Agama
Setiap orang memiliki beda pengertian akan agama, tergantung dari sudut mana mereka melihat agama itu. Secara sederhana ada yang menyebutkan bahwa agama itu adalah: “kepercayaan akan makhluk-makhluk halus,” namun yang lainnya mencoba memberikan definisi yang lebih komprehensip atau deskripsi mengenai praktek-prakteknya. Dilihat dari segi etimologi, agama diambil dari bahasa Sansekerta yang terbagi menjadi “a” yang artinya tidak dan “gam” yang berarti kacau, jadi menurut bahasa Sansekerta agama itu berarti tidak kacau. Ini memberi arti bahwa dengan agama kehidupan tidak akan kacau atau dalam arti lain hidup akan lebih terarah.
Adapun yang mengartikan agama merupakan tata nilai dan sumber perilaku dan sikap hidup yang esensial dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, agama merupakan wahyu dari Tuhan melalui utusan-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia, sehingga agama disebut juga sebagai tata nilai atau sumber ilahiah.
Alasan bahwa agama sebagai sumber ilahiah karena keberadaannya tersebut ikut masuk ke dalam tatanan hidup umat manusia. Dalam hal ini, agama diterjemahkan oleh manusia ke dalam kehidupannya, sehingga terjadinya perbedaan implementasi oleh setiap manusia. Perbedaan penerjemahan inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya budaya agama. Dari agama lahir ekspresi-ekspresi, pengalaman-pengalaman, kreasi-kreasi, dan pola-pola pemahaman/ aliran-aliran doktrin pengalaman agama, sehingga muncul aliran-aliran ortodoks/ klasik, modernis, bahkan fundamentalis/ radikalis, demikian juga munculnya lembaga-lembaga agama. (Dikutip dari Wacana Pengantar Metodologis karya Sokhi Huda)
Dapat disimpulkan dari beberapa pengertian di atas, bahwa agama adalah seperangkat aturan yang esensial untuk keteraturan hidup manusia yang merupakan cara menuju suatu kehidupan yang selamat.
Agama yang ada di dunia sampai saat ini sangat banyak, diataranya agama-agama yang memiliki pengikut paling banyak adalah Islam, Kristen, Buddha, dan Hindu. Secara subyektif, tiap pemeluk agama pasti merasa ajaran yang dianutnya paling benar. Ini soal keyakinan. Jadi, tidak perlu diperdebatkan. Sebaliknya, bila secara sembarangan seseorang menganggap semua agama benar, agama pun tak ubahnya seperti baju. Sehingga, bisa diganti-ganti sesuka hati. Kilahnya, semua sama benarnya. Tinggal pilih, yang mana yang disuka pagi ini, siang, atau sore nanti. Di titik ini, hilanglah kesakralan agama. Punahlah keintiman makhluk untuk menyembah Tuhan dengan segala ritual yang diklaim sebagai “kepasrahan” tertinggi.
Ada yang mengatakan, “Semua agama itu baik, tapi tidak semua agama itu benar”. Pada dasarnya semua agama mengajarkan kebaikan dan memiliki misi perdamaian. Semua agama memfatwakan tentang perlunya manusia saling berbuat baik. Tak hanya pada manusia lain, namun juga pada makhluk hidup yang telah diciptakan, seperti hewan, tumbuhan, dan segala kreasi lain umat manusia. Semua mesti dimanfaatkan untuk kemaslahatan peradaban. Bukan demi kerakusan dan kenikmatan sesaat. Agama mengajarkan bagaimana saling menjaga, bukan saling menghancurkan. Bahkan, terhadap mereka yang berbeda pandangan atau keyakinan. Jika ada yang melakukan kerusakan dengan mengatasnamakan agama adalah orang-orang yang sebenarnya tak ada agama dalam dirinya, karena mereka belum memahami betul intisari dari agama yang dianutnya. Oleh karena itu, jangan sampai agama yang dianut karena ikut-ikutan dari apa yang dianut nenek moyang kita, perlu ada pemahaman secara mendalam sampai menemukan hakikat agama yang dipegang teguh. Soal benar atau tidaknya suatu agama tidak bisa diteliti hanya dari sikap dan perilaku pengikutnya, namun yang paling valid adalah dengan meneliti dan merujuk pada kitab-kitab suci yang dipedomaninya, apakah kitab suci tersebut tiap ayatnya memiliki kesinkronan tanpa saling berbantah-bantah atau sebaliknya.
Sementara itu, dilihat dari pengklasifikasian agama di dunia memiliki berbeda pandangan dari para ahli, penulis mengambil pengelompokan agama menurut Dr. Zakir Naik. Dr.Zakir Naik melalui studi dan penelitiannya mengelompokan agama-agama di dunia secara garis besar menjadi 2 kelompok yakni Agama Semitik (bangsa-bangsa keturunan Shem, putra Nabi Nuh yaitu Yahudi, Arab, Assiria, Phoenisia dsb) dan Agama Nonsemitik.
- Agama Non-semitik sendiri terbagi menjadi dua kategori yaitu Arya (bangsa Indo-Eropa yang menyebar ke wilayah Iran hingga India Utara sekitar 2000 – 1500 SM) dan Non-Arya.
- Agama Semitik terdiri atas Yahudi/ Judaisme, Kristen dan Islam. Sementara Agama Arya adalah Hindu, Jainisme, Zoroaster, Buddha dan Sikh. Non-Arya adalah agama (keyakinan) yang tersebar di Wilayah Cina dan Jepang yaitu Konfusiusme, Taoisme dan Shintoisme.
Religi
Sementara itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia religi adalah kepercayaan akan adanya kekuatan sesuatu adikodrati di atas manusia. Jadi religi adalah hubungan antara manusia dengan sesuatu. Yang sesuatu tersebut adalah Yang Kudus/ dianggap kudus. Sesuatu tersebut mungkin berupa tenaga atau gejala yang tidak mempunyai benda, tapi mungkin pula berbentuk pribadi, manusia yang didewakan, dewa-dewa atau Tuhan. Apa dan siapa yang sesuatu itu tergantung pada tujuan kepercayaan masing-masing religi. Dengan demikian, pengertian religi luas sekali.
Dalam religiusitasnya sendiri menurut Glock dan Stark seperti yang dikutip Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori, terdapat lima macam dimensi, yaitu:
a. Dimensi keyakinan (Ideologi)
Dalam dimensi ini, setiap orang berpegang teguh akan pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran-kebenaran doktrin tersebut. Dimensi ini mencakup hal-hal seperti keyakinan terhadap rukun iman, percaya akan ke-Esa-an Tuhan, adanya malaikat, kitab suci, rasul yang membawa agama, adanya pembalasan pada hari akhir, surga dan neraka, dan percaya akan hal-hal gaib lainnya.
b. Dimensi peribadatan atau praktek agama (ritualistik)
Ciri yang sangat tampak dari kereligiusitasan seseorang adalah dari perilaku ibadahnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dimensi ibadah ini dapat diketahui dari sejauh mana tingkat kepatuhan seseorang dalam mengerjakan segala perintah agama yang wajib dilaksanakan.
c. Dimensi pengamalan
Aspek ini berkaitan dengan kegiatan pemeluk agama untuk merealisasikan ajaran-ajaran agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi ini menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alamnya.
d. Dimensi ihsan (penghayatan)
Dimensi ini membahas tentang keterkaitan seberapa jauh seseorang merasa dekat dengan Tuhannya. Jika seseorang telah merasa dekat dengan Tuhannya, maka dia akan merasa nikmat dalam beribadah. Dia pun akan merasakan kenyamanan hidup.
e. Dimensi pengetahuan
Aspek ini berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya. Paling tidak, seseorang harus mengetahui hal-hal dasar tentang keyakinan, ritual-ritual peribadatan, tradisi-tradisi, dan lain sebagainya. Dan semua hal-hal tersebut sudah ada dalam kitab sucinya masing-masing.
Dimensi-dimensi di atas sangatlah berpengaruh terhadap tingkat kereligiusan seseorang.
Dien
Dalam ajaran Islam sendiri menyebut Islam sebagai Diin. Dalam bahasa Semit, dien berarti undang-undang atau hukum. Sementara, dalam bahasa Arab kata tersebut mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan.
Dapat diketahui bahwa dien sendiri membawa peraturan-peraturan/ hukum yang harus dipatuhi, membuat seseorang tunduk dan patuh kepada Tuhan, dan membawa kewajiban-kewajiban yang apabila menjalankannya mendapat balasan baik, sedangkan apabila mengingkarinya akan memperoleh balasan buruk.
Agama Samawi
Dalam Islam agama samawi berarti agama dari langit, karena para pengikutnya meyakini agama samawi diciptakan langsung oleh Tuhan melalui perantara malaikat lalu disampaikan kepada para nabi dan rasul utusannya yang kemudian disampaikan kepada umat manusia sebagai pegangan hidup. Agama ini pun dibentuk oleh kitab suci, menurut bahasa Barat diistilahkan dengan revealed religion.
Ajaran agama langit ditujukan kepada sifat-sifat asli atau hakikat kemanusiaan, menuntunnya, mengawalnya dan mengarahkannya kepada pembinaan keselamatan dan kesenangan bagi manusia sendiri. Karena kita suci agama langit memiliki kebenaran yang mutlak maka tidak akan berubah-ubah, tak perlu berubah dan tak mungkin berubah. Kebenaran mutlak itu mengatasi ruang dan waktu.
Adapun ciri-ciri agama langit adalah:
- Secara pasti dapat ditentukan dari lahirnya. Agama ini bukan tumbuh dari masyarakat, melainkan diturunkan kepada masyarakat. Yang tergolong agama samawi adalah Yahudi, Nasrani, dan Islam. Islam adalah agama samawi yang terakhir yang diwahyukan oleh Allah swt. kepada utusan-Nya yakni Nabi Muhammad saw. untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia di dunia.
- Disampaikan oleh manusia pilihan Tuhan sebagai utusan-Nya. Utusan itu bukan menciptakan agama, melainkan menyampaikannya. Dalam Islam sendiri, Allah swt. mengutus para hamba pilihan-Nya diantaranya adalah Nabi Musa yang menyampaikan agama Yahudi, Nabi Isa menyampaikan agama Nasrani, dan terakhir adalah Nabi Muhammad saw. yang menyampaikan agama Islam.
- Memiliki kitab suci yang bersih dari intervensi manusia. Diantara agama samawi yang masih dan akan terus ‘suci’ dari intervensi manusia adalah agama Islam. Sementara itu, agama yahudi dan nasrani sendiri pada saat ini banyak penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan penganut-penganutnya. Banyak intervensi para pengikutnya dalam agama, contohnya saja perombakan kitab Injil dan praktik ibadah kaum Yahudi yang melenceng dari aturan sebelumnya. Ini menandakan bahwa agama tersebut dipertanyakan ‘kesuciannya’.
- Konsep ketuhanannya adalah monotheisme mutlak (tauhid).
- Kebenarannya bersifat universal yaitu berlaku bagi setiap manusia, masa dan keadaan.
- Sistem nilai agama wahyu ditentukan Tuhan sendiri diselaraskan dengan ukuran dan hakekat kemanusiaan.
- Agama wahyu menyebut sesuatu tentang alam yang kemudian dapat dibuktikan kebenarannya oleh ilmu pengetahuan. Dalam Islam sendiri, segala sesuatu tentang alam raya telah termaktub dalam kitab suci Al-Quran. Tidak sedikit para cendekiawan yang menjadi mualaf saat mengetahui adanya keselarasan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan.
- Tuhan memberikan petunjuk, pedoman, tuntunan, dan peringatan kepada manusia dalam pembentukan insan kamil. (Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H., 2010: 69-71)
Agama Ardi
Berbeda dengan agama samawi, agama ardi berakar dari budaya, daerah, pemikiran seseorang yang kemudian dapat diterima secara global, dengan kata lain agama ini bisa disebut juga agama budaya. Agama ini tidak memiliki kitab suci dan bukan berlandaskan pada wahyu Tuhan. Dalam istilah Barat, agama ini disebut dengan natural religion.
Tata hubungan dalam agama ardi ini dirumuskan oleh pemimpin agama itu berdasarkan cita-cita, pengalaman, pemikiran dan penghayatannya. Agama ardi tidak dapat ditentukan lahirnya, karena ia tumbuh seirama dengan perkembangan masyarakat. Agama ini dapat mengalami perubahan yang terjadi karena cara berpikir dan cara merasa masyarakat berubah (kebudayaan).
Karena agama ini dibetuk oleh filsafat, ajaran-ajarannya tentang alam gaib tidak termakan oleh akal mereka yang berada di luar pandangan filsafat tersebut. Ajaran-ajarannya tentang alam nyata hanyalah bersifat spekulatif, yakni hasil pemikiran semata-mata tanpa diuji oleh fakta. Karena itu dalam perkembangan ilmu satu demi satu ajaran itu dibuktikan kekeliruannya.
Dari beberapa uraian di atas, ciri-ciri agama ardi (budaya) dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Agama budaya tidak dapat dipastikan kapan lahirnya karena agama ini mengalami proses pertumbuhan seirama dengan proses pertumbuhan kebudayaan masyarakatnya.
- Agama budaya tidak mengenal akan utusan yang diturunkan Tuhan. Yang mengajarkan agama ini adalah para filosof atau yang ekuivalen dengan para filosof yang tumbuh di masyarakat, atau pemimpin rohaniah yang merumuskan penghayatan atau kesadaran agama yang hidup dalam masyarakatnya, atau pencipta agama itu sendiri.
- Agama ini tidak memiliki kitab suci. Namun, agama budaya dari masyarakat yang telah lama berperadaban mungkin sekali memiliki kitab suci. Akan tetapi, kitab suci ini terus berubah seiring berkembangnya pemikiran para penganutnya.
- Tata hubungan antara manusia dan Tuhan dalam agama budaya berasal dari akal, bukan naqal seprti agama samawi. Perkembangan kebudayaan mengubah kepercayaan, pengetahuan dan pengalaman itu, sehingga diperlukan perubahan agama, supaya ia tetap selaras dengan kebudayaan yang berubah itu. Hal ini berbanding terbalik dengan agama samawi yang memaksa kebudayaan untuk selaras dengan tata berpikir agama.
- Konsep ketuhanan agama budaya disusun oleh akal. Karena itu, tanggapan tentang Yang Kudus atau Tuhan dalam sejarah umat manusia berkembang dengan perkembangan akalnya, mulai dari dinamisme sampai kepada monoteisme nisbi.
- Doktrin agama budaya adalah nisbi, karena berdasarkan pengetahuan manusia yang dhaif. Maka, kebenarannya terikat pada masa dan masyarakat yang menganutnya
- Prinsip-prinsip agama budaya diselarskan dengan masa dan masyarakat tertenu. Oleh karena itu, sering terjadi perubahan-perubahan agar agama selaras dengan kebudayaan masyarakat.
- Perkara-perkara alam nyata yang disampaikan agama budaya sering terbukti kekeliraunnya oleh perkembangan ilmu pengetahuan. Berbeda dengan agama langit yang mana perkara-perkara alam nyata satu persatu terbukti kebenarannya oleh perkembangan ilmu.
- Gambaran yang hendak dibentuk agama budaya adlah anggapan kesempurnaan sepanjang cita-cita, pengalaman, pemikiran, dan penghayatan masyarakat penganutnya, yang belum tentu diakui oleh masyarakat lain yang berebda akan cita-cita, pengalaman, pemikiran dan penghayatannya.
Animisme
Animisme sendiri apabila melihat dari sisi etimologi berasal dari kata anima, animae; dari bahasa Latin animus, dan bahasa Yunani avepos, dalam bahsa Sansekerta disebut prana, dalam bahasa Ibrani ruah yang artinya nafas atau jiwa. Sementara itu dalam studi tentang sejarah agama primitif, animisme diartikan tekanan pemujaan pada makhluk spiritual yang objeknya tidak dapat dilihat oleh mata manusia.
Dinamisme
Dinamisme termasuk kedalam Agama Ardli yang merupakan perkembangan agama-agama suku bangsa primitif. Para ahli berpendapat bahwa agama dinamisme terdahulunya berwujud animisme. Dinamisme sendiri adalah suatu paham yang mempercayai adanya benda tertentu yang mempunyai kekuatan gaib dan berpengaruh pada kehidupan sehari-hari. Dinamisme berasal dari bahasa Yunanis dynamis yagn artinya kekuatan. Menurut kepercayaan masyarakat primitif, bahwa benda-benda di sekeliling itu mempunyai kekuatan-kekuatan mistis yang tidak terduga.
Masyarakat primitif memberikan nama-nama tertentu terhadap benda mistis tersebut, diantaranya orang Melanesia menyebutnya “mana”. Menurutnya, mana tersebut dapat memberikan efek yang baik dan bahkan efek yang dapat membahayakan kepada manusia. Oleh karena itu, masyarakat primitif sangat menjaga mana itu (mengkramatkannya).
Dinamisme lebih condong kepada benda mati, sesuatu yang bernyawa seperti halnya hewan atau binatang bahkan manusia itu tidak dikategorikan sebagai benda dalam paham dinamisme.
Tothemisme
Tothemisme adalah suatu paham kepercayaan bahwa manusia dan alam memiliki kesatuan. Menurut kepercayaan ini, ada berbagai macam wujud hewan dan gejala alam, seperti matahari, petir dan bintang sebagai sesuatu yang dikeramatkan. Para penganutnya mempercayai bahwa hewan tertentu dianggap suci dan dipuja karena memiliki kekuatan supranatural, contohnya sapi, ular, dan harimau. Agama Tothemisme ini mengagungkan bahkan sampai memuja nenek moyang mereka sendiri. Pemujaan terhadap nenek moyang biasa dilakukan melalui media totem, yaitu benda-benda keramat buatan tangan yang menyerupai hewan atau makhluk tertentu diberdirikan di suatu tempat khusus.
Politheisme
Politheisme masih termasuk kedalam Agama Ardli. Politheisme sendiri adalah sistem kepercayaan banyak dewa. Kalau roh-roh dalam animisme tidak diketahui tugas-tugasnya yang sebenarnya, sementara dalam politheisme dewa-dewa telah mempunyai tugas tertenu. Demikianlah seperti ada dewa yang bertugas menyinari bumi, memeilihara alam, menciptakan alam, merusak alam, penurun hujan, dan lain sebagainya. Dalam kepercayaan politeisme pun dikenal sistem kasta sesuai dengan dewa yang mereka sembah. Dewa-dewa yang lebih besar akan lebih dihormati dan dipuja sedangkan dewa-dewa lain ditinggalkan, faham demikian telah keluar dari politheisme dan meningkat kepada henoteisme.
Dalam banyak serbajamak dewa terjadi proses pilihan, sehingga akhirnya yang dipuja satu atau sejumlah kecil dewa saja. Dalam politheisme Hindu, Mesir purba dan Arab Jahiliyah, pilihan itu jatuh kepada tiga dewa. Diantara sekian banyak dewa dalam agama Hindu, terpilih Brahmana (Dewa yang mencipta), Wisnu (Dewa yang memelihara), dan Siwa (Dewa yang merusak). Dalam agama Mesir purba tertonjol Dewa Isiris dengan isterinya Isis dan anaknya Horus. Dalam agama Arab Jahiliah tertonjol Al-Lata, Al-Uzza dan Manata.
Monotheisme
Monotheisme terbentuk dari kata “mono” yang artinya satu dan “isme” berarti paham. Jadi, monotheisme adalah paham yang berdasarkan kepada kepercayaan terhadap satu Tuhan. Dalam agama Islam sendiri, istilah ini ekuivalen dengan kata “tauhid” artinya tentang ke-Esa-an Tuhan. Ke-Esa-an Allah dalam Islam berdasarkan Q.S. Al-Ikhlas: 1-4.
Konsep monoteisme dalam Zoroasterisme dapat ditemukan dalam kitabnya Dasatir sebagai berikut :
- Dia adalah Esa
- Tak ada sesuatupun yang mirip dengan-Nya
- Dia tanpa asal atau akhir, tanpa sekutu, musuh, prototip, kawan, ayah, ibu, isteri, putera, tempat tinggal, jasad, atau bentuk, dan tanpa warna serta indera.
- Tiada mata bisa melihat-Nya ataupun tenaga fikiran bisa menangkap-Nya
Pada prinsipnya keyakinan akan keberadaan Tuhan secara alamiah pada dasarnya adalah merujuk pada Satu Tuhan (monoteisme), Tuhan adalah Esa, Satu Tuhan bagi seluruh umat manusia. Karena Tuhan itu satu maka satu pula agama yang diturunkan-Nya. Keanekaragaman agama adalah hasil distorsi manusia. Seluruh utusan, seluruh rasul dan nabi hanya menyampaikan satu agama, penyelewenganlah yang membuat satu agama dari satu sumber itu menjadi beraneka ragam.
Sementara itu, menurut agama budaya ada tiga bentuk monoteisme, yaitu:
- Monoteisme praktis, artinya tidak mengingkari dewa-dewa lain, tapi hanya satu Tuhan saja yang diarah dan dipuja
- Monoteisme spekulatif, yang berarti terbentuk karena bermacam gambaran dewa lebur menjadi satu gambaran yang akhirnya dianggap sebagai satu-satunya deaw. Watak pribadinya kurang jelas, karena perbedaannya daripada panteisme kurang tajam.
- Monoteisme teoritis, berarti dalam teori Tuhan itu esa, tapi dalam praktik sendiri dipercayai lebih dari satu Tuhan.
Adapun monoteisme murni/ mutlak sebagai yang paling abstrak, yang paling tinggi, adalah konsep sempurna yang tak mungkin dihasilkan oleh akal. Konsep ini hanyalah diajarkan naqal, diturunkannya sebagai wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Konsep ini adalah konsep ketuhanan agama langit.
Agama-agama yang dimasukkan ke dalam kelompok agama monotheisme, sebagai disebut dalam Ilmu Perbandingan Agama adalah Islam, Yahudi, dan Nasrani dengan kedua golongan Protestan dan Katholik yang terdapa di dalamnya. Islam, Yahudi, dan Nasrani merupakan satu rumpun sebagaimana Q.S. Al-Imran: 84. Sejarah juga menunjukan bahwa ketiga agama ini memang mempunyai asal yang satu.
Pada mulanya ketiga agama ini berdasarkan atas keyakinan Tuhan yang serupa. Tetapi, kemurnian itu yang masih terpelihara adalah Islam dan Yahudi. Dalam Islam satu dari kedua syahadatnya mengeaskan: “Tiada tuhan selain dari Allah”, sedangkan agama Yahudi Syema atau syahadatnya mengatakan: “Dengarlah Israel, Tuhan kita satu”. Namun, praktik pengamalan ajaran agama Yahudi sudah melenceng, tidak sesuai dengan apa yang dijarkan Nabi Musa dahulu dan memang agama yang disampaikan oleh Nabi Musa hanya berlaku untuk zamannya sendiri. Tetapi, kemurnian tauhid dalam agama Kristen dengan adanya faham trinitas, sebagai diakui oleh ahli-ahli perbandingan agama, sudah tidak terpelihara lagi.
Atheisme
Dalam perkembangan keyakinan atau agama banyak mengalami tantangan, gugatan dari kaum Marxis, Freudis, Atheis. Mereka tidak mempercayai eksistensi Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini, dengan alasan bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat dirasakan oleh indera mereka alias mereka hanya mempercayai hal-hal yang bersifat konkret. Padahal mereka yang berkata hanya mempercayai, meyakini apa-apa yang ditangkap oleh indera mereka tidak dapat mengingkari realitas di kehidupan mereka sendiri, mereka mengakui adanya hukum gravitasi, mereka meyakini keberadaan rasio (akal pikiran) meski mereka tak mampu melihat wujudnya. Penganut aliran ini berpendapat bahwa alam semesta ini tercipta dengan sendirinya, secara kebetulan (konsidens). Paham tentang ketidakpercayaan akan adanya Tuhan dikenal dengan istilah atheisme.
Secara etimologis, ateisme berasal dari bahasa Yunani, ‘a’ berarti ‘tidak’ dan ‘theos’ berarti ‘Tuhan’. Jadi, ateisme berarti paham yang tidak mengakui keberadaan Tuhan. Paham tentang kepercayaan ini selalu beriringan dengan paham komunisme. Jika ada yang menganut paham komunis, maka output-nya adalah orang tersebut atheis.