Meneladani Pola Kepemimpinan Rasulullah SAW
Awal Desember 2020, segenap warga Kabupaten Cianjur akan menghelat acara besar yang diadakan lima tahun sekali. Ya, masyarakat Cianjur akan mengetahui who will be the next leader of Cianjur. Acara besar tersebut tidak terasa akan dilaksanakan bulan ke depan, namun sejak beberapa bulan sebelumnya, sudah banyak baligo, spanduk, maupun poster yang dilengkapi foto para calon bupati yang memenuhi setiap sudut pusat kota bahkan pedesaan.
Penulis tidak akan melakukan
justifikasi dengan mengungkapkan kelebihan maupun kekurangan setiap calon,
karena penulis percaya warga Cianjur yang lain jauh lebih pintar dalam
menentukan siapakah yang akan menjadi pemimpin kita nantinya. Siapa pun pemenangnya,
yang diharapkan warga Cianjur adalah mendapat kenyamanan, ketentraman, dan
keamanan yang terjamin.
“Naha geuning kieu pamingpin urang teh?” (Mengapa seperti ini
pemimpin kita?)
“Kunaon Cianjur teh jadi kieu?” (Mengapa Cianjur jadi seperti ini?)
“Mana janji basa kampanye kamari?” (Mana janji sewaktu kampanye?)
Bukan rahasia umum lagi, rakyat
sering kali tertipu para “pemimpin bertopeng” yang dianggapnya dapat
menyejahterakan dan bahkan banyak yang sangat didamba-damba ternyata hanya bisa
menyengsarakan kehidupan rakyat dan dijadikan kacung penguasa.
Menilik dari fakta lapangan yang
sedang terjadi, sudah saatnya mencari pemimpin yang mampu memberi pengaruh
(positif atau negatif) pada kondisi gatra-gatra ideologi, politik, ekonomi,
sosial budaya, pertahanan dan keamanan yang pada akhirnya berpengaruh pada
kondisi ketahanan nasional dan ketahanan daerah. Selaku umat bernabikan
Muhammad Saw. sudah sepatutnya kita pun mencari pemimpin yang berkepribadian
Al-Quran dan mencerminkan akhlak Nabi. Cerminan tersebut terdapat pada pola
kepemimpinan Rasulullah SAW.
Rasulullah diutus oleh Allah
mempunyai satu risalah yang sempurna. Risalah inipun hendaklah ditunaikan dengan
sempurna, dan menjadi bekal hidup manusia. Islam sebagai rahmatan lil’alamin
memang datang untuk membawa rahmat bagi seluruh alam tanpa terkecuali. Sebagai
seorang pemimpin umat Islam, Rasulullah memiliki pola kepemimpinan yang dapat
diterima oleh seluruh masyarakat yang multi etnis, multi ras dan multi agama.
Pada periode pemimpinannya di
Madinah Rasulullah berhadapan dengan masyarakat yang heterogen. Sebagaimana diketahui bahwa fiqh siyasah syar’iyyah telah dilaksanakan
oleh Rasulullah SAW dalam mengatur dan mengarahkan umatnya menuju tatanan
sosial-budaya yang diridai Allah SWT. Fakta
itu semakin nampak setelah Rasulullah hijrah dari Makkah ke Madinah.
Peristiwa-peristiwa sejarah yang
terjadi setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, dan hal ini merupakan artikulasi
pelaksanaan politik Islam. Di Madinah terbentuk satu komunitas muslim, yang
terdiri dari golongan muhajirin dan anshar. Sebagai satu komunitas dalam
masyarakat yang majemuk, kaum muslimin diharuskan berinteraksi dengan
komunitaskomunitas lain, yang terdiri dari; orang-orang nasrani, Yahudi, muslim
dan kafir Madinah. Dalam kedudukannya sebagai kepala negara, kebijakan
Rasulullah SAW. Merupakan pelaksanaan politik Islam (Djazuli: 2017).
Kepemimpinan Rasulullah, selaku
seorang pemimpin dimulai dari bawah sampai atas dan segala penjuru dari
berbagai budaya menjadi satu masyarakat / umamatan wahidah yang beriman dan
bertakwa. Sebagai sebuah kekuatan, ini nampak pada perang badar di mana kaum
Muslimin mampu mengalahkan pasukan Quraisy Jahili, sehingga memperoleh
kemenangan, bukan karena suatu mukjizat nabi. Namun lebih banyak karena kepemimpinan Rasulullah yang berhasil
menanamkan keimanan, ketakwaan, kesetiaan, dan semangat juang untuk membela
kebenaran dan mempertahankan hak selain memperoleh bantuan Allah SWT
(As-Shiddiqy: 1996).
Ada beberapa kunci hal sebagai
penyebab keberhasilan dakwah Rasulullah (As-Shiddiqy: 1996), yaitu:
1. Akhlak
Rasulullah yang terpuji dan tanpa cela.
2. Karakter
Rasulullah yang tahan uji, tangguh, ulet, sederhanan dan bersemangat baja.
3. Sistem
dakwahnya yang menggunakan metode imbauan dengan penuh hikmah dan
kebijaksanaan. Rasulullah dalam menyeru
manusia agar beriman, berbuat yang baik dan mencegah kemunkaran sedikitpun
tidak ada unsur paksaan.
4. Tujuan
perjuangan nabi untuk menegakkan keadilan dan kebenaran serta menghancurkan
yang batil, tanpa pamrih kepada harta, kekuasaan dan kemilau dunia.
5. Prinsip
persamaan. Rasulullah bergaul dengan semua orang, tutur katanya lembut dan
menyenangkan dalam bergaul.
6. Prinsip
kebersamaan. Rasulullah selalu ikut dalam kegiatan bersama dengan umatnya,
untuk memberikan teladan/contoh.
7. Mendahulukan
kepentingan dan keselamatan umatnya.
8. Memberikan
kebebasan berkreasi dan berpendapat. Rasulullah bukanlah tipe pemimpin otoriter. Selain wewenang kerasulan yang
hanya diperuntukkan bagi dirinya oleh Allah SWT maka wewenangnya selaku
pemimpin didelegasikan kepada orang lain.
9. Tipe
kepemimpinan karismatik dan demokratis. Kepatuhan umat kepadanya karena selalu
menunjukkan satunya kata dan perbuatan.
Sifat kepemimpinan demokratis dari Rasulullah SAW diperlihatkan pula oleh ketekunan beliau mendidik para sahabat untuk dipersiapkan sebagai calon-calon penggantinya selaku pemimpin umat dalam urusan dunianya dan membiarkan mereka mengembangakan diri tanpa khawatir tersaingi. Sifat kepemimpinan demokratis ini, beliau tidak mewasiatkan salah seorang diantara sahabatnya untuk menjadi “putra mahkota”. Siapa yang akan menjadi pengganti beliau memimpin umat dna negara yang beliau bangun setalah beliau tiada diserahkan sepenuhnya kepada kehendak umat sendiri.
Sifat demokratis kepemimpinan
Rasulullah ditunjukkan pula oleh sikap beliau yang terbuka terhadap kritik dan
mendengar pendapat dan saran orang lain. Sikap keterbukaan Rasulullah terhadap
kritik dapat dibuktikan pada peristiwa; “pernah sahabat mengkritik tentang
pembagian harta ghanimah dari salah satu
peperangan yang terjadi”. Rasulullah menerima kritik tersebut dengan dada
lapang, meskipun itu tidak benar”. Sikap mau menerima kritik dan saran dari
orang lain ditunjukkan dengan hadits “terimalah nasehat walaupun datangnya dari
seorang budak hitam”.
Fakta lain tentang pelaksanaan
siyasah Islam (politik Islam) adalah kebijakan yang dibuat Rasulullah SAW
berkenaan dengan persaudaraan intern kaum muslimin. Yaitu antara sahabat
muhajirin dan anshar. Kebijakan itu merupakan perwujudan dalil kulliy, yaitu
alukhuwah al-islamiyah. Serta perjanjian ekstern antara muslim dan non
muslim. Meskipun kekuasaan dipegang kaum muslimin, dalam hal ini Rasulullah
sebagai pemimpin, perjanjian yang dibuat tidak mengganggu keyakinan non muslim.
Mereka masih diberi kekebasan memeluk agamanya dan beribadah sesuai keyakinan
mereka. Hal ini tercipta karena Rasulullah mendasarkan kebijakan atas prinsip al-ukhuwah al-islamiyah yang diwujudkan dalam
piagam madinah.
Contoh lain dari pelaksanaan
siyasah pada masa Rasulullah adalah perjanjian hudaibiyah yang terjadi pada
tahun 628 M antara Rasulullah dengan kaum Quraisy yang diwakili Suhayl Ibnu
‘Amr sebagai utusan, Dalam perjanjian ini, beliau tidak memaksakan kehendaknya
tetapi menanggapi tuntutan Suhayl Ibnu ‘Amr, sekalipun menyinggung keimanan
kaum muslimin.
Inti dari perjanjian tersebut
adalah gencatan senjata, kebebasan memilih agama dan beribadah sesuai
keyakinan. Disamping itu, ditinjau dari aspek siyasah/ politik Islam
mengisyaratkan beberapa hal; 1) keharusan menempuh jalan damai, meskipun dengan
cara itu pencapaian tujuan secara logika agak terlambat, 2) keaharusan
mempunyai kemampuan membaca situasi dan kondisi, kapan harus memberi dan harus
menerima, serta 3) keharusan memiliki kemampuan menentukan waktu yang tepat
agar tujuan bisa dicapai, hal ini sesi dengan kaidah, “Barangsiapa mempercepat
sesuatu sebelum waktunya, akan mendapat sanksi yang berupa kegagalan.”
Berdasarkan pola kepemimpinan yang
dicontohkan Rasulullah SAW, sudah seharusnya kita bisa mengklasifikasikan para
calon pemimpin sekarang. Begitu pun dengan para calon pemimpin sekarang, sudah
semestinya menjadikan Rasulullah sebagai role model dalam berkepemimpinan
kelak.
Referensi:
Mubasyaroh. (2018). Pola
Kepemimpinan Rasulullah SAW: Cerminan Sistem Politik
Islam. POLITEA, 95-105
0 komentar