santun, dan toleran.

Melalui berbagai strategi inilah, maka mempromosikan Islam moderat di tengah generasi milenial melalui digital menemukan efektifitasnya. Hal ini dalam rangka menghadang dan membendung membludaknya informasi yang mengandung pemahaman yang tidak sesuai dengan semangat moderasi yang selama ini menjadi aset ekspresi keislaman bangsa Indonesia.

Juara 1 Menulis Artikel dalam Perlombaan Communication Festival Se-Jawa Barat

You May Also Like

0 komentar