Ada perasaan yang sulit diberi nama—semacam lelah yang tak sepenuhnya fisik, dan sedih yang tak bisa dijelaskan dengan air mata. Rasanya seperti berjalan dalam kabut, tetap melangkah meski arah tak selalu jelas. Tidak ada yang benar-benar tahu beban yang dipanggul, karena ia terlalu terbiasa menyembunyikannya di balik senyum dan kesibukan. Tapi jauh di dalam diri, ada suara kecil yang terus berbisik lirih, “Sampai kapan mampu bertahan tanpa disadari?”
Ada waktu-waktu tertentu dalam tiap putaran hari yang terasa berbeda—bukan karena sesuatu yang baru, tapi justru karena polanya terlalu dikenal. Seperti musim yang datang tanpa kejutan, membawa angin yang akrab tapi tak pernah benar-benar hangat. Ada detak halus di dada yang perlahan mengencang, seolah tubuh sudah terlalu sering membaca tanda-tanda: hari-hari ini bukan lagi tentang menghitung waktu, tapi tentang menanti pesan yang isinya sudah bisa ditebak bahkan sebelum tiba.
Ia diam, seperti biasa. Tak mengeluh, tak menolak, hanya menerima. Bukan karena tak ingin bicara, tapi karena sudah terlalu sering kalimatnya gugur sebelum sempat dirangkai. Dalam sunyi, ia hanya menghela napas, menyelipkan doa yang entah untuk siapa—mungkin untuk dirinya sendiri, mungkin untuk mereka yang terus menaruh harap di pundaknya.
Sudah lama rasanya ia menjadi semacam tiang—kokoh dari luar, tapi kadang nyaris patah di dalam. Menjadi tempat bergantung yang tak pernah ditanya bagaimana rasanya menahan beban yang tak terlihat. Ia mengalir seperti sungai yang tak pernah menolak alirannya sendiri, meski bebatuan terus menggores dasarnya.
Kadang datang sepi yang menusuk, semacam sedih yang tak punya nama. Bukan karena lelah memberi, tapi karena ia tak pernah benar-benar dipeluk kembali. Kehadiran dirinya hanya terasa penting saat dibutuhkan, selebihnya hening. Tapi ia tahu, tak semua luka perlu diumbar, tak semua kecewa perlu diungkap.
Jauh di dalam, ada sisi kecil dalam dirinya yang tetap menyala—tak terang, tapi cukup untuk membuatnya terus berjalan. Sebab ia percaya, ada kekuatan dalam diam, ada kebaikan dalam bertahan, meski tak selalu dihargai. Ia memilih tetap menjadi pelindung, meski sering tak terlihat. Tetap menjadi penguat, meski tak pernah disebut.
Dan meskipun akhir-akhir ini ia merasa lututnya gemetar, langkahnya goyah, dan hatinya seperti tak kuasa berdiri, ia tetap mencoba menumbuhkan keikhlasan yang sederhana—bahwa memberi tak selalu harus disambut syukur, bahwa mencintai kadang tak mendapat tempat kembali. Ia tahu, keikhlasan bukan tentang tidak merasakan sakit, tapi tentang tetap memberi dengan tulus meski hati sedang retak. Ia akan tetap berusaha, selama mampu, menjadi versi terbaik dari dirinya yang tenang dan tak banyak bicara, karena ia percaya: kebaikan yang dijalankan dengan hati, takkan pernah sia-sia, meski tak ada yang melihatnya.