Pemuda Berkarakter: Meredam Fenomena Televisi Perusak Moral

by - Agustus 06, 2018



Pesatnya perkembangan teknologi di era global berimplikasi pada beragam aspek kehidupan sehingga terjadi diferensiasi antara zaman milenial dan zaman sebelumnya, terutama mengenai pola pikir, pemenuhan kebutuhan, serta budaya bertahan hidup. Berdasarkan karakteristik tersebut, tugas kita bukan hanya memperbaiki kualitas diri sesuai tuntutan zaman tetapi juga mengupayakan Negara Indonesia dapat tetap eksis di kancah Internasional sehingga mampu mengikuti dinamika laju kehidupan global..

Mewujudkan keeksistensian Indonesia adalah tanggung jawab seluruh elemen masyarakat yang hidup di bumi pertiwi, terutama para kaula muda. Bung Karno pernah berujar, “Berilah aku sepuluh orang pemuda, maka akan aku guncangkan dunia.” Merujuk pada pernyataan tersebut mencerminkan bahwa kehadiran pemuda adalah hal yang sangat vital dan menjadi penentu masa depan negeri. Di tangan para pemudalah baik dan buruknya masa depan bangsa. Maka, kuantitas yang banyak harus diimbangi dengan kualitas yang mumpuni sehingga mampu mengembalikan lagi kejayaan Indonesia di dunia global.

Di era milineal ini, generasi muda dalam mewujudkan cita-cita bangsa tidaklah mudah karena dihadapkan beragam problematika. Negara ini kaya akan masalah. Persoalan yang lama belum selesai, namun yang baru datang bertubi-tubi. Sebut saja dekadensi moral, kemiskinan, pengangguran, KKN, narkoba, supremasi hukum, kesehatan, dan masih banyak lagi. Semua ini datang silih berganti seperti mata rantai yang tiada ujungnya.

Kondisi bangsa kita sekarang karena kurangnya kesadaran pemuda terhadap pentingnya bela negara terutama dalam penuntasan krisis moral. Permasalahan moral ini diperkeruh oleh hadirnya televisi dengan kualitas program siaran yang rendah. Televisi memiliki daya magis yang kuat untuk memengaruhi khalayak. Media informasi ini masih menjadi media utama bagi masyarakat sebagaimana survei Nielsen Consumer Media View (NCMV) yang menunjukkan bahwa penetrasi televisi mencapai 96 persen, di urutan kedua diikuti media luar ruangan, internet, radio, koran, dan tabloid/ majalah. Perhatian ini menjadi penting karena media bisa seperti dua mata pedang yang memberikan efek positif dan juga negatif. 

Berdasarkan hasil survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang dilaksanakan Komisi Penyiaran Islam (KPI) pada periode Januari-Maret 2018 lalu, diketahui bahwa jenis program infotainment, sinetron, dan variety show yang kerap merajai jam tayang televisi nasional mendapatkan rapor merah dengan perolehan skor pada kisaran 2,3-2,5. Konten ketiga jenis program tersebut belum berkualitas dan minim edukasi. Ini menjadi indikator bahwa kualitas program televisi Indonesia masih rendah.

Dewasa ini, televisi cenderung menyuguhkan tayangan-tayangan yang tidak mendidik, informasi hoax, berita propaganda, dan bahkan hanya mengedepankan kepentingan pemilik/ pengelola media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Jam tayang pun sering tidak sesuai pada tempatnya. Acara-acara hiburan yang disenangi anak-anak justru ditayangkan pada waktu-waktu untuk belajar dan ibadah umat Muslim. Kondisi program televisi Indonesia ini bertentangan dengan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran bahwa tujuan diselenggarakan penyiaran adalah untuk membentuk watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa serta mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Permasalahan utama dalam penyiaran Indonesia adalah kekurangseriusan pemerintah dalam menyikapi fenomena program televisi, mandulnya Komunikasi Penyiaran Indonesia sebagai regulator penyiaran, ketidaktaatan penyelenggara penyiaran di Indonesia terutama staisun televisi swasta yang beroperasi secara nasional, dan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap program telivisi yang tidak berkualitas. Ketidaktaatan pada regulasi utama media penyiaran adalah hulunya, yaitu pengabaian terhadap Undang Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Pemerintah, KPI, dan masyarakat harus bersinergi untuk mengatasi permasalahan ini karena dampaknya sangatlah fatal, terutama kepada anak-anak sebagai calon penerus bangsa.

Menghadapi masalah ini, peran pemuda sangatlah dibutuhkan. Pemuda dihadapkan pada dua pilihan antara menjadi gelembung atau gelombang. Keputusan dalam memilih ada di tangan masing-masing. Ketika memilih menjadi gelembung, maka pemuda akan mudah terombang-ambing (mengikuti arah angin, itu pun hanya angin yang lemah, jika angin yang kuat maka gelembung akan pecah) dan bila diam akan jatuh dan pecah. Pemuda yang seperti ini tidak memiliki prinsip dan tidak konsisten.
Pemuda yang seperti gelembung adalah mereka yang hanya mampu bersuara saja tanpa ada aksi nyata selanjutnya. Contohnya adalah mahasiswa yang melakukan petisi peniadaan program televisi yang minim edukasi. Aksi selesai dan buku agenda ditutup tetapi tidak ditemukan langkah pasti selanjutnya atau bahkan tidak melakukan apa-apa. Maka, apakah beruntung memilih menjadi gelembung?

Lain halnya ketika memutuskan untuk menjadi gelombang. Gelombang bersifat dinamis, ia selalu terus bergerak dan membersihkan di hadapannya. Di dalam gelombang terdapat energi yang begitu besar hingga mampu mengoyak kerasnya karang. Begitu pun halnya pemuda. Segala aspirasi yang dituntut adalah tahap pertama. Kemudian disiapkan rencana selanjutnya agar aspirasi tidak sebatas keinginan, seperti melakukan pengabdian masayarakat untuk mengedukasi tentang pentingnya filterisasai siaran televisi dengan sasaran utama anak-anak dibawah umur atau bahkan terjun langsung ke dalam dunia penyiaran dan meregulasi sistem yang tidak sesuai hukum. Kita harus memahami akan pesan Imam Ali bin Abi Thalib, “Kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisir”.

Pemuda yang memilih gelombang direpresentasikan sebagai generasi muda yang unggul. Mereka adalah jawaban dari segala tantangan yang sedang dihadapi. Sudah tentu dalam menyelesaikan permasalahan moralitas ini harus orang-orang pilihan kebanggaan Indonesia dengan karakter yang unggul. Generasi ini adalah yang memiliki godly character, kemandirian berfikir, kemampuan berkarya, dan spiritual discerment

Indikator godly character yaitu memiliki moralitas yang tinggi dan berakhlak pada multi latar. Pemuda harus menunjukan kesetiaannya kepada negara dengan moralitas tinggi. Mereka pun tahu bagaimana berakhlak kepada Sang Pencipta, dirinya, keluarga, masyarakat, dan bahkan lingkungan. Sehingga dalam menapaki kehidupan dipenuhi rasa tanggung jawab dengan pertimbangan bahwa segala tindakan yang dilakukan hari ini adalah akan dituai pada hari esok.

Sikap tanggung jawab tersebut akan melahirkan rasa kemandirian berfikir. Ukuran kemandirian berfikir yaitu selalu kritis atas persoalan yang dihadapi dan mampu menjawab persoalan tersebut. Kemandirian berfikir ini dimanifestasikan kepada kemampuan berkarya. Berkarya disini bisa berupa suatu produk seperti aplikasi smartphone untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan moral atau berupa pengabdian kepada masyarakat. Dengan pengabdian di masyarakat diharapkan bisa terjadinya perubahan menuju hal baik. Perubahan menjadi indikator suatu keberhasilan terhadap sebuah gerakan pemuda. Sehingga hasil dari perubahan ini dapat mencetak para tunas bangsa yang siap menghadapi masa depan.

Dalam melakukan perubahan, generasi unggul memiliki kesadaran bahwa segala ikhtiar yang dilakukan memiliki hubungan dengan “Sang Khalik” sehingga muncul spiritual discernment. Apapun yang dilakukan didasarkan atas keikhlasan beramal dan kebermanfaatan bagi orang banyak. Strategi “barokah” adalah wajib hukumnya bagi generasi ini dalam menjalankan perannya selaku agen perubahan. Dalam hidupnya, segala sesuatu diwujudkan dengan ikhtiar, dikuatkan dengan doa, dan mengenai interpretasi atas hasil dikembalikan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan penuh tawakal.

Dengan sinergisitas karakteristik di atas maka segala produk dari kemajuan teknologi di era globalisasi tidak lagi dipandang sebagai ancaman namun sebuah keuntungan karena dapat memudahkan untuk internalisasi nilai-nilai edukatif, agama, dan moral. Televisi bisa dijadikan untuk penyemaian nilai-nilai moral, internet untuk mengimbangi pemberitaan yang sarat akan adu domba yang memicu disintegrasi dengan artikel edukatif yang menekankan untuk pengembangan diri, dan kemajuan Iptek dimanfaatkan untuk eksplorasi sumber daya alam yang diolah generasi muda Indonesia yang mencapai taraf unggul untuk memaksimalkan tingkat kesejahteraan rakyat.  

Sudah waktunya dicari usaha ke arah tercapainya suatu sintesis, konvergensi, atau sinergisitas, sehingga dapat dicapai generasi yang membanggakan sebagaimana karakteristik yang telah disebutkan. Generasi muda yang unggul ini diharapkan mampu menaikkan derajat bangsa Indonesia di kancah global dan dapat berdaya saing dengan negara lain. Mewujudkan negara yang tetap eksis memanglah sulit, akan tetapi lebih sulit lagi mempertahankan keesksistensiannya. Maka dari itu, dibutuhkan tangan-tangan yang siap berkorban bagi negara dan menjadi generasi kebanggaan bangsa Indonesia. Gotong royong adalah budaya yang harus dimunculkan kembali, bahu membahu membangun negara Indonesia yang bermoral, maju, berdikari dan mampu mengikuti dinamika laju kehidupan global. Seorang aktivis pernah berkata, “Alone, we can do so little. Together, we can do so much.” 

You May Also Like

0 komentar