Belum usai kekhawatiran warga akan covid-19 yang menghantui kehidupan, rentetan aksi terorisme terjadi pada bulan Maret yang hanya berselang tiga hari saja. Pasangan suami istri melakukan tindakan terorisme dengan meledakan diri atau bunuh diri dengan bom di area luar Gereja Katedral, Makassar pada 28 Maret 2021. Selain itu, tindakan dugaan terorisme terjadi di Mabes Polri pada tanggal 31 Maret 2021 dimana seorang terduga teroris membawa senjata api masuk ke dalam area Mabes Polri dan menembakan senjata apinya beberapa kali.
Indonesia yang konon katanya adalah negeri berfalsafahkan Pancasila dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika mulai terganggu eksistensinya. Keberagaman yang satu, ditodong berbagai ideologi yang meresahkan dan tindakan yang mengerikan. Paham radikalisme menjadi bayang-bayang yang menjadi momok sejak lama. Aksi-aksi radikalisme muncul karena disebabkan oleh adanya sikap tidak menerima perbedaan. Perbedaan yang muncul di masyarakat dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap eksistensi kaum radikal.
Hulu dari radikalisme adalah fundamentalisme yaitu radikalisasi paham keagamaan komunitas yang mengkonstruksi makna salafisme radikal yang eksklusif dan cenderung ekstrim (merasa paling benar dan menyesatkan orang lain (Arifin, 2009). Adapun hilir dari radikalisme adalah aksi terorisme, yaitu paham mengenai pilihan penggunaan cara-cara kekerasan yang menimbulkan ketakutan dan ancaman (intangible threats) sebagai cara yang sah untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang biasanya mengatasnamakan suatu agama atau ideologi (Bakri, 2004).
Radikalisme hampir selalu disebabkan oleh faktor eksternal dan internal yang terjadi secara simultan sebagai faktor penentu terciptanya proses radikalisasi. Sedangkan fanatisme hampir selalu merupakan proses internal terciptanya keyakinan di dalam hati yang bahkan tidak terlalu membutuhkan rangsangan dari eksternal.
Masjid: Pusat Kontemplasi Menjadi Pusat Radikalisasi
Menurut teori sejarah dalam waktu, terdapat 4 hal, yaitu: (1) perkembangan, (2) kesinambungan, (3) pengulangan, dan (4) perubahan. Berkaitan dengan itu, teori sejarah mencakup: (1) teori spiral (2) teori kemajuan, (3) teori siklus. Maka, yang terjadi di Indonesia terorisme menunjukkan adanya perputaran (pengulangan) dan kadang-kadang ada perubahan dan variasi dalam penampilannya walaupun semuanya sebenarnya dari sisi definisi ada unsur yang tetap yang memberi ciri sama dari masa ke masa.
Nahasnya, perputaran aksi terorisme yang dilandasi cekokan paham radikalisme selalu bermuara di tempat yang sama sebagai pusat penyebarannya, yaitu masjid. Masjid yang secara fungsi seharusnya sebagai pusat kontemplasi, pusat ritual, dan pusat kajian dialihfungsikan oleh pihak-pihak yang memahami suatu ajaran hanya sebatas tekstual tanpa mendalami rahasia di balik dalil yang dibaca.
Dilansir dari CNN Indonesia (Patrick, 2018), Badan Intelijen Negara (BIN) mengungkap ada 41 dari 100 masjid di lingkungan kementerian, lembaga serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terindikasi telah terpapar radikalisme. Menurut Staf Khusus Kepala BIN, Arief Tugiman, terdapat tiga kategori tingkat paparan radikalisme dari 41 masjid tersebut. Pada kategori rendah ada 7 masjid, 17 masjid masuk kategori sedang, dan 17 masjid masuk kategori tinggi. Selain itu, Arief menjelaskan secara keseluruhan dari hasil pendataan BIN, ada sekitar 500 masjid di seluruh Indonesia yang terindikasi terpapar paham radikal.
Selain itu, PPIM UIN Jakarta melalui Penelitian Buletin Masjid Tahun 2019 menemukan 37 dari 100 masjid di Indonesia terindikasi menyebarkan buletin Jumat yang terafiliasi gerakan Islam radikal. Buletin tersebut cenderung menyuarakan paham ekstremisme yang mengarah pada pembahasan tentang hasrat membangun kembali negara dan masyarakat melalui dasar-dasar ajaran Islam tertentu.
Hal ini menjadi sebuah ironi yang perlu dengan sigap dikendalikan sesuai fungsi masjid itu sendiri. Semestinya, sebagai pusat kontemplasi, masjid dapat menjadi tempat bagi umat untuk menemukan dan menciptakan keindahan sehingga dapat memaknai secara mendalam arti sebuah nilai, makna, manfaat, dan tujuan atau niat suatu hasil penciptaan dari Yang Maha Kuasa, bukan justru malah menjadi pusat radikalisasi agama yang berujung saling mengkafirkan dan memborbardir ketenangan.
Urgensi Moderasi Beragama
Demi terwujudnya ketenangan, tentu memerlukan penguatan moderasi beragama karena tidak bisa dinafikan bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk dengan berbagai macam suku, bahasa, budaya dan agama. Indonesia juga merupakan negara yang agamis walaupun bukan negara berdasarkan agama tertentu.
Dalam konteks ini, perlu disadari bahwa aksi radikalisme dan terorisme yang kerapkali terjadi di Indonesia selalu diafiliasikan dengan agama Islam. Daripada mengkambinghitamkan agama yang dianut oleh teroris, lebih baik kejadian ini menjadi refleksi bagi internal umat beragama –tidak hanya agama Islam.
Dari segi tubuh Islam, perlu ditanamkan nilai-nilai Islam moderat. Moderasi Islam ini dapat menjawab berbagai problematika dalam keagamaan dan peradaban global. Yang tidak kalah penting bahwa muslim moderat mampu menjawab dengan lantang disertai dengan tindakan damai dengan kelompok berbasis radikal, ekstrimis, dan puritan yang melakukan segala halnya dengan tindakan kekerasan.
Dalam realitas kehidupan nyata, manusia tidak dapat menghindarkan diri dari perkara-perkara yang berseberangan. Karena itu, al-wasathiyyah Islamiyyah mengapresiasi unsur rabbaniyah (ketuhanan) dan insaniyyah (kemanusiaan), mengkombinasi antara maddiyah (materialism) dan ruhiyah (spiritualisme), menggabungkan antara wahyu dan akal, antara maslahah amah (al-jamaiyyah) dan maslahah individu (al-fardiyah) (Al-Mu'tasim, 2019).
Donor Dakwah: Moderasi Beragama ala Remaja Masjid
Berdasarkan urgensi moderasi beragama –khususnya moderasi Islam, penulis mengusung gerakan Donor Dakwah. Dari segi bahasa, donor dimaknai sebagai kegiatan mendonasikan sesuatu secara sukarela. Dakwah sebagai fenomena agama, lebih banyak dikaji dalam tataran ideal, normatif, dan tekstual dengan rujukan utama adalah Al-Qur’an. Sedangkan dakwah sebagai fenomena sosial lebih dititikberatkan kepada analisis yang berdasarkan paradigma atau perspektif pemikiran kekinian. Sebagai fenomena agama dan fenomena sosial, dakwah bertujuan terwujudnya kehidupan manusia yang Islami, (damai, selamat, sejahtera dan bahagia) dengan Islam selaku penyerahan diri secara mutlak kepada-Nya, dan memeluk Islam sebagai agama (peraturan hidup dari Tuhan) dengan terlebih dahulu beriman atau percaya kepada-Nya. Dengan demikian dakwah berkaitan dengan perubahan sosial, sehingga dakwah dapat pula disebut sebagai sebuah bentuk rekayasa sosial, dari satu generasi ke generasi lainnya secara berkesinambungan. Maka dari itu, kegiatan donor dakwah adalah kegiatan sukarela dengan mendonasikan nilai-nilai keislaman yang sarat akan kedamaian, keselamatan, dan kebahagiaan kepada umat Islam.
Dalam mensukseskan kegiatan tersebut, target utamanya adalah remaja masjid. Tak bisa dipungkiri, masa remaja adalah masa yang penuh kontradiksi. Sebagian orang mengatakan masa remaja adalah masa energik, heroic, dinamis, kritis, dan masa yang paling indah, tetapi ada pula yang menyebutnya bahwa masa remaja sebagai masa badai dan topan, masa rawan dan masa nyentrik karena masa tersebut berada di ambang the best of the worst of time. Selain itu, remaja masa kini adalah generasi empunya dunia digital. Beragam kegiatan yang bermigrasi ke dunia maya sudah dapat dikuasai. Maka dari itu, agar tidak terjadi kerusakan remaja dalam segi mental ataupun nilai-nilai yang akan dipegang, kelompok remaja masjid adalah wadah para remaja mengekspresikan dirinya untuk mengenali nilai-nilai keislaman lebih baik lagi.
Remaja masjid yang sudah diikat menjadi satu kesatuan, selanjutnya dibentuk dengan tiga program donor dakwah, yaitu:
1. Good Speaker Speaks Good (Pembicara Baik Berkata Hal Baik)
Sejak munculnya Islam, ajaran yang disemai pertama kali bersifat universal dan menjunjung tinggi toleransi. Kehadiran Islam menjadi rahmat bagi tanah yang dipijaki umat muslim. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, telah terjadi distorsi terhadap wajah Islam. Nahasnya, internal umat Islam sendirilah yang melakukan perusakan itu.
Wajah dakwah telah mengalami pergeseran, tidak sedikit, kegiatan dakwah yang dilakukan justru saling memperolok satu sama lain, merasa paling benar sendiri, tidak toleran, dan bahkan dengan semena-mena mencap bid’ah dan mengafirkan sesama muslim. Akibatnya, masyarakat yang tidak memahami secara menyeluruh tentang Islam, menilai wajah Islam sesuai apa yang sedang terjadi. Islam dipandang sebagai agama yang radikal, keras, dan tidak toleran.
Untuk sampai kepada keberhasilan dakwah, dai mesti melakukan dakwah Islam secara persuasif, yaitu: tidak memaksa, tidak merusak, dan tidak anarkis yang akan menjadikan mad’u menjauh dari dakwah. Sehingga dai perlu menangkap aspirasi, jati diri, dan motivasi mad’u-nya. Yang perlu adalah menyampaikan dengan bahasa emosi (rasa) dan fakta-fakta yang kuat (bashirah), dengan bahasa kaumnya (Bil Lisani Qawmih). Maka dakwah Islam dengan cara cinta damai dapat dilakukan oleh dai dengan komunikasi interpersonal untuk merubah pikiran, perasaan, dan perilaku mad’u untuk meyakini Islam dan melaksanakan keislaman dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Dalam program ini, remaja masjid dilatih dengan pendidikan public speaking dan juga berbagai teknik dakwah yang dapat menggaet banyak jamaah dengan menanamkan prinsip-prinsip komunikasi sebagaimana yang termaktub dalam Al-Quran. Prinsip-prinsip komunikasi Islam tersebut yaitu
(1) Qaulan Sadida, yaitu pembicaraan yang benar, baik dari segi substansi maupun redaksi sehingga dapat membangun suasana komunikasi yang kondusif dalam mencapai komunikasi yang efektif;
(2) Qaulan Baligha, berarti menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, dan langsung ke pokok masalah (straight to the point) atau tidak berbelit-belit sehingga berkesan dalam hati yang mendengarkannya;
(3) Qaulan Ma’rufa, artinya perkataan yang baik, ungkapan yang pantas sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat, dan tidak menyinggung perasaan atau dapat dimaknai pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan;
(4) Qaulan Karima, adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, dan bertatakrama;
(5) Qaulan Layyina, artinya pembicaraan yang lemah lembut, dengan suara yang enak didengar, penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati; dan
(6) Qaulan Maysura, merupakan ucapan yang mudah dimengerti oleh jamaah serta penuh empati (Ghazali, 1997).
Setelah mengikuti pelatihan secara intens, para remaja masjid nantinya dapat menjadi pembawa acara atau bahkan penceramah di berbagai kegiatan peringatan hari besar Islam yang dilaksanakan di masjid.
2. The Power of Writings (Kekuatan Tulisan).
Baru-baru ini, dilansir dari Kompas.com berdasarkan laporan Digital Civility Index (DCI) yang mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya, menunjukkan warganet atau netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara. Dengan kata lain, paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Dalam riset yang dirilis oleh Microsoft ini, tingkat kesopanan netizen Indonesia memburuk delapan poin ke angka 76, di mana semakin tinggi angkanya tingkat kesopanan semakin buruk. Ada tiga faktor yang memengaruhi risiko kesopanan netizen di Indonesia. Paling tinggi adalah hoaks dan penipuan yang naik 13 poin ke angka 47 persen. Kemudian faktor ujaran kebencian yang naik 5 poin, menjadi 27 persen. Dan ketiga adalah diskriminasi sebesar 13 persen, yang turun sebanyak 2 poin dibanding tahun lalu (Dewi, 2021).
Hal ini pun memperkeruh kenyataan yang dengan secara jelas menampilkan wajah media sosial di Indonesia yang disesaki beragam narasi-narasi yang mengusung semangat radikalisme. Para ‘pedagang ideologi’ dengan mudah memasarkan paham-pahamnya yang bertentangan dengan Islam di media sosial. Sehingga bukan hal asing, banyak yang saling mengafirkan dengan didasarkan kepada sesuatu yang bersifat tekstual, bukan kontekstual.
Berdasarkan fenomena tersebut, sangat jelas bahwa tulisan memiliki kekuatan yang luar biasa mengubah yang baik menjadi buruk. Maka dari itu, remaja masjid akan dibina untuk dapat membuat tulisan yang berdasarkan dalil-dalil dengan penjelasan secara gamblang serta dikorelasikan dengan fenomena aktual. Selain itu, memproduksi narasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai moderasi, keberagaman-kebhinekaan, semangat kebangsaan melalui media online dengan tahapan produksi, posting, reposting, sharing, dan broadcasting. Karena cara inilah yang lazim digunakan oleh pengelola ujaran kebencian di dunia maya.
Ruang untuk menyalurkan tulisan yang bernapaskan kedamaian tersebut dapat dipublikasikan melalui blog resmi ikatan remaja masjid. Hal ini merupakan upaya untuk bisa mewujudkan kampanye “One Mosque, One Blog”, sehingga dapat bersaing dengan berbagai blog yang menampilkan ujaran kebencian. Selain itu, agar bisa menyentuh masyarakat lapisan bawah dan juga golongan tua, remaja masjid perlu menerbitkan tulisan di blog menjadi sebuah bulletin yang dapat ditampilkan di majalah dinding masjid serta menyebarkan selebaran setiap hari Jumat. Maka, dengan semangat menulis secara konsisten, lambat laun narasi negatif akan digantikan narasi positif dari remaja masjid itu sendiri.
3. Mosque in Frame (Masjid dalam Bingkai)
Aktivitas dakwah pada masa kini tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional saja, namun dapat dilakukan melalui berbagai media. Bukan hanya melalui media cetak dan elektronik saja, tetapi juga dapat dilakukan melalui internet, salah satunya yaitu YouTube. Eksistensi YouTube yang ramai dikunjungi generasi saat ini menjadikannya sebagai posisi teratas dalam kategori video sharing yang paling popular (Media, 2009).
Revitalisasi media digital sebagai media dakwah Islam moderat harus gencar dilakukan untuk menekan radikalisme yang mulai menjalar ke berbagai kalangan. Gempuran ideologi radikal yang menjadikan akses internet sebagai medianya, terkesan sangat revolusioner karena sebarannya sangat pesat, serta efek keterpengaruhannya pada generasi muda yang mempunyai semangat beragama tinggi begitu melekat. Pada saat ideologi yang sering tidak mengindahkan dialog dan konfirmasi ini menjadi tren baru yang diminati, maka ormas atau kelompok Islam yang melakukan kampanye dan propagandanya di media online. Walaupun tidak bisa menghilangkan laju pemikiran yang terkesan keras itu, setidaknya mampu membendung agar pengaruhnya tidak semakin meluas.
Dalam program ini, remaja masjid mendapatkan pelatihan agar dapat membuat konten yang menarik dan bermanfaat dengan dibekali ilmu-ilmu pengambilan gambar dan juga content-creator. Hasil akhir yang diharapkan adalah terciptanya bibit-bibit “YouTuber” unggul yang dapat mengelola kegiatan kemasjidan yang ditransformasikan menjadi sajian video yang dapat disaksikan umat lintas wilayah.
Donor Dakwah dan SDGs
Kegiatan Donor Dakwah ini perlu diadakan secara masif dan konsisten oleh remaja masjid. Selebihnya, dapat ditunjuk kader masjid yang nantinya menjadi pusat informasi perihal perkembangan kegiatan donor dakwah yang berjalan. Jika hal ini dilakukan, maka bukan tidak mungkin kegiatan Donor Dakwah dapat menjamur ke berbagai masjid di pelosok negeri. Tentunya, memerlukan semangat gotong royong dengan berbagai komunitas, instansi, dan organisasi terkait.
Kesukesan kegiatan Donor Dakwah tidak hanya merupakan perwujudan semangat moderasi beragama, tetapi juga berdampak luas terhadap aspek lainnya, salah satunya dalah ketercapaian poin-poin Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs). TPB/ SDGs adalah pembangunan yang menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, pembangunan yang menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang menjamin keadilan dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya. Adapun yang berkorelasi dengan kegiatan Donor Dakwah adalah,
(1) Pendidikan Berkualitas, karena seperti yang diketahui bahwa mendapatkan pendidikan tidak hanya sebatas pelajaran yang disampaikan guru di sekolah formal saja, sejatinya kegiatan donor dakwah adalah upaya diseminasi wawasan yang bermanfaat agar terciptanya didikan yang berkualitas.
(2) Perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh. Kesuksesan Donor Dakwah akan membawa angin perdamaian ke segala penjuru karena aksi radikalisme lambat laun dapat direduksi dan digantikan dengan nilai-nilai kedamaian dan toleransi yang bernapaskan persatuan umat dalam keberagaman.