Jurnalistik Media Sosial: Fenomena (2/2)
Karakteristik Jurnalistik Media Sosial
Kegiatan jurnalisme media sosial yang memanfaatkan media sosial sebagai platform menunjukkan karakteristik-karakteristik jurnalisme yang interaktif. Menurut Hamna, karakteristik tersebut meliputi: (Hamna: 2017)
- Aktualitas (immediacy). Karakteristik tersebut merujuk pada konten berita yang meliputi peristiwa yang sedang terjadi dan disajikan aktual atau terkini.
- Transparansi (transparency). Karakteristik ini merujuk pada penyajian berita yang tidak memanipulasi fakta, atau sudah melalui tahap verifikasi oleh jurnalis melalui narasumber berita.
- Jurnalisme Partisan. Karakteristik jurnalisme partisipan merujuk pada kegiatan jurnalisme yang melibatkan penonton untuk melakukan interaksi dalam sebuah pemberitaan melalui media sosial.
- Anonimitas (anonymity). Karakteristik di atas merujuk pada kebebasan dalam menciptakan identitas dunia maya dalam sebuah media sosial. Karakteristik ini perlu untuk dihindari dalam jurnalisme media sosial dikarenakan jika sumber berita tersebut anonim, maka pada umumnya berita tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.
- Saling berbagi konten (sharing). Karakteristik ini merujuk pada fitur media sosial yang dapat menyebarkan konten-konten orang lain kepada khalayak yang luas. Selain itu, dalam jurnalisme media sosial, para jurnalis dapat membagikan berbagai macam konten berita.
Kelebihan Jurnalistik Media Sosial
Kehadiran internet membawa perubahan revolusioner terhadap cara informasi disajikan. Jika sebelumnya produsen informasi itu adalah wartawan atau lembaga pers, kini kita masyarakat biasa pun bisa menjadi produsen informasi. Berbagai media sosial bisa menjadi saluran informasi. UGC atau user generated content pun bermunculan di Indonesia. Bahkan untuk menarik calon-calon produsen informasi ini, beberapa media sudah menerapkan semacam honornya. Para produsen informasi yang bukan wartawan ini biasa dikenal dengan netizen journalism atau jurnalisme warga.
Tak bisa disangkal, dalam media sosial pun, para jurnalis warga melakukan desiminasi informasi-informasi yang dirasa penting disiarkan karena hal tersebut tidak dimunculkan di media massa seperti televisi. Jurnalisme sendiri merupakan salah satu jalan yang digunakan untuk mengembangkan sayap jurnalis, bergerilya lewat digital untuk misi jurnalisme, sebagai wahana publik dalam bahasa merupakan jurnalisme akar rumput. Kehadirannya ini menjadi antitesis atas ketidakpuasan publik terhadap pemberitaan media arus utama. Sebab media arus utama dibangun oleh sebuah struktur, bermodal besar, dan berkepentingan komersial serta politik yang hanya menempatkan warga sebagai konsumen atau obyek berita. Kebutuhan masyarakat akan informasi yang cepat dan lugas membuat jurnalisme warga kian subur di berbagai media sosial. Adapun keunggulan jurnalistik media sosial yang disuguhkan diantaranya yaitu:
1. Biaya mengakses informasi terjangkau.
2. Bersifat interaktif, sehingga memungkinkan muncul perdebatan hangat dan menarik antara penulis dan pembaca.
Media sosial merupakan platform yang sangat interaktif melalui individu dan komunitas bersama-sama membuat dan mendiskusikan konten dengan bertukar pesan dan komentar. Fitur inti seperti berbagi, berkomentar, dan "menyukai" membuat interaksi menjadi mudah. Dalam poin ini memungkinkan terjadinya kolaburasi antara jurnalis profesional dengan jurnalis warga. Dengan adanya kolaborasi antara jurnalis profesional dan jurnalis warga diharapkan bisa membuat produk berita yang dihasilkan menjadi lebih baik lagi.
3. Informasinya mampu menembus ruang dan waktu.
Penggunaan media sosial dalam kegiatan jurnalistik memungkinkan publikasi konten jurnalistik dapat dilakukan dalam skala yang lebih luas. Hal ini bisa dilihat dari misalnya penggunaan akun media sosial Twitter oleh media jurnalistik, dengan menggunakan sistem hyperlink, media jurnalistik bisa mempublikasikan beritanya secara mudah dan berita bisa diakses oleh semua pengikut dari akun Twitter media jurnalistik tersebut.
4. Adanya kebebasan berbicara.
5. Setiap orang memiliki hak untuk memberikan kritik, informasi, opini dan saran secara terbuka.
6. Dapat membantu mengarahkan newsroom fokus pada pemanfaatan komunitas.
Hal ini bisa dilakukan dengan memantau isu apa yang sedang ramai diikuti oleh pengguna akun media sosial, dari isu tersebut, jurnalis bisa mengemas isu yang ada menjadi berita yang tentunya menarik pembaca.
Kekurangan Jurnalistik Media Sosial
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa jurnalistik media sosial telah melahirkan jurnalisme warga yang dikhawatirkan menyampaikan informasi tidak melalui sistem verifikasi, informasi yang tidak memenuhi unsur 5W+1H (What, Where, When, Who, Why, dan How) dan di dalamnya memiliki nilai berita (significance, timeliness, magnitude, proximity, prominence, human interest). Verifikasi yang dimaksud adalah tidak adanya proses pengecekan ulang antara narasumber satu dengan narasumber lainnya terkait informasi yang dibagikan dalam media sosial.
Media sosial juga telah memunculkan diskusi yang memanas tentang bagaimana jurnalis harus menggunakan media, terutama dihasilkan dari perselisihan norma media sosial dan norma jurnalisme tradisional. Sebagai pengguna media sosial, jurnalis tunduk pada pengaruh norma media sosial seperti pengungkapan kepribadian dan interaksi. Sebuah studi yang menganalisis tweet (posting Twitter) dari 500 jurnalis profesional paling banyak ditemui menemukan bahwa tweet mereka umumnya menyertakan tautan (42%), kisah kehidupan pribadi (20,2%), pendapat (15,7%), informasi dengan setidaknya satu unsur opini (27%), retweet (15,2%), dan diskusi (14,9%) (Lasorsa et al., 2012). Selain dari itu, kekurangan dari jurnalistik media sosial, diantaranya yaitu:
1. Informasi yang sudah lama dibuat ulang.
2. Tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya.
Sebagian besar artikel yang beredar di jejaring media sosial adalah artikel dengan judul yang tidak jelas, bombastis dan “murahan”. Sebagian besar artikel tersebut berisi informasi-informasi palsu yang asal dibagikan tanpa konfirmasi dan verifikasi. Pakar Media Sosial, Nukman Luthfie mengatakan, membagikan informasi-informasi palsu tersebut merupakan karakter masyarakat digital. Melalui situs http://buzzsumo.com, misalnya, bisa terpantau bagaimana peredaran berita-berita berjudul bombastis di media sosial. Bahkan, sebagian besar berita dengan judul tidak jelas banyak dibagi oleh portal-portal yang tidak jelas atau media abal-abal. (Kompas, 25 November 2016). Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara lainnya. Menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat beberapa waktu lalu, berita-berita yang paling banyak beredar di media sosial Amerika Serikat adalah berita abal-abal.
Minimnya literasi digital juga dialami negara maju yang masyarakatnya berpendidikan tinggi. Sekitar 59 persen konten yang dibagikan di media sosial tidak pernah di-klik atua dibuka, tetapi hanya dibaca sepintas lalu. Bahkan dengan kecenderungan ini, karena tuntutan bisnis media-media online mainstream akhirnya mengikuti arus dengan membuat berita-berita berjudul bombastis. Sementara itu, media-media online dengan konten-konten mendalam dan serius justru cenderung tidak laku dibaca. Terlebih, di dalam media sosial tidak ada prosedur penyaringan layaknya di media konvensional (arus utama) seperti koran, majalah, radio, dan televisi. Segala jenis konten langsung ditampilkan apa adanya, bahkan banyak yang telah dibumbui demi sensasi. Banjir informasi di media sosial mengarahkan netizen justru mencari konten yang membenarkan pemikirannya, bukan yang memberi sudut pandang berbeda.
Psikolog Sosial Universitas Indonesia, Roby Muhammad mengatakan media sosial mengerdilkan kemampuan seseorang melakukan kontestasi ide karena penalaran digunakan untuk mencari pembenaran, bukan kebenaran. Pendapat serupa dikemukakan peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan yang juga Psikolog Pendidikan Universitas Surabaya, Anindito Aditomo. Kurangnya kemauan untuk mencari verifikasi atas berita yang didapat di media sosial juga disebabkan kurangnya literasi digital. Minimnya sikap skeptis dan kritis selama ini mengakibatkan segala sesuatu ditanggapi secara emosional. Ekspresi di media sosial jauh lebih ekstrem daripada yang bisa diungkapkan secara langsung di depan umum karena tidak harus berhadapan dengan khalayak di dalam ruang fisik yang sama. Kemauan untuk menggali informasi lebih lanjut lebih penting daripada memiliki kemampuan analisis. (Kompas, 23 Desember 2016). Penyesuaian tersebut dilakukan dengan cara membuat media konvensional menjadi lebih interaktif, lebih instan, dan bisa menyampaikan informasi dengan cepat tanpa mengorbankan akurasi.
3. Artikel atau segala informasi yang dipublikasikan bisa saja masih dangkal dan tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Pengungkapan diri dan interaksi biasanya dikenal untuk membantu mencapai tujuan interpersonal daripada tujuan profesional. Perilaku media sosial tersebut dapat menghadirkan jurnalis sebagai orang yang baik dan ramah, tetapi pada saat yang sama, hal itu dapat dilihat sebagai pelanggaran profesionalisme yang secara tradisional mengharuskan jurnalis bersikap netral dan terpisah (Molyneux & Holton, 2014). Wartawan sosial-media-aktif cenderung menyimpang dari norma-norma tradisional (Hedman & Djerf-Pierre, 2013), dan audiensi dapat menganggap penyimpangan sebagai tanda tidak profesionalisme. Karena itu, Editor Publik New York Times Margaret Sullivan menyebut media sosial sebagai "pedang bermata dua" (Sims, 2013). Menurut teori pelanggaran harapan, penyimpangan dari norma tersebut dapat mengakibatkan konsekuensi negatif setidaknya dalam dimensi profesional. Menurut Gillin (2011), kemampuan jurnalis untuk berperilaku secara tidak memihak dianggap sebagai "keterampilan inti dari profesi" dan pelanggarannya menimbulkan keraguan tentang obyektivitas reporter di benak pembaca dan sumber. Karena norma obyektivitas masih merupakan fitur yang menentukan dari jurnalis profesional di AS dan Kanada (Ward, 2005), audiens dapat menerapkannya ketika mereka menilai jurnalis sebagai profesional sedangkan mereka menerapkan norma-norma media sosial umum untuk pengguna lain. Secara keseluruhan, kegiatan media sosial jurnalis cenderung menghasilkan persepsi audiens yang sangat berbeda dari jurnalis tergantung pada dimensi fokus, apakah itu dimensi pribadi atau dimensi profesional. Pada gilirannya, persepsi tersebut cenderung memengaruhi persepsi audiens terhadap produk berita jurnalis.
4. Mudah terjerat UU ITE.
Para jurnalis warga bisa saja menyalahgunakan kebebasan yang diberikan, dengan menyebarkan pornografi, penghinaan, berita bohong dan berita lainnya yang sifatnya negatif, tidak etis dan melanggar hukum.Jurnalis warga akan lebih mudah terjerat UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Bahkan, media-media arus utama yang menyediakan kanal jurnalisme warga pun tak mau bertanggungjawab apabila terjadi gugatan terhadap pemberitaan jurnalis warga. Ini artinya, resiko kriminalisasi terhadap jurnalis warga jauh lebih besar dibandingkan jurnalis pada media arus utama. Oleh karena itu, untuk mencetak jurnalis warga yang kapabel dan meminimalkan resiko hukum, pelatihan jurnalistik dan sosialisasi Kode Etik Jurnalistik perlu digalakkan. Dengan cara ini, diharapkan jurnalis warga tidak menyajikan berita bohong, bermuatan SARA, atau bermuatan pornografi. Sebaliknya, Kode Etik Jurnalistik mendorong jurnalis warga membuat berita yang berimbang, tidak subyektif, dan dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga kegiatan jurnalistik media sosial memberikan informasi-informasi yang sehat dan sesuai dengan tujuan kegiatan jurnalistik.
5. Maraknya fenomena clickbait.
Banyak judul berita yang berserakan di sirus-situs berita --dan di-share di media sosial-- berupa "clickbait" yang merupakan "bentuk terendah jurnalisme media sosial" (clickbait is the lowest form of social media journalism).
Mengerikan karena melabrak kaidah jurnalistik yang memihak kepada pembaca. Menyebalkan karena judul-judulnya dramatis, bombastis, dan sensasional layaknya jurnalisme koran kuning (yellow journalism).
Wartawan atau editor situs-situs berita saat ini banyak yang membuat judul berita seenaknya, sekenanya, dan semata-mata berorientasi "klik" --untuk memancing pembaca klik link berita. "Headline writing has long been considered a skill but, in the digital age, a new word has become synonymous with online journalism - clickbait," tulis BBC dalam "Clickbait: The changing face of online journalism". "Jurnalisme clickbait adalah sebuah kemunduran, kembali ke abad 19 " menurut A History of Clickbait: The First 100 Years. Jurnalisme clickbait ini muncul karena pengaruh Media Sosial. Studi tentang dampak media sosial terhadap jurnalisme atau media sudah banyak diulas, di antaranya Journalism in the Age Social Media dan Journalism in a New Era.
REFERENSI
Barns, S. B. (2006). A privacy paradox: Social networking in the United States. First Monday, 11( 9).
Diakses dari https://www.kompasiana.com/albertussalama/5d88e2b7097f361618690ff2/baca-asal-usul-perkembangan-media-dan-jurnalisme-online-di-dunia-dan-indonesia?page=3 pada 10 April 2020
Hedman, U., & Djerf‐Pierre, M. (2013). The social journalist: Embracing the social media life or creating a new digital divide?. Digital Journalism, 1( 3), 368– 385.
Hermida, A. (2013). #Journalism: Reconfiguring journalism research about Twitter, one tweet at a time. Digital Journalism, 1( 3), 295– 313.
Hikmat, Mahi M. 2018. Jurnalistik : Literaly Jurnalism. Jakarta Timur: Prenadamedia Goup
Lasorsa, D. (2012). Transparency and other journalistic norms on Twitter: The role of gender. Journalism Studies, 13( 3), 402– 417.
Molyneux, L., & Holton, A. (2014). Branding (Health) Journalism: Perceptions, practices, and emerging norms. Digital Journalism, (ahead‐of‐print), 1– 18.
Singer, J. B. (2005). The political j‐blogger ‘normalizing’ a new media form to fit old norms and practices. Journalism, 6( 2), 173– 198.
Wahyudin, 2016. Pengantar Jurnalistik Olahraga. Makasar
Ward, S. J. (2005). The invention of journalism ethics: The path to objectivity and beyond. Montreal, Que.: McGill‐Queen's University Press.
Widodo, Y. 2001. Modul Jurnalisme Online.
Trammell, K. D. (2005, May). Looking at the pieces to understand the whole: An analysis of blog posts, comments, and trackbacks. Paper presented at the 55th Annual Conference of the International Communication Association, New York, NY.
Di akses dari https://ayomenulisfisip.files.wordpress.com/2011/02/modul-jurnalisme-online.pdf pada 10 April 2020
Gillin, P. (April 20, 2011). Journalists and social media: How far is too far? [blog]. Retrieved from http://socialmediatoday.com/paulgillin/287878/journalists‐and‐social‐media‐how‐far‐too‐far
Hamna, Dian Muhtadiah (2017-05-01). "Eksistensi Jurnalisme Di Era Media Sosial". Jurnal Jurnalisa (dalam bahasa Inggris). 3 (1).
0 komentar