Jurnalistik Media Sosial: Selayang Pandang (1/2)
Sumber gambar: PNGitem |
Media sosial tumbuh secara drastis mewakili langkah lebih lanjut dalam kemunduran profesi dan etika jurnalisme yang sedang berlangsung. Garis-garis antara jurnalis profesional dan amatir telah kabur; akibatnya, struktur media berita telah banyak berubah yang memengaruhi sifat-sifat inti profesi dan etikanya. Fenomena ini telah menantang konsep jurnalisme yang sudah diperdebatkan sebagai profesi dan jurnalis sebagai profesional.
Jurnalistik media sosial dibidani jurnalistik daring (online), maka sebelum memasuki materi inti, penulis akan membahas jurnalistik daring sekilas. Jurnalistik daring merupakan jurnalis generasi ketiga berupa kegiatan jurnalistik dengan pelaporan fakta yang diproduksi dan didistribusikan melalui internet. Jurnalisme jenis ini ini merupakan perubahan baru atau media baru dalam ilmu jurnalistik dengan pemanfaatan media daring. Rupanya, terdapat perbedaan dengan jurnalistik konvensional yang hanya menampilkan teks dan gambar, karena jurnalistik daring ini dapat menampung berita teks, gambar, audio, dan bahkan video.
Jika dilihat dari runtutan sejarah, jurnalistik daring diprakarsai Universitas Florida, kemudian diikuti The New York Times yang mempublikasikan artikel pertamanya di web miliknya pada 8 Desember 1993 hingga kemunculan Yahoo pada April 1994. Sedangkan kemunculannya di Indonesia ditandai ketika media konvensional pertama yang memiliki portal daring yaitu Republika Online dan disusul oleh media tempo yaitu Tempo Interaktif yang sekarang berubah menjadi Tempo.co pada tahun 1994.
Pada tahun 2008 media daring dapat diakses dengan gadget. Hingga saat ini, media daring menjamur di internet dan menjadi sangat populer. Kemudian media juga berinovasi dan pengguna dimudahkan dalam mengakses informasi melalui media sosial secara cepat serta bebas.
Apa itu Jurnalistik Media Sosial?
Kegiatan jurnalistik sedang dalam kondisi fluks saat ini. Meskipun norma objektivitas masih hidup dan baik dalam buku teks, standar dan praktik jurnalisme tampaknya bergerak menjauh dari prinsip ketidakberpihakan dan detasemen yang ketat menuju paradigma baru transparansi dan keterlibatan publik dengan munculnya media baru, terutama media sosial (Hermida, 2013; Lasorsa, 2012).
Jurnalisme media sosial merupakan pelaporan berita yang dilakukan jurnalis melalui media sosial. Jurnalisme media sosial muncul karena khalayak sering mengakses media sosial. Para jurnalis mempublikasikan berita di media sosial supaya khalayak dapat menerima berita selagi mengakses media sosial.
Penggunaan media interaktif didorong tidak hanya oleh kebutuhan informasi (mis., Pengawasan) tetapi juga oleh utilitas sosial seperti ekspresi diri dan interaksi sosial (Trammell, 2005). Jurnalis sekarang dapat melakukan percakapan nyata dengan audiens mereka. Debat online juga telah dilakukan sehingga semua orang dapat mengekspresikan diri mereka–tentu saja ketika komentar diaktifkan. Komunikasi satu arah tradisional berubah menjadi percakapan dua arah. Media sosial telah memberi makna nyata pada apa itu kebebasan berbicara. Dalam sejarah, mengekspresikan diri tidak pernah semudah ini.
Pengguna media sosial memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk pengungkapan diri dibandingkan pengguna media lain, mereka tampaknya tidak terlalu khawatir tentang kemungkinan dampak negatif dari berbagi informasi pribadi mereka dengan pengguna lain. Pengaturan default Facebook seperti tampilan publik tentang pembaruan status dan komentar mendorong pengguna untuk mengungkapkan kepribadian dan aktivitas sehari-hari mereka melalui feed berita bersama mereka. Karena norma dipelajari dari mengamati perilaku orang lain, pengguna media sosial yang terpapar dengan konten pribadi orang lain cenderung mengikuti.
Salah satu media sosial yang progresif dalam pemberitaan adalah twitter. Twitter membantu jurnalis menemukan kutipan dan menghubungi orang-orang yang mungkin tidak pernah mereka temui secara langsung. Ini juga merupakan cara yang baik untuk mendapatkan berita-berita baru segera setelah itu terjadi. Terlebih dengan pemanfaatan kejadian yang sedang trending dengan tanda tagar “#” memudahkan jurnalis memproduksi berita sesuai keinginan khalayak.
Jurnalis menggunakan twitter secara pribadi untuk menunjukkan kepada penonton bahwa mereka adalah manusia. Ini meningkatkan kesukaan beberapa jurnalis dan memainkan peran kunci dalam bagaimana mereka berinteraksi dengan audiens mereka. Konvergensi antara kehidupan pribadi dan profesional, di Twitter misalnya, adalah tanda signifikan adopsi media sosial. Di media sosial, organisasi berita akan lebih mengenal pembaca mereka daripada dengan siaran pers, karena tersedia bagian komentar.
Adanya media sosial ini bisa juga memunculkan jurnalisme warga. Jurnalisme warga didefinisikan sebagai orang yang berbagi informasi kepada orang lain meskipun bukan seorang jurnalis.
Fenomena Jurnalistik Media Sosial di Indonesia
Media sosial telah membawa angin baru bagi dunia jurnalistik, bisa baik dan juga buruk. Adanya tren konvergensi yang marak, menuntut awak media berkemampuan multi tasking. Tak hanya perlu piawai menuangkan kabar yang sudah diverifikasi dengan rangkaian kata yang benar, runtut, dan sesuai standar etika jurnalistik, wartawan pun harus memiliki selera fotografi yang apik, membuat vlog, plus mengunggah konten ke jejaring media sosial. Kuantitas media yang besar berbanding lurus dengan ketatnya persaingan. Seiring dengan itu, membesar pula kebutuhan awak media sebagai mesin produksi.
Dengan beban multi tasking yang tak linear dengan tingkat remunerasi dan cepatnya pola rotasi antardesk, membuat awak media sosial serupa penumpang moda transportasi yang sedang transit. Baru menyesuaikan diri, sudah dituntut menghasilkan berita yang bernas, akurat, sekaligus menarik. Kekagetan tersebut tentu saja berakibatnya pada informasi yang disajikan karena belum memahami bidang liputan. Apakah hal tersebut masalah? Tidak juga selama mayoritas konsumen informasi di Indonesia pun hanya butuh informasi serupa kudapan crackers yang ringan, atau bahkan cukup remah crackers berupa news feed.
Riset konsumsi media terhadap 300 mahasiswa Gen-Z di 30 kampus se-Jakarta yang dilakukan Algooth Putranto, dosen ilmu komunikasi Unviersitas Bakrie, pada Juni 2017 menemukan bahwa pola konsumsi berita didominasi melalui penggunaan aplikasi tukar pesan seperti WhatsApp dan Line, maupun news feed yang disediakan Facebook dan Line Today. Bila pola konsumsi Gen-Z di Jakarta dianggap sebagai representasi pola konsumsi pembaca berita daring di Indonesia, maka dapat dimaklumi jenis berita yang harus diproduksi media sosial adalah berita ringan, cenderung remeh, dan sensasional.
Produk berita yang renyah tersebut akan menarik untuk dibagikan (viral) melalui media sosial maupun aplikasi tukar pesan. Riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2016 dan 2017 mendapati mayoritas penggunaan internet di Indonesia adalah untuk ngobrol (chatting) melalui media sosial. Maka tidak mengherankan bila isu di media sosial dengan media daring pun makin erat: media sosial adalah alat pemicu kabar (news-breaking tool). Hal yang jadi masalah, media massa kemudian memproduksi berita dengan hanya berdasarkan topik yang populer di media sosial dan mengabaikan fungsi jurnalisme dalam menyodorkan pembicaraan publik yang bermutu. Repotnya, informasi yang beredar melalui media sosial tersebut kemudian ditulis begitu saja sebagai berita oleh awak media yang kemudian dipercaya pembaca sebagai sebuah kebenaran untuk diviralkan.
Pertengahan Juli 2012 silam, tidak kurang dari 55 pemimpin redaksi dari sejumlah media berkumpul dan mendeklarasikan berdirinya Forum Pemred. Ketua Pengurus Harian Forum Pemred, Wahyu Muryadi menegaskan, forum yang dibentuknya bersama puluhan pemred media massa itu bebas dari berbagai kepentingan. Pemimpin Redaksi Tempo ini mengatakan, tantangan paling konkret Forum Pemred tersebut adalah bagaimana mengembalikan esensi jurnalisme, informasi berkualitas, dan pengabdian kepada publik yang menjadi tujuan akhir media-media. Pers yang bebas atau independen dari pengaruh kekuasaan, baik ekonomi maupun politik semakin sedikit dan pada akhirnya publik yang akan mengalami kerugian itu. (Kompas, 28 Juli 2012)
Kerugian timbul apabila pemberitaan yang muncul dari pelbagai outlet media sering tampil secara bias, mengesampingkan isu-isu penting untuk publik, tetapi mengedepankan kepentingan para pemilik media. Belum lagi isi media makin menghindar dari risiko menjadi jurnalisme yang baik, mengurangi upaya melakukan kerja jurnalisme investigasi. Media sosial yang muncul belakangan ini memang mengubah panorama jurnalisme di Indonesia, terutama yang menyangkut proses pengumpulan berita, proses pembuatan berita, dan proses penyebaran berita.
Dalam proses pengumpulan berita, sudah menjadi umum saat ini jika “status” yang ditunjukkan oleh para orang terpandang–ataupun orang orang yang biasa jadi narasumber–dalam aneka media sosial mereka bisa menjadi bahan, yang kemudian ditulis di media massa mainstream. Sementara itu, aneka “informasi” yang tersebar dalam jejaring media sosial juga sering menjadi informasi yang kemudian disebarkan oleh media massa mainstream. Dalam hal ini, jurnalisme warga memiliki ruang untuk beritanya makin tersebar, sedangkan dalam proses pembuatan berita, sekarang pun sudah menjadi sesuatu yang umum ketika media online yang menampilkan jurnalisme memberikan ruang komentar dari para pembacanya atas item berita yang mereka hasilkan. Dalam proses penyebaran berita, aneka tampilan media sosial dipergunakan baik oleh media itu sendiri maupun para pembacanya untuk meneruskan berita yang telah diproduksi. Di sini terlihat pembaca atau konsumen media yang memiliki perilaku senang berbagi dalam suasana media yang makin konvergensi. (Henry Jenkins, Convergence Culture: Where Old and New Media Collide, 2006 dalam Kompas, 24 September 2011).
Banyak pihak melihat jurnalisme dan media sosial sebagai sesuatu yang sedang popular dan perlu terus dipromosikan. Namun, tidak semua orang melihat kedua hal tersebut sebagai sesuatu yang saling menguntungkan. Robert G Pichard, misalnya dalam artikelnya di Nieman Reports (Musim Gugur, 2009) justru mempertanyakan manfaat dari media sosial terhadap perusahaan media secara umum. “Hanya karena teknologi itu popular untuk kalangan jurnalis dan penggunanya, itu bukan berarti penggunaan teknologi itu lalu menguntungkan perusahaan media secara keseluruhan”.
Kemudian, media sosial ibarat pedang bermata dua. Pengaruhnya bisa menjadi positif dan produktif, tetapi bisa juga negatif dan kontraproduktif. Media sosial yang memproduksi ujaran kebencian, menyebarkan informasi bohong, merupakan terorisme verbal yang menciptakan kekhawatiran dan ketidakpastian. Setelah 71 tahun merdeka, bangsa Indonesia memasuki euforia kebebasan berekspresi di media sosial. Presiden RI, Joko Widodo mulai mempertanyakan ujaran kebencian, adu domba yang merebak di media sosial. Jumlah pengguna internet di Indonesia hingga Juni 2015, mencapai 73 juta atau 28,5 persen dari penduduk Indonesia. Pengguna Facebook berjumlah 51.096.860 akun per 31 Desember 2012. Seiring dengan dinamika politik Indonesia, linimasa media sosial mulai merambah isu politik yang sangat rawan. Linimasa merupakan loncatan besar dalam demokrasi karena menciptakan ruang tanpa batas untuk mengekspresikan pandangan politik. Linimasa memotong hierarki informasi yang selama ini berjenjang.
0 komentar