• Beranda
  • Artikel dan Esai
  • Akademik
    • Beasiswa dan Kepemudaan
    • Tugas Kuliah
    • Soon
  • Puisi
  • Cerpen
  • Pidato
  • Jajan Yuk!
  • Excel
instagram facebook youtube Google+ bloglovin Email

Aksara Fauzi

"Aku hadir saat mata terpejam..."


Ketika Ki Sana mulai merana
Kemakmuran negeri tropis mulai terkikis
Rahwana bebas berkelana
Sang Rama hanya berbekas nama
Si Sinta menjelma jelata

Duhai negeri..
Kapan Soekarno membara dalam kata?
Kini, Bang Toba sulit tuk meraba
Begitu tega sang dayang hilang melayang
Sementara, Sangkuriang yang gagah terpapar meriang
Sungguh..
Negeri dongeng ini begitu cengeng
Untuk Si Jaka yang gagah perkasa
#28September2017

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

“Mengapa pemimpin kita seperti ini?”
“Mengapa daerah menjadi seperti ini?”
“Mana janjinya sewaktu kampanye?”

Deretan pertanyaan di atas sering terlontar saat pemimpin yang telah kita pilih ternyata tidak sesuai dengan harapan. Tahun 2018 adalah tahun pesta Pilkada. Segenap rakyat Indonesia di tiap daerahnya akan menghelat acara besar yang diadakan lima tahun sekali ini. Walaupun acara besar itu dilaksanakan tahun 2018, namun sudah banyak pemberitaan tentang para calon kepala daerah dari tiap-tiap partai ataupun koalisi partai di Indonesia sejak akhir tahun 2017. Baligo, spanduk, maupun poster yang dilengkapi foto para calon kepala daerah pun sesak memenuhi setiap sudut pusat kota bahkan pedesaan. Para bakal calon berlomba-lomba unjuk gigi untuk mempromosikan dirinya di hadapan khalayak.

Bukan rahasia umum lagi, rakyat sering kali tertipu para “pemimpin bertopeng” yang dianggapnya dapat menyejahterakan dan bahkan banyak yang sangat didamba-damba ternyata hanya bisa menyengsarakan kehidupan rakyat dan dijadikan kacung penguasa.

Menilik dari fakta lapangan yang sedang terjadi, sudah saatnya mencari pemimpin yang mampu memberi pengaruh (positif atau negatif) pada kondisi gatra-gatra ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan yang pada akhirnya berpengaruh pada kondisi ketahanan nasional dan ketahanan daerah. Selaku umat bernabikan Muhammad Saw. sudah sepatutnya kita pun mencari pemimpin yang berkepribadian Al-Quran dan mencerminkan akhlak Nabi.

Manusia turun ke bumi memiliki tugas penting sebagai khalifah dengan misi menciptakan perdamaian dan kesejahteraan. Manusia memiliki tanggung jawab besar untuk mengurusi bumi ini yaitu pengelolaan dunia agar berjalan sebagaimana yang Allah kehendaki. Kecerdasan dan kearifan seorang pemimpin sangat diperlukan agar dapat menuntaskan permasalahan dunia yang semakin pelik.

Rakyat mendambakan lahirnya sosok ulil-amr yang bisa menjadi teladan utama, uswah hasanah bagi dunia seperti kepemimpinan Rasulullah Saw. Mereka sangat mengagumi kepemimpinan Khulafaurrasyidin sebagaimana tergurat dalam sejarah dan sangat berharap mereka dapat merasakan atmosfer kepemimpinan itu. Pemimpin bijak yang digambarkan Abu Bakar, berani yang dideskripsikan Umar, pandai berbisnis yang dinampakkan Utsman, dan cerdas yang dicerminkan Ali sudah sangat jarang ditemukan di era milenial ini.

Melihat realitas sekarang yang penuh dengan carut marut serta krisis kepemimpinan, maka harus ada penyadaran kepada seluruh umat di penjuru bumi tentang bagaimana sosok  pemimpin yang seharusnya. Berkaca dari sejarah, sesungguhnya tidak ada yang dapat membuat umat sekarang ini baik melainkan dengan apa yang membuat umat terdahulu baik, karena sejarah akan berulang.

Ada sedikitnya tiga karakter dari Al-Quran yang harus dimiliki para khalifah negara yaitu kuat, amanah, dan memiliki ilmu yang luas. Khalifah yang kuat, baik kuat jasmani maupun rohani ini sangat penting karena seorang pemimpin adalah sosok yang kemudian menjadi orang nomor satu itu harus memiliki fisik yang prima dan memiliki rohani yang dipenuhi nilai-nilai keislaman. Kemudian amanah, karakter ini sangat sulit dicari dewasa ini. Budaya penyelewengan kekuasaan sudah mendarah daging pada pemimpin kita. Maka, rakyat harus jeli dalam menilai orang-orang yang akan mereka jadikan pemegang kekuasaan kelak. Kemudian ilmu, Hasan al banna dalam Arkanulbaiat-nya menempatkan Al-fahmu pada urutan teratas, karena memang setiap perkara itu harus di kerjakan atas dasar kefahaman. Apalagi jika menjadi pemimpin, maka pengetahuan yang mendalam terhadap segala aspek yang akan dipimpinnya itu sangat penting.

Menurut runtuyan yang menjadi muara dari keseluruhan karakter di atas adalah keadilan dan kesejahteraan. Menerapkan keadilan bagi para penguasa seadil-adilnya. Kemudian kesejahteraan bagi mereka yang tergolong mustadh’afin atau orang orang yang lemah. Kesejahteraan yang pertama menerimanya adalah mereka. Bila disimpulkan memulai keadilan adalah dari atas ke bawah sedangkan untuk kesejahteraan adalah dari bawah keatas bukan sebaliknya. Itulah yang terjadi di Indonesia, kebijakan terbalik sehingga yang menguasa semakin berjaya dan yang lemah semakin tanpa daya.

Jadi, pada dasarnya karakter adalah hal yang paling utama bagi seorang pemimpin. Jika pemimpin telah mampu menyejahterakan jiwanya dengan pondasi-pondasi rohani berpilarkan keislaman, maka ia mampu menyejahterakan orang-orang di bawahnya.***

Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Angin kemarau datang dengan panasnya
Membangkitkan jiwa yang melamun
Aku tersontak, juga sedih
Tak lama, musim akan berganti
Bukan itu saja, mata tak akan menangkap senyum yang sama
Telinga tak akan menerima tawa yang sama
Tangan tak akan mendekap raga yang sama

Masih kudapatkan serta kurasakan
Keramaian suasana serta ketenangan jiwa
Tapi bila tiba waktu berpisah
Akankah kupergi seorang diri
Tanpa bayang-bayang orang terkasih yang akan menemani

Aku terlalu takut
Akan ada tabir yang terlampau luas
Aku takut, kelak ada sesuatu yang berbeda
Entah itu sorot mata yang menjadi asing
Ucap yang menjadi kelu
Atau sikap yang terlampau dingin

Mungkin, sekarang belumlah terlambat
Bolehkah aku sampaikan sebuah kejujuran?
Yang terpendam dalam luka dan kehinaan
Bersemayam dalam diri yang hampa, hina dan rendahan
Sahabat…
Dulu aku hanyalah segenggam debu
Yang berharap menjadi gunungan emas
Aku terlalu takut untuk melangkah
Apalagi menantang terik dan hujan dihadapan
Dengan penuh kasih, diraihnya tanganku
Menghapus tetes keputus-asaanku
Terngiang ucapmu yang mendebarkan hati,
“Mari bersama, maju hadapi hujan
Payungilah langkahmu dengan keimanan
Dan temukanlah pelangi impian
Kita selalu bersama, kemanapun bagaikan tali disimpul mati”

Masih terbenakkah, sahabat?
Kegaduhan di sela-sela pembelajaran
Mata terlelap di saat orangtua kedua kita ada di hadapan
Tawa yang selalu bergema di ruangan
Tak hanya tawa, tapi hujan air mata
Mungkin orang lain menganggap kita aneh
Tapi, hanya kita yang mengerti akan itu

Masih ingatkah, sahabat?
Saat kantin menjadi markas besar
Sorot kesiswaan bak singa yang siap menerkam
Senyum jahat kaka kelas yang siap merendahkan
Dan kesewenang-wenangan kita kepada adik kelas
Indah bukan?

Masih terlintaskah, sahabat?
Saat menjadi bulan-bulanan guru karena kelalaian kita
Kebosanan saat harus duduk dengan tenang di kelas
Riuhnya kelas saat pengawas ujian rehat
Bak pasar tumpah saat tugas mencapai batas akhir

Apakah masih ada waktu untuk pahlawan tanpa lencana?
Guru..
Yang turut serta merubah jiwa
Membangkitkan gairah hidup
Untuk menyongsong hidup baru

Pak… Bu…
Takan mungkin kulupakan raut dan daya juangmu untukku
Akan selalu terpatri kokoh dalam sanubariku
Entah apa yang bisa menyaingi kehebatanmu
Tiada lafaz seindah tutur katamu
Tiada penawar seindah senyummu
Tiada hari tanpa sebuah bakti
Menabur benih kasih tanpa rasa letih

Pak.. Bu..
Tiada lelah kau mengabdi pada bangsa
Bekerja penuh penat
Namun sadar, didalamnya penuh berkat
Kerja sekerat-kerat, pahala penuh sendat
Ilmu yang dicurah tak dapat disekat
Makin dicurah makin mendekat

Pak.. Bu..
Tiada harta sebanding baktimu
Hanya doa yang mampu kuangkasakan
Berharap dapat menembus langit tuhan
Hingga sampai singgasana-Nya
Aku hanya bisa berharap
Tuhan membalas gunungan suratku untukmu

Pak.. Bu..
Masihkah ada kesempatan untukku berujar?
Memohon maaf atas lidah yang tak bertulang
Tingkah yang tak karuan bagai jalang

Sahabatku.. Guruku..
Akan tiba cerita ini berjumpa titik terakhir
Aku masih yakin
Akan ada cerita baru yang siap terangkai sempurna
Namun, aku pun diselimuti gelisah
Aku takut bukan “aku dan kamu” yang menjadi pemeran
Tapi ada “mereka” yang lebih hebat dariku
Hingga kalian menenggelamkanku

Inilah.. Coretan putih abuku..
Yang akan selalu terjaga dalam kalbuku..

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Mendengar kata “menulis”, sebagian pelajar mengatakan bahwa hal itu sangatlah membosankan, melelahkan, dan banyak menghabiskan waktu, karena alasan tersebut mereka meninggalkan keterampilan segudang manfaat ini. 

Menulis merupakan kegiatan kebahasaan yang memegang peran penting dalam dinamika peradaban manusia. Menulis mencakup seluruh kegiatan yang melibatkan pikiran, perasaan, khayalan, kemauan serta keyakinan. Dalam dunia pendidikan, bagi sebagian pelajar lainnya mengatakan bahwa menulis merupakan salah satu wahana untuk menyampaikan aspirasi.

Kebudayaan menulis kini sudah diganti dengan kebudayaan menyalin (copy-paste) yang menyebabkan pelajar malas untuk menulis. Tidak ada lagi kesadaran untuk belajar menulis dan membuat analisis sendiri. Hal itulah yang menyebabkan mental menulis pelajar kini semakin rendah. Kebanyakan dari pelajar belum memahami pentingnya menulis bagi kehidupan mereka yang akan datang.

Sebagai pelajar salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana yaitu harus menulis karya tulis ilmiah. Namun kewajiban itu sering dianggap sebagai tugas berat oleh pelajar karena kurangnya kemampuan dan kebiasaan dalam menyusun karya ilmiah. Oleh karena itu, pelajar diharapkan untuk mengetahui pentingnya budaya menulis sejak dini.

Melalui kegiatan menulis pula, orang dapat mengambil manfaat bagi perkembangan dirinya. Keterampilan menulis merupakan keterampilan yang bersifat mekanistis. Keterampilan menulis tidak mungkin dikuasai hanya melalui teori saja, tetapi dilaksanakan melalui latihan dan praktik yang teratur sehingga menghasilkan tulisan yang tersusun dengan baik. Kejelasan organisasi tulisan bergantung pada cara berpikir, penyusunan yang tepat, dan struktur kalimat yang baik.

Penyebab Kurangnya Minat Menulis bagi Pelajar

Salah satu penyebab utamanya adalah kurang minat membaca pelajar. Membaca dan menulis tentu tidak dapat dipisahkan, karena membaca merupakan kegiatan untuk mencari referensi bagi kegiatan menulis. Di Kab. Cianjur sendiri, minat membaca para pelajar masih kurang, bisa dilihat dari perpustakaan-perpustakaan sekolah atau pun daerah yang masih sepi pengunjung. Disaat ramai pun, para pengunjung meminjam buku hanya sebatas menaruhnya dalam tas dan tidak sedikit yang menjadikannya pajangan di rumah.

Merasa kurang berbakat akan menjadi salah satu kendala bagi seseorang sehingga tidak menulis. Ketidakberdayaan seorang pelajar dalam menciptakan sebuah tulisan tidak lepas dari bakat, pemikiran dan kemampuan yang dimilikinya. Aktivitas menulis menuntut adanya penggabungan antara bakat seseorang dengan kemampuan berbahasa yang dimilikinya. Sehingga, sikap pesimis dalam diri penulis pemula harus dihilangkan jika ingin menjadi penulis yang profesional.

Penyebab lain dari kurangnya minat menulis pelajar dikarenakan kurangnya penghargaan dari pihak lembaga pendidikan maupun pemerintah terhadap sebuah karya anak bangsa. Hal itu dapat dicontohkan oleh karya-karya B.J. habibie yang lebih banyak di hargai di luar negeri dibandingkan di Indonesia. Oleh karena itu, banyak pelajar Indonesia yang berpikir bahwa menulis merupakan kegiatan membuang-buang waktu karena tidak adanya penghargaan dari pemerintah. Penghargaan dari orang lain sangatlah penting, karena bisa menjadi salah satu penyemangat seseorang untuk terus berkarya dan sang penulis akan merasa dihargai akan hasil karyanya.

Faktor lain yang menyebabkan minat menulis pelajar cenderung rendah adalah perkembangan globalisasi semakin pesat dann teknologi pun semakin canggih, sehingga banyak literatur sebagai acuan referensi. Kini, para pelajar disuguhi berbagai teknologi atas perkembangan globalisasi, contohnya internet. Hakikatnya, internet ada untuk pelajar sebagai referensi dalam menambah wawasan dan mengerjakan tugas. Akan tetapi, para pelajar cenderung menjadi terbiasa menerapkan budaya ‘copas’ atau copy-paste. Ada yang berpikiran malas untuk merangkum dan berpikir lebih praktis untuk menghemat waktu. Jika seperti itu adanya, bagaimana mungkin pelajar dapat berpikir kreatif dan invoatif dalam memecahkan masalah jika selalu membudayakan ‘copas’?

Pentingnya Budaya Menulis

Setiap orang perlu menulis, karena  memori ingatan seseorang itu terbatas. Kegiatan menulis juga merupakan tradisi intelektual bagi pelajar. Karena dengan membiasakan diri untuk menulis akan sangat baik untuk melatih daya ingat. Menulis berfungsi untuk mengikat wawasan dan ilmu yang didapatkan agar tidak lepas begitu saja. Lebih sering menulis akan lebih banyak ilmu dan wawasan yang diingat.

Adapun manfaat menulis bagi pelajar yaitu:
1. Menambah Wawasan

2. Melengkapi kewajiban 
Sebagai seorang pelajar tentu mendapatkan tugas dari guru. Kebanyakan tugas yang diberikan membutuhkan kemampuan menulis, baik menulis dengan tangan maupun dengan bantuan komputer (mengetik). 

3. Mengekspresikan isi Hati 
Dengan menulis, dapat mendokumentasikan ide, pemikiran atau apa saja yang ada dalam pikiran. Menulis bisa menjadi media penyalur aspirasi atau luapan perasaan. Dengan menulis juga, bisa “membunuh” seseorang tanpa menyentuh.

4. Berbagi informasi kepada pembaca 

5. Melatih kekritisan pelajar 
Pelajar yang tidak ada waktu untuk turun ke jalan terhadap suatu hal yang menjadi permasalahan di masyarakat dapat menyalurkan pendapatnya melalui tulisan. Pelajar disebut sebagai agent of change atau agen perubahan. Terkadang menulis dapat dijadikan sebagai sarana yang efektif untuk menciptakan perubahan di masyarakat guna menunjang peningkatan taraf kehidupan masyarakat secara luas.

6. Menjadikan pelajar yang kreatif
Dari secarik kertas, seorang pelajar bisa membuat hal baru yang mampu mengubah pola pikir dan kebiasaan mayarakat. Mengingat fungsi pelajar sebagai pelaku pemecahan dan terobosan-terobosan untuk membantu masyarakat. Pelajar dituntut untuk peka terhadap sekitar dan memikirkan ide-ide pemecahan masalah. Mereka pun harus lebih terbuka untuk terus menggali informasi dari berbagai sumber, misalnya lingkungan sekitar atau buku-buku untuk menemukan pemecahan masalah. 

Wawasan akan bertambah, ide-ide baru juga bisa muncul dengan baik hasil dari menarik kesimpulan berdasarkan referensi-referensi yang sudah dibaca. Membaca juga dapat meningkatkan imajinasi seseorang dalam berpikir kritis dan kreativ menuju hal-hal yang positiv. Imajinasi berkontribusi besar dalam hal menulis dan bahkan lebih penting daripada logika. Seperti salah satu kutipan dari perkataan salah orang terjenius di dunia.

“Imajinasi lebih penting dari pada logika. Logika hanya membawa anda dari A ke B. Namun imajinasi mampu membawa anda kemana-mana” 
-Albert Einstein-

Menghidupkan Budaya Menulis dalam Diri Pelajar

Pelajar merupakan generasi muda yang memiliki peranan penting dalam proses maju dan berkembangnya suatu bangsa. Pelajar dituntut untuk memiliki potensi, kecerdasan, semangat yang luar biasa, serta budi pekerti luhur. 
Budaya menulis merupakan budaya yang sangat bagus dikembangkan dan dilestarikan, untuk mengembangkan dan menyebarluaskan ide dan gagasan dalam rangka meningkatkan kualitas bangsa dan negara. 

Adapun cara yang dapat diterapkan untuk menghidupkan budaya menulis dalam diri pelajar, yaitu:
1. Pembiasaan diri sejak dini
Pendidikan seorang anak dimulai dari keluarga, lingkungan belajar dan lingkungan masyarakat. Artinya seorang anak yang tidak terbiasa menulis sejak kecil merasa sangat sulit untuk menghasilkan sebuah tulisan meskipun telah duduk di bangku kuliah. Oleh karena itu, untuk menciptakan budaya menulis diawali dari pembiasaan sejak dini. Sehingga, kelak dewasa ia hanya perlu mengasah kemampuan menulisnya.

2. Membiasakan diri untuk membaca
Kualitas menulis tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan penulis dalam membaca karena dengan membaca kita akan memperoleh banyak pengetahuan yang nantinya dapat menjadi bekal untuk menulis. Semakin banyak membaca semakin banyak pula pengetahuan yang diperoleh sehingga akhirnya akan semakin banyak bahan yang diperoleh untuk menulis. 

3. Memotivasi diri, menghilangkan sifat malas, serta menanamkan sifat percaya diri.
Segala tindakan yang dilakukan oleh manusia berawal dari niat. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh seseorang tidak lepas dari niat dan motivasi. Demikian halnya dengan kegiatan menulis. Seorang yang ingin menulis harus meluangkan waktu untuk duduk membaca, menggali informasi untuk menemukan ide. Proses tersebut dijalani karena adanya motivasi. Kurangnya motivasi dalam diri seorang pelajar akan memunculkan perasaan malas yang selanjutanya membangun rasa kurang percaya diri untuk menciptakan sebuah tulisan. 

4. Membuat wadah pelatihan penulisan suatu karya
Hambatan atau kendala lain yang dihadapi pelajar dalam menghasilkan tulisan ilmiah adalah terbatasnya wadah bagi pelajar untuk berlatih. Hal tersebut terlihat pada kurangnya kegiatan pelatihan, workshop, maupun lomba yang diadakan di lingkungan lembaga pendidikan. Oleh karena itu, lemabaga pendidikan diharapkan membuat tempat pelatihan penulisan karya, sehingga budaya menulis dapat dilestarikan.

Sudah jelas manfaat menguasai keterampilan menulis. Dekati menulis, jangan pernah musuhi menulis, karena dibalik hal membosankannya menyimpan segudang manfaat untuk perkembangan kualitas diri dan kualitas Negara ini yang terlanjur terlampau jauh oleh Negara lain. Jadi, apa yang kalian tunggu? Memulailah walaupun terlambat.***
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Jika mereka menyerukan untuk berpolitik santun, politik seperti apa yang mereka maksudkan? Apakah politik yang penuh dengan intrik, prasangka, dan keji adalah sebuah cela yang tak kunjung insaf dewasa ini? Sudah jadi rahasia umum, politik merupakan panggung yang kotor saat ini, dipenuhi dengan kebencian, hinaan, dan bahkan darah yang berceceran. Jika bukan karena politik, adakah kiranya peristiwa Gerakan 30 September, atau Peristiwa Malari? Politik telah memakan banyak tumbal, ia semakin jauh dari manusia yang memanusiakan.

Masyarakat Indonesia sudah kadung akrab dengan politik yang berwajah demikian, bukan sebuah cetusan aktivitas agung manusia seperti yang dikatakan Aristoteles. Politik disini tak mengenal Aristoteles, karena ia hanya diketahui sebagai sebuah nama. Di Indonesia, rakyat sudah kadung akrab dengan politik sebagai arena perebutan kekuasaan dan tempat pembenaran kesesatan, seolah Machiavelli sedang tersenyum ke arah ibu pertiwi, melihat politik di negeri ini menjadi pertarungan adu kuat dan cenderung menghalalkan segala cara agar bisa keluar sebagai pemenang, termasuk menunjukkan arogansi, melecehkan lawan politik, atau bahkan menutup mata tentang aturan hukum yang ada. Hukum rimba berlaku, seolah kekuasaan adalah hal yang lebih penting dari yang lain dan rakyat hanya dipandang sebagai alat untuk menuju ke sana.

Rakyat yang dijadikan alat tentu bukan rakyat yang buta, bukan rakyat yang tak membaca, bukan pula rakyat yang tuli atau rakyat yang tunawicara. Rakyat bahkan menjadi satu alat yang peduli pada perilaku-perilaku politisi yang diantarkan setiap hari lewat televisi, koran, dan lain-lain. Rakyat dengan sadar menjejali pikiran mereka dengan segala informasi kegiatan politik karena semua itu juga berhubungan dengan hidupnya. Rakyat sadar bila politik adalah panggung, bisa jadi penting, bisa jadi serius untuk disikapi namun ternyata belum tentu mereka jadi percaya. Maka kepercayaan rakyat menjadi sangat berbahaya di negeri ini, juga menjadi sangat mahal harganya.

Peran Budaya Politik Santun, Bersih Dan Beretika

Berbicara tentang etika kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, menjadi suatu kajian yang menarik bagi penulis. Hal ini karena saat ini Indonesia berada pada era kebabasan berpolitik setelah melampaui masa kelam berpolitik. Seiring dengan datangnya era reformasi pada pertengahan tahun 1998, Indonesia memasuki masa transisi dari era otoritarian ke era demokrasi. Dalam masa transisi itu, dilakukan perubahan-perubahan yang bersifat fundamental dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk membangun tatanan kehidupan politik baru yang demokratis. Namun dalam perjalanannya, tatanan kehidupan politik yang demokratis ini, lambat laun tergerus oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Ini dapat terlihat bagaimana saat ini para elit berkuasa lebih mudah menghalalkan segala cara apapun untuk mewujudkan kepentingannya. Mereka sudah tidak lagi mengindahkan nilai-nilai etik dan moralitas berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berbicara mengenai etika berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita harus mengakui bahwa saat ini banyak kalangan elite politik cenderung berpolitik dengan melalaikan etika kenegarawanan. Banyak sekali kenyataan bahwa mereka berpolitik dilakukan tanpa rasionalitas, mengedepankan emosi dan kepentingan kelompok, serta tidak mengutamakan kepentingan berbangsa. Hal ini sangat menghawatirkan karena bukan hanya terjadi pembunuhan karakter antarpemimpin nasional dengan memunculkan isu penyerangan pribadi, namun juga politik kekerasan pun terjadi. Para elite politik yang saat ini cenderung kurang peduli terhadap terjadinya konflik masyarakat dan tumbuhnya budaya kekerasan. Elite bisa bersikap seperti itu karena mereka sebagian besar berasal dari partai politik atau kelompok-kelompok yang berbasis primordial sehingga elite politik pun cenderung berperilaku yang sama dengan perilaku pendukungnya. Bahkan elite seperti ini merasa halal untuk membenturkan massa atau menggunakan massa untuk mendukung langkah politiknya. Elite serta massa yang cenderung berpolitik dengan mengabaikan etika, mereka tidak sadar bahwa sebenarnya kekuatan yang berbasis primordial di negeri ini cenderung berimbang. Jika mereka terus berbenturan, tak akan ada yang menang (Sedarmayanti, 2003: 112).

Kurangnya etika berpolitik sebagaimana prilaku elite di atas merupakan akibat dari ketiadaan pendidikan politik yang memadai. Bangsa kita tidak banyak mempunyai guru politik yang baik, yang dapat mengajarkan bagaimana berpolitik tak hanya memperebutkan kekuasaan, namun dengan penghayatan etika serta moral. Politik yang mengedepankan take and give, berkonsensus, dan pengorbanan. Selain itu kurangnya komunikasi politik juga menjadi penyebab lahirnya elite politik seperti ini, yaitu elite politik yang tidak mampu menyuarakan kepentingan rakyat, namun juga menghasilkan orang-orang yang cenderung otoriter, termasuk politik kekerasan yang semakin berkembang karena perilaku politik dipandu oleh nilai-nilai emosi.

Etika Politik adalah sarana yang diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antar kelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi dan golongan. Etika politik mutlak diperlukan bagi perkembangan kehidupan politik. Etika politik merupakan prinsip pedoman dasar yang dijadikan sebagai fondasi pembentukan dan perjalanan roda pemerintahan yang biasanya dinyatakan dalam konstitusi Negara. Di Indonesia, etika politik dan pemerintahan diatur dalam Ketetapan MPR RI No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, dalam Ketetapan tersebut diuraikan bahwa etika kehidupan berbangsa tidak terkecuali kehidupan berpolitik merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa. Rumusan tentang etika kehidupan berbangsa ini disusun dengan maksud untuk membantu memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.

Etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertatakrama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Etika politik harus menjadi pedoman utama dengan politik santun, cerdas, dan menempatkan bangsa dan negara diatas kepentingan partai dan golongan.

Konsolidasi demokrasi menuntut etika politik yang kuat yang memberikan kematangan emosional dan dukungan yang rasional untuk menerapkan prosedur-prosedur demokrasi. Ia melandaskan penekanannya pada pentingnya etika politik pada asumsi bahwa semua system politik termasuk sistem demokrasi, cepat atau lambat akan menghadapi krisis, dan etika politik yang tertanam dengan kuatlah yang akan menolong negaranegara demokrasi melewati krisis tersebut. Implikasinya proses demokratisasi tanpa etika politik yang mengakar menjadi rentan dan bahkan hancur ketika menghadapi krisis seperti kemerosotan ekonomi, konflik regional atau konflik sosial, atau krisis politik yang disebabkan oleh korupsi atau kepemimpinan yang terpecah.

Berpolitik tanpa kesadaran etika dan moral hanya akan melahirkan krisis kepemimpinan. Karena itu, sekarang yang diharapkan adalah adanya pencerahan dari kembalinya budayawan dan agamawan yang bermoral sehingga kita senantiasa kembali pada etika, moralitas, dan kebhinnekaan. Krisis kehidupan berbangsa dan bernegara, yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, antara lain karena persoalan etika dan perilaku kekuasaan. Silang pendapat, perdebatan, konflik, dan upaya saling menyalahkan terus berlangsung di kalangan elite, tanpa peduli dan menyadari bahwa seluruh rakyat kita sedang prihatin menyaksikan kenyataan ini. Kemampuan membangun harmoni, melakukan kompromi dan konsensus di kalangan elite politik kita terkesan sangat rendah, tetapi cepat sekali untuk saling melecehkan dan merendahkan. Padahal untuk mengubah arah dan melakukan lompatan jauh ke depan, sangat diperlukan kompromi dan semangat rekonsilasi.

Politik bukanlah persoalan mempertaruhkan modal untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, sebagaimana diyakini oleh sebagian besar pelaksana money politics di Tanah Air. Politik bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani dengan memakai rasionalitas. Politik lebih dari pragmatisme, tetapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai. Karena itulah, politik lebih dari sekadar matematika tentang hubungan mekanis di antara tujuan dan cara mencapainya. Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya haruslah dapat di tes dengan kriteria moral.

Dalam politik ada keindahan dan bukan hanya kekotoran, ada nilai luhur dan bukan hanya tipu muslihat, ada cita-cita besar yang dipertaruhkan dalam berbagai langkah kecil, dan bukan hanya kepentingan-kepentingan kecil yang diucapkan dalam kata-kata besar. Hal-hal inilah yang menyebabkan politik dapat dilaksanakan dan harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Apabila kesadaran etika berpolitik sangat rendah maka tantangan yang mungkin kita hadapi kedepan adalah terjadinya feodalisme maupun kapitalisme dalam politik Indonesia yang dapat mengakibatkan bahwa kemerdekaan nasional justru memberi kesempatan kepada para pemimpin politik menjadi raja-raja yang membelenggu rakyatnya dalam ketergantungan dan keterbelakangan. Tantangan ini harus kita hadapi dengan penuh kesadaran untuk selalu berjuang menentang feodalisme dan perjuangan untuk membebaskan diri dari cengkeraman kapitalisme. Usaha ini sangat ditentukan juga melalui perjuangan partai politik.

Partai tidak boleh membuat jarak dengan rakyat. Di sinilah sesungguhnya hakikat dari pendidikan politik yang diterapkan oleh partai politik dan elitenya. Dengan demikian, maka apapun sikap dan kebijakan partai tidak akan terlepas dari kehendak masyarakat konstituennya, dan benar-benar menjadi penyambung lidah rakyat. Sehingga dapat mencegah kehawatiran bahwa partai hanya memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Kegiatan pencerdasan politik masyarakat harus terus dipupuk oleh partai politik melalui respon terhadap realitas sosial-politik. Selain itu berpolitik hendaknya dilakukan dengan cara yang santun, damai, dan menyejukkan. Kemudian kita juga harus mengembangan sistem multipartai agar kehidupan politik terhindar dari konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar pada diri satu orang atau satu golongan saja, dengan etika berpolitik yang demikian itulah kita berharap masyarakat madani yang kita cita-citakan dapat segera terwujud.

Upaya mewujudkan budaya politik santun, bersih dan beretika

Menimbang keanekaragaman suku yang mendiami wilayah nusantara beserta kekayaan adat dan budayanya, penulis meyakini bahwa jiwa bangsa ini pada hakikatnya bersumber dari seni budayanya yang telah tumbuh berkembang melampaui abad demi abad tak terbayangkan. Dalam suatu kesempatan berkunjung ke Monas (Monumen Nasional) Jakarta, penulis berkesempatan untuk menyaksikan perjalanan bangsa ini melalui diorama serta berbagai peninggalan dan dokumen sejarah yang menunjukkan kesejatian negeri ini. Penulis menyaksikan juga teks proklamasi yang asli dan berfoto di sana. Terlintas dalam pikiran bahwa kita memang telah merdeka sebagai negara yang berdaulat. Namun, sebagai bangsa tampaknya kita juga perlu menggaungkan kemerdekaan dan kekayaan kebudayaan kita, dengan itu terbuka peluang untuk memberi inspirasi bagi bangsa-bangsa lain di dunia tentang pentingnya seni budaya sebagai pemersatu umat manusia dalam perdamaian yang penuh saling pengertian.

Melalui ziarah pada sejarah luhur bangsa kita dapat terbersit renungan perihal pentingnya mengedepankan suatu perilaku politik yang berbudaya. Hal ini mengemuka justru karena kita menyaksikan fenomena belakangan ini, di mana kehidupan politik seakanakan tak berjarak dengan berbagai intrik. Seolah-olah perilaku yang jauh dari kesantunan dan etika adalah keniscayaan dunia politik, di mana kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok mengabaikan kepentingan bersama sebagai bangsa.

Pertama-tama yang patut ditanamkan adalah suatu kesadaran bahwa politik yang hendak kita perjuangkan bukanlah semata politik kekuasaan melainkan suatu politik yang mengedepankan panggilan pengabdian demi kesejahteraan masyarakat luas.

Dialektika antara partai dan politikus serta masyarakat yang kritis, diyakini akan memperluas medan kesadaran baru dalam berbangsa dan bernegara, yang menjadikan era keterbukaan ini sebagai hal yang produktif, bukan semata pertikaian dan luapan kebencian lantaran berbeda ideologi atau pandangan. Bila ini berlangsung dalam suatu proses yang berkelanjutan, jelaslah demokrasi kita tidak akan terjebak pada sekadar prosedural, melainkan sungguh-sungguh mewarnai kehidupan keseharian sosial politik negeri ini.

Guna membangun politik yang berbudaya tersebut, tak dapat diabaikan peran museum yang sesungguhnya terbilang strategis. Tidak seperti yang selama ini dibayangkan oleh sebagian masyarakat awam, museum terbukti dapat difungsikan sebagai laboratorium kebudayaan, di mana para ahli, pakar aneka bidang dan juga generasi muda dapat mengembangkan ide-ide kreatif dan gagasan-gagasan cerdasnya berdasarkan suatu telaah yang lebih mendalam terhadap apa yang telah dicapai para leluhur melalui karyakarya berupa apapun yang tersimpan di dalam museum. Penulis kira adalah suatu yang tidak berlebihan bila kita berupaya menjadikan museum beserta organisasi pengelolanya menjadi semacam center of excellence, yakni semacam laboratorium yang memungkinkan para ahli untuk melakukan suatu kajian dan program akademis secara tepat guna dan tepat makna, guna mengembangkan pemikiran atau menghasilkan kreasikreasi inovatif yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa, baik itu tataran filosofis maupun tataran praksis.

Jadi, upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan budaya politik santun, bersih dan beretika dalam rangka memperkokoh kehidupan berbangsa dan bernegara menuju Indonesia baru diantaranya ditanamkan suatu kesadaran bahwa politik yang hendak kita perjuangkan bukanlah semata politik kekuasaan melainkan suatu politik yang mengedepankan panggilan pengabdian demi kesejahteraan masyarakat luas, dialektika antara partai dan politikus serta masyarakat yang kritis. Budaya politik santun, bersih dan beretika dalam rangka memperkokoh kehidupan berbangsa dan bernegara menuju Indonesia baru sangat diperlukan karena dapat membuat para elite politik menjauhi sikap dan perbuatan yang dapat merugikan bangsa Indonesia.

Akhirnya, penulis menyarankan agar dilaksanakan kembali pendidikan budi pekerti yang merupakan pondasi bagi pelaksanaan civic education agar tercipta generasi yang tidak hanya mau menjadi politisi namun paham budaya dan etika politik. Pendidikan budi pekerti sekaligus merefleksikan pemikiran rakyat Indonesia hingga saat ini. Hal tersebut juga menggambarkan perubahan kepedulian bangsa ini terhadap pendidikan yang bernuansa etika-moral.***
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
“Jadi diri kamu sendiri aja!”
“Jangan denger omongon mereka tentang kamu”
“Jangan didenger, belum tentu mereka sama dengan apa yang diomongin”

Pernyataan-pernyataan itu tidak asing lagi kita dengar, terutama untuk kalangan remaja yang pribadinya masih labil. Mungkin diantara kalangan usia peralihan dari anak-anak ke dewasa banyak yang “kemakan” dengan omongan-omongan yang sama seperti pernyataan diatas. Betul? Penulis pun sama, perasaan sudah melakukan yang terbaik tapi masih ada saja yang ngomen ini itu. Entah siapa yang salah, pribadi kita atau orang yang tidak suka kita berubah.

Ada juga orang yang keukeuh menjadi diri sendiri, padahal apa yang dilakukannya itu tidak sesuai norma dan hukum. Pasti alasannya itu, “Ini hidupku, yang jalanin aku sendiri, kok kalian yang repot”, betul bukan?. Penulis pikir, jawaban tersebut adalah jawaban orang egois, keras kepala, dan keras hati. Padahal sudah jelas-jelas di dalam Alquran pun sudah jelas kita itu sesama manusia apalagi sesama muslim harus saling menasehati untuk kebenaran dan kesabaran (tengok surat Al-Ashr ayat 3 deh, makanya jangan cuma dibaca, tapi dipahami juga). Masih mau keras kepala untuk tidak menerima kebenaran? Pikir-pikir lagi aja deh. Hehe..
Pentingnya Mengenali Diri Sendiri
Mengenal diri sendiri amat penting dalam hidup ini. Sebab orang yang mengenal dirinya akan mengetahui kelebihan dan kekurangannya. Ia akan pandai menempatkan diri dalam pergaulan, juga mampu mengelola kelebihannya (potensi) untuk meraih kesuksesan hidup di masa depan dunia dan akhirat.

Lalu, apa boleh kita mengabaikan jati diri sendiri? Tidak, kita tidak boleh mengabaikan siapa diri kita sebenarnya. Karena sesungguhnya setelah kita mengenal diri kita maka kita akan mengetahui makna dan tujuan hidup kita di dunia. Mereka yang mengabaikan masalah jati diri adalah orang-orang yang tidak memiliki keberanian untuk memahami hidupnya. Maka jadilah mereka orang-orang yang labil, ikut-ikutan, dan berjalan tanpa arah. Masih untung jika ikut-ikutan tapi tahu ilmunya, kalo enggak?.

Banyak orang berkata “Jalani saja hidup ini, ikuti alurnya saja”. Maukah kalian menjalani kehidupan ini tanpa arah dan tujuan? Nantinya berakhir dengan kesedihan, kesengsaraan, dan penyesalan. Penulis pribadi tidak mau. Penulis ingin hidup ini bisa sejahtera dan berakhir dengan senyuman indah. Maka kita harus tahu dan harus menemukan jati diri kita agar kita tahu arah tujuan hidup kita.

Bagaimana Cara Mengenali Diri Sendiri?
Lalu, bagaimana cara mengenali diri sendiri? Supaya kita tidak terjerumus di jalan yang salah. Penulis sendiri mempunyai cara tersendiri untuk mengenali pribadi penulis sendiri, yaitu :

1. Mencatat kelebihan dan kekurangan kita.
Banyak diantara kita yang hanya membanggakan dan mengasah kelebihan dan menghiraukan kekurangan yang kita miliki. Padahal, jika ingin menjadi pribadi yang unggul kita harus tahu dulu kekurangan kita, karena jika begitu kita akan introspeksi diri dan secara perlahan memudarkan kekurangan kita. Bisa juga kita minta bantuan orang yang kita percayai dan mengenal diri kita secara dekat untuk ditanyai tentang apa sebenarnya kelebihan dan kekurangan kita.

2. Dekatkan diri kita kepada Allah SWT.
Nah, ini adalah cara yang harus dilakukan. Bukankah Allah itu lebih dekat dengan kita dibanding siapapun? (Itu pun jika kita dekat dengan Allah, Hehe…). Dengan ibadah, Allah akan memberikan banyak hidayah kepada kita, termasuk lebih mengenal diri sendiri.
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.”
(Q.S. Al-Hashr (59) ayat 19)

3. Gunakan catatan itu untuk memperbaiki kekurangan kita. Sebaliknya, menggunakan kelebihan yang kita miliki untuk merancang cita-cita yang sesuai dengan potensi (kelebihan) yang kita miliki.

4. Mengenal diri sebenarnya bukan hanya siapa diri kita pada saat ini, tapi juga siapa diri kita di masa mendatang (konsep diri).
Oleh sebab itu, kita bisa membentuk diri kita seperti apa yang kita kehendaki. Caranya, masukkan terus menerus pikiran positif seperti apa diri kita di masa mendatang. Yakinkan diri sendiri bahwa kita bisa berubah seperti apa yang kita mau. Maka diri kita di masa mendatang akan lebih baik dari diri kita di masa kini (terjadinya peningkatan kualitas diri).

Sudah jelas bukan? Ayo, jangan takut untuk hijrah menjadi pribadi yang lebih baik! Saatnya mencerna apa yang dikatakan orang dan bulatkan tekad untuk berubah. Jadilah diri sendiri yang membanggakan bukan membangga-banggakan kekeras kepalaan kita. Saatnya “be your the best self”.

“To help yourself, you must be yourself. Be the best that you can be. When you make a mistake, learn from it, pick yourself up and move on.” –Dave Pelzer

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Kiriman Lampau

Siapakah Aksa?

Siapakah Aksa?
Aku adalah apa yang kamu baca dan dengar

Ikuti dan Tanya Aku!

  • instagram
  • facebook
  • youtube
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

Apa aja yang banyak dicari?

  • [Syarhil] Akhlak Rasulullah sebagai Kunci Perbaikan Dekadensi Moral
    Ilustrasi Assalamualaikum wr.wb. Dewan juri yang kami hormati! para peserta Musabaqah Syarhil Qur’an yang berbahagia, serta ha...
  • Dollar menjadi Raja
    “Waduh! Sembako mahal!” “BBM naik!” “Kemana pemerintah? Kok bahan-bahan pokok jadi mahal!” Itulah beberapa pernyataan yang terlo...
  • Disiplin, Apakah perlu?
    Saat mendengar kata “Disiplin” maka pikiran yang terlintas di benak kita adalah suatu beban atau suatu tanggung jawab yang ...
  • Beasiswa PPA 2019 UIN Sunan Gunung Djati Bandung
    Assalamualaikum! Hallo! Apa kabar? Semoga sehat selalu ya.. Berjumpa lagi dengan Aksa di tahun yang berbeda tapi kabar yang sama...
  • [Story Telling] Malin Kundang (+Video)
    Once upon a time, there was a poor boy named Malin Kundang. He lived with his old mother in West Sumatera. He was very nice boy but he...
  • Mengenal Pilar Budaya Cianjur
    Sejak dahulu, Kabupaten Cianjur sudah terkenal dengan budaya 3M (Maos, Mamaos, Maenpo) yang menjadi ciri Kabupaten Cianjur. Bupati Cianjur...
  • Ruksakna Iman jeung Alam (Bahasa Sunda)
    Sumber: ISNET Dina surat Ar-Rum ayat 40 deugika 42, Alloh negeskeun ka manusa, yén ‘ngayugakeun kahirupan’ , ‘nyiptakeun rejeki’ ajan...
  • Best Position Paper Asia World MUN III (Committee OIC)
    Topic : “Discussing the Roles of Member States and the OIC in Response to the Ongoing Refugee Crisis” Commit...
  • [PUISI] Tangis (W.S. Rendra)
    Tangis Karya: W.S. Rendra Ke mana larinya anak tercinta Yang diburu segenap penduduk kota? Paman Doblang! Paman Doblang! Ia la...
  • Cyberbullying, Tren Generasi Milenial Indonesia
    Source: iam1n4.com Perbincangan mengenai bullying kembali mencuat ke permukaan. Masalah kolot yang biasanya terjadi di sekolah ini b...

Postingan Terbaru!!

Ada Apa Aja?

  • Artikel dan Essai
  • Beasiswa dan Kepemudaan
  • Cerpen
  • Excel
  • Pidato
  • Puisi
  • Tugas Kuliah

Garis Waktu

  • Desember 2023 (1)
  • September 2021 (1)
  • Agustus 2021 (1)
  • Mei 2021 (1)
  • Maret 2021 (3)
  • November 2020 (3)
  • Oktober 2020 (1)
  • September 2020 (1)
  • Agustus 2020 (6)
  • Juli 2020 (3)
  • Juni 2020 (1)
  • Mei 2020 (3)
  • April 2020 (7)
  • Maret 2020 (5)
  • Februari 2020 (1)
  • Januari 2020 (5)
  • November 2019 (1)
  • Oktober 2019 (1)
  • Juni 2019 (1)
  • Mei 2019 (1)
  • Maret 2019 (1)
  • Februari 2019 (1)
  • Januari 2019 (2)
  • Desember 2018 (6)
  • November 2018 (3)
  • Oktober 2018 (10)
  • September 2018 (5)
  • Agustus 2018 (6)
  • Juli 2018 (3)
  • April 2018 (6)
  • Desember 2015 (8)
  • Juli 2015 (1)
  • April 2015 (1)
  • Maret 2015 (9)

Created with by Aksara Fauzi | Helped by Someone