Menyikapi Subjektifitas Media dalam Berkampanye
April 2019, segenap masyarakat Indonesia akan menghelat hajat besar yang dilaksanakan rutin lima tahun sekali untuk mengetahui penerus estafet kepemimpinan. Walaupun acara besar itu dilaksanakan tujuh bulan ke depan, namun atmosfer kampanye telah terasa.
Berbagai media massa menjadi alat kampanye untuk meningkatkan elektabilitas para kandidat. Diskursus tentang netralitas media massa di Indonesia, pada paruh akhir tahun terakhir ini, menyisakan trauma mendalam di benak publik. Secara implisit, media massa memproklamirkan keberpihakannya kepada salah satu bakal calon, sehingga berimbas pada pemberitaan yang berat sebelah.
Dewasa ini, pemberitaan yang berimbang, faktual, dan terpercaya menjadi hal langka. Sejumlah lembaga penyiaran bertindak subjektif terutama dalam mengampanyekan pihak yang didukung. Hal tersebut dilatarbelakangi karena pemiliknya merangkap jabatan sebagai petinggi parpol tertentu, sehingga secara terang-terangan mencitrakan diri dan parpolnya sambil menyudutkan parpol lain yang tidak sepemahaman.
Masyarakat dituntut cerdas menyikapi kebusukan media tersebut. Jangan sampai terbuai janji-janji atau citra salah satu capres yang dikemas begitu apik. Filterisasi informasi harus dilakukan karena banyaknya pemberitaan yang sarat akan hoaks. Kampanye damai harus ditegakkan sebagaimana yang telah dideklarasikan KPU RI, yaitu mewujudkan Pemilu yang luber dan jurdil, melaksanakan kampanye Pemilu yang aman, tertib, damai, berintegritas, tanpa hoaks, politisasi, SARA, dan politik uang, dan melaksanakan kampanye berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, kampanye menjadi ajang berekspresi dari sikap berdemokrasi bukan ajang saling menjegal, menjatuhkan, dan menebar fitnah.
0 komentar