Pemimpin Islami untuk Masa Kini

by - April 25, 2018


“Mengapa pemimpin kita seperti ini?”
“Mengapa daerah menjadi seperti ini?”
“Mana janjinya sewaktu kampanye?”

Deretan pertanyaan di atas sering terlontar saat pemimpin yang telah kita pilih ternyata tidak sesuai dengan harapan. Tahun 2018 adalah tahun pesta Pilkada. Segenap rakyat Indonesia di tiap daerahnya akan menghelat acara besar yang diadakan lima tahun sekali ini. Walaupun acara besar itu dilaksanakan tahun 2018, namun sudah banyak pemberitaan tentang para calon kepala daerah dari tiap-tiap partai ataupun koalisi partai di Indonesia sejak akhir tahun 2017. Baligo, spanduk, maupun poster yang dilengkapi foto para calon kepala daerah pun sesak memenuhi setiap sudut pusat kota bahkan pedesaan. Para bakal calon berlomba-lomba unjuk gigi untuk mempromosikan dirinya di hadapan khalayak.

Bukan rahasia umum lagi, rakyat sering kali tertipu para “pemimpin bertopeng” yang dianggapnya dapat menyejahterakan dan bahkan banyak yang sangat didamba-damba ternyata hanya bisa menyengsarakan kehidupan rakyat dan dijadikan kacung penguasa.

Menilik dari fakta lapangan yang sedang terjadi, sudah saatnya mencari pemimpin yang mampu memberi pengaruh (positif atau negatif) pada kondisi gatra-gatra ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan yang pada akhirnya berpengaruh pada kondisi ketahanan nasional dan ketahanan daerah. Selaku umat bernabikan Muhammad Saw. sudah sepatutnya kita pun mencari pemimpin yang berkepribadian Al-Quran dan mencerminkan akhlak Nabi.

Manusia turun ke bumi memiliki tugas penting sebagai khalifah dengan misi menciptakan perdamaian dan kesejahteraan. Manusia memiliki tanggung jawab besar untuk mengurusi bumi ini yaitu pengelolaan dunia agar berjalan sebagaimana yang Allah kehendaki. Kecerdasan dan kearifan seorang pemimpin sangat diperlukan agar dapat menuntaskan permasalahan dunia yang semakin pelik.

Rakyat mendambakan lahirnya sosok ulil-amr yang bisa menjadi teladan utama, uswah hasanah bagi dunia seperti kepemimpinan Rasulullah Saw. Mereka sangat mengagumi kepemimpinan Khulafaurrasyidin sebagaimana tergurat dalam sejarah dan sangat berharap mereka dapat merasakan atmosfer kepemimpinan itu. Pemimpin bijak yang digambarkan Abu Bakar, berani yang dideskripsikan Umar, pandai berbisnis yang dinampakkan Utsman, dan cerdas yang dicerminkan Ali sudah sangat jarang ditemukan di era milenial ini.

Melihat realitas sekarang yang penuh dengan carut marut serta krisis kepemimpinan, maka harus ada penyadaran kepada seluruh umat di penjuru bumi tentang bagaimana sosok  pemimpin yang seharusnya. Berkaca dari sejarah, sesungguhnya tidak ada yang dapat membuat umat sekarang ini baik melainkan dengan apa yang membuat umat terdahulu baik, karena sejarah akan berulang.

Ada sedikitnya tiga karakter dari Al-Quran yang harus dimiliki para khalifah negara yaitu kuat, amanah, dan memiliki ilmu yang luas. Khalifah yang kuat, baik kuat jasmani maupun rohani ini sangat penting karena seorang pemimpin adalah sosok yang kemudian menjadi orang nomor satu itu harus memiliki fisik yang prima dan memiliki rohani yang dipenuhi nilai-nilai keislaman. Kemudian amanah, karakter ini sangat sulit dicari dewasa ini. Budaya penyelewengan kekuasaan sudah mendarah daging pada pemimpin kita. Maka, rakyat harus jeli dalam menilai orang-orang yang akan mereka jadikan pemegang kekuasaan kelak. Kemudian ilmu, Hasan al banna dalam Arkanulbaiat-nya menempatkan Al-fahmu pada urutan teratas, karena memang setiap perkara itu harus di kerjakan atas dasar kefahaman. Apalagi jika menjadi pemimpin, maka pengetahuan yang mendalam terhadap segala aspek yang akan dipimpinnya itu sangat penting.

Menurut runtuyan yang menjadi muara dari keseluruhan karakter di atas adalah keadilan dan kesejahteraan. Menerapkan keadilan bagi para penguasa seadil-adilnya. Kemudian kesejahteraan bagi mereka yang tergolong mustadh’afin atau orang orang yang lemah. Kesejahteraan yang pertama menerimanya adalah mereka. Bila disimpulkan memulai keadilan adalah dari atas ke bawah sedangkan untuk kesejahteraan adalah dari bawah keatas bukan sebaliknya. Itulah yang terjadi di Indonesia, kebijakan terbalik sehingga yang menguasa semakin berjaya dan yang lemah semakin tanpa daya.

Jadi, pada dasarnya karakter adalah hal yang paling utama bagi seorang pemimpin. Jika pemimpin telah mampu menyejahterakan jiwanya dengan pondasi-pondasi rohani berpilarkan keislaman, maka ia mampu menyejahterakan orang-orang di bawahnya.***

You May Also Like

2 komentar