Dalam kebisuan dunia, perlahan aku ayunkan penaku untuk
mengenang masa laluku. Buku dan pena inilah yang menjadi saksi perjalanan cinta
kita. Lembaran demi lembaran diaryku, aku buka perlahan dan aku baca kata demi
kata dengan fasihnya. Tiba-tiba tanganku terhenti di salah satu lembaran yang
aku tandai dengan origami berbentuk hati. Ya, ini adalah dimana aku tuliskan
pertama kalinya aku bertemu dirimu dan pertama kalinya rangkaian hari ku
diiringi dengan penuh cinta dan suka cita.
Terpampang jelas disana “23 Desember 2011 Wulan dan
Fauzi”. Dan hari ini bertepatan dengan tanggal bersejarah itu “23 Desember 2013”.
Tapi, hari bersejarah yang aku peringati hari ini tidaklah seindah yang aku
bayangkan.
Dulu, aku ingin sekali setelah 2 tahun kita menjalin
kasih. Kita bisa menari di hamparan rumput hijau dan disekelilingnya dihias
Lampion indah. Di tempat itu, aku ingin kita saling berbagi kasih, kita bisa
tertawa dan bercerita sepuasnya dan menghiraukan derasnya sungai. Tapi, kini
semua angan-anganku hanyalah angin yang hampa, tiada berarti dan tidak akan
terjadi. Kini, hari-hariku tidak ditemani dirimu, hanya buku, pena, dan anganku
yang menemaniku.
“Mungkin, disana engkau sedang memperhatikan dan tersenyum
kepadaku. Mungkin juga, engkau sedang sedih, karena kini aku bukanlah aku yang
sesungguhnya” Lirihku sambil menatap langit-langit kamar.
23 Januari 2012, itu juga adalah tanggal bersejarah.
Tanggal itu yang telah memisahkan kita, tanggal itu juga yang membuat kita tak
bisa berbagi kisah lagi. Padahal seminggu sebelum itu, kita bertemu. Walau
kejadian itu terjadi 1 tahun yang lalu, tapi aku akan tetap mengenang kejadian
itu…
Waktu itu, Ku awali pagiku dengan senyum yang
sesungguhnya. Langkahku dipenuhi dengan rasa bahagia. Bagaimana tidak, seminggu
lagi adalah hari Anniversary-ku dengan kekasihku, Fauzi yang ke-1 tahun.
“ hmmm. Tida terasa, seminggu adalah hari Anniversary antara
aku dan kamu pangeranku..” Gumamku dalam hati sembari mengelus lembut fotomu.
Hari ini, aku dan dia akan bertemu di taman kesukaan
kita, taman itu pulalah yang mengikatkan cinta kita.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku cepat pulang dan
cepat-cepat aku ganti pakaian dan langsung bergegas pergi ke taman itu.
Ku lihat jam tangan pemberianmu, jarum jamnya menunjukkan
pukul 19.10 WIB.
“ aaaa, udah telat nih. Kan janjiannya aku ketemuan sama
dia jam 7 malem. Aaaa, gara-gara amang angkotnya nih ngetem mulu!” Gerutuku
dengan wajah kesal.
Tak lama, aku pun akhirnya sampai juga di taman itu.
Cepat-cepat aku ke taman itu, di setiap sisi jalan taman dipenuhi lampion
beragam warna dan banyak bunga mawar yang indah dan disela-sela bunga mawar itu
ada tulisan dengan Styrofoam “ Wulan
Fauzi “
“ Emm, dia memang hebat membuat aku nge-Fly. Tidak salah
aku memilihmu Fauzi, pangeran dunia akhiratku. “ Gumamku dalam hati sambil
meneruskan langkahku agar sampai di kolam air mancur yang berada di
tengah-tengah taman ini.
Langkah demi langkah aku iringi dengan senyuman bahagia
yang terus aku luapkan. Tak lama, aku sampai di tengah-tengah taman ini. Aku
lihat, kolam ini semakin indah dengan lampion dan warna lampu yang menghiasai
air mancur ini. Tapi…
“ Loh? Dia mana? Apakah dia belum sampai disini? Apakah
dia lupa?” Tanyaku dalam hati.
Aku mencari-cari dia, seisi taman aku itari. Tapi, aku
belum juga melihat dia. Ya, ada satu tempat yang belum aku periksa, yaitu pohon
besar yang berada di pinggir taman ini.
Aku cepat pergi ke tempat itu. Tapi.. Setelah aku lihat.
Tubuhku dari ujung kepala hingga ujung kaki tiba-tiba lemah tak berdaya.
Senyuman yang aku ukir pun runtuh. Air mata tidak bisa dibendung, dia keluar
dengan penuh kekecewaan dan kebencian. Ya, aku melihat kekasihku sedang becanda
gurau dan saling berpelukan dengan kawanku sendiri, Lia. Mereka berdua begitu
asyik becanda gurau. Sesekali, Fauzi mengelus rambut kawanku itu. Mulutku hanya
ternganga tidak percaya akan semua itu. Air mata ini terus mengalir tanpa
henti. Ku coba berkata, namun gagu tiba-tiba menjamahiku. Satu kata pun tak
kuasa aku keluarkan.
Aku akhirnya hanya bisa berdiri lemas, bak patung lilin
yang sedang menonton pertunjukan FTV di depan mataku secara nyata. Hingga
akhirnya, Fauzi melihatku. Lalu dia menghampiriku bersama Lia dibelakangnya.
Kebencian telah merasukiku, aku pun berlari secepat mungkin untuk menghindar
darinya.
“ Wulan! Jangan lari, tunggu! Tunggu Wulan! “ Teriak
fauzi sambil mengekoriku dari belakang.
Aku pun berhenti di tengah taman. Tapi, air mata ini tak
ikut berhenti.
“ Wulan.. “ Lirih fauzi.
Aku tak kuasa menjawabnya, hanya tangisan lah yang
menjawab kekecewaanku.
“ Wulan, Happy Anniversary buat kita yah. Tidak terasa
kita sudah satu tahun menjalin kasih, baik dalam suka maupun duka… “ Ucapnya.
Aku hanya bisa mengangguk, karena air mata ini tak
mengizinkan aku berbicara.
“ Wulan.. Aku tau, kamu kecewa kan, setelah kamu melihat
aku dengan Lia kawanmu bersama. Wulan, sebenarnya aku ingin jujur, sepertinya…
“ Hentinya dan kini aku lihat air matanya mengalir.
“ Sepertinya apa? Hah‼…” Tiba-tiba kata-kata itu kaluar
dari mulutku dengan nada tinggi dan kekecewaan.
“ Wulan, sepertinya hubungan kita tidak bisa dilanjutkan
lagi. Ini semua bukan tanpa alasan, dan alasan ini akan kamu ketahui nanti.
Bukan sekarang “ Lanjutnya dan tampaknya dia tidak bisa membendung tangisannya.
“ Apa?! Jadi kamu menyuruhku supaya kita bisa bertemu
hanya untuk mendengarkan kata-kata ini? Jadi semua hiasan taman ini kamu
berikan supaya aku merasa fly lalu kau jatuhkan begitu saja?! Kamu tidak
merasakan apa yang aku rasakan? REMUK‼Kamu juga Lia! Dasar kawan yang hanya
bisa menusuk dari belakang! Kalian tau kan sampah jalanan? Kalian lebih rendah
darinya! “ Kemarahanku tak terhankan.
“ Wulan, aku tau kamu sakit. Tapi alasannya bukan Lia,
tapi… “ Ucapnya terhenti.
“ Jangan banyak alasan! Aku sudah tidak sudi mendengarkan
semua alasan darimu, aku menyesal kenal denganmu. Aku kira engkaulah orang yang
terbaik untukku, nyatanya tidak! “ Marahku padanya lalu aku meninggalkan mereka
berdua.
Aku berlari dengan sekuat tenaga, hati ini sudah tersayat
dan kepedihan sedang aku rasakan. Sepanjang jalan, lariku diiringi tangisan kesedihan
dan entah alam ikut sedih, hujan pun turun dengan lebat. Aku berlari dan
menangis diantara butiran air yang berjatuhan. Hujan ini akan menjadi saksi
sedihku.
Sesampainya di rumah, aku langsung cepat-cepat pergi ke
kamar. Aku tidak mau orangtuaku tau akan kesedihanku.
Cepat aku duduk di sudut kamarku, aku duduk didepan meja
tempat aku berkeluh kesah dan tempat aku mencurahkan kebahagiaanku. Tapi, kini
cerita duka yang aku bawa ke meja ini. Ku buka buku diaryku, ku goreskan tinta,
rangkaian bahasa kalbu aku curahkan disini, disetiap tulisan ini dihujani air
mata. Dan kini, buku inilah yang menjadi saksi kesedihanku.
Hari demi hari kulewati dengan dirundung pilu, kejadian
itu masih terbenak di pikiranku. Kring…Kring… Fauzi menelponku. Luka ini masih
belum terobati, tak berpikir panjang aku reject
panggilannya itu. Walau bertubi-tubi telpon darinya, aku reject tanpa penyesalan. Penyesalanku kini terinjak oleh rasa
sakitku.
Tepat tanggal 22 Desember 2012, esoknya merupakan hari
jadiku dengan Fauzi. Tapi, kata maaf belum bisa aku keluarkan.
Tok-tok-tok..
“ Assalamu’alaikum.”
Suara itu, aku ingat suara itu. Ya, itu suara Fauzi. Mau
apa dia kemari? Ini kan sudah malam? Semua pertanyaan itu menyeruat di dalam
lubuk hati ini. Aku pun hanya bisa mendengarkan suaranya dibalik kamarku.
“ Eh, nak fauzi. Silahkan masuk nak. “ Sapa ibuku yang
membukakan pintu.
“ Iya bu, gak usah bu. Lagian cuman sebentar bu. Maaf bu,
Wulannya ada? “ Tanyanya
“ Ada nak, bentar yah ibu panggilkan dulu.. Wulan‼ Ada
Fauzi nih “ Jawab ibuku.
Deeeeg, ibu memanggilku. Aku hela nafas sejenak dan..
“ Suruh dia pulang saja bu! Aku tidak mau bertemu
dengannya‼ Sepertinya yang dia butuhkan bukan aku! Tapi Lia! Suruh dia pulang
bu! “ Balasku dengan nada tinggi.
“ Eh Wulan! Gak boleh gitu, cepat temui Fauzi dulu.. “
Jawab ibuku.
“ Gak apa-apa bu kalo Wulan gak mau ketemu, gak apa-apa.
Tapi bu, tolong berikan ini ke Wulan ya bu. Sampaikan salam ku buatnya bu.. “
Ucapnya dengan suara lirih, tapi aku masih bisa mendengarnya.
“ Iya nak, maaf yah. Mungkin Wulan lagi gak enak badan. “
Jawab ibuku sambil meminta maaf akan ketidaksopanan anak perempuannya ini.
“ Ya udah bu, saya pamit pulang dulu. Asalamu’alaikum. “
Pamit Fauzi kepada ibuku.
“ Wa’alaikumsalam. “
Tidak lama setelah itu, ibuku membuka pintu kamarku.
“ Kamu kenapa sih Wulan? Kok gitu sama Fauzi? Gak boleh
gitu ah, gak baik. Kalo ada masalah, bicarakan baik-baik. Nih dari Fauzi.. “
Tanya ibuku, lalu dia menyodorkan sebuah kotak yang telah dibungkus kertas kado
merah jambu.
“ Iya bu.. “ Balasku.
Kado pemberian Fauzi ini tidak aku buka, aku tidak sudi
membukanya. Aku cepat tidur untuk menghilangkan rasa kantuk ini dan
menghiraukan pemberian Fauzi.
Kring…kring… Bunyi tanda panggilan Handphoneku itu membangunkanku.
Aku pun mengangkatnya.
“ Ya? Ini sama siapa ya? “ Tanyaku dengan kantuk berat.
“ Wulan? Ini Wulan? “ Tanya-Nya
“ Ya, ini saya sendiri. Anda siapa? “ Jawabku dengan
wajah bingung.
“ Wulan ini kakaknya Fauzi! Wulan, cepat kamu kesini.
Fauzi ingin ketemu dengan kamu! Cepat sekarang juga kesini! “ Jelasnya dengan nada
seperti orang yang dirundu kecemasan
Tut..tut..tuuuuuuuuut…
Telpon dari dia pun ditutup. Aku makin bingung, kenapa
dengan Fauzi? Apa dia sakit?. Pertanyaan-pertanyaan itu mengitari pikiranku. Ku
lihat jam dinding, dan jarum jamnya tepat pukul 00.00, satu detik lagi adalah
tanggal 23 Desember 2013, hari jadiku dengan Fauzi. Tak berfikir panjang, aku
pamit ke ibu dan aku langsung bergegas pergi ke rumah Fauzi.
Setelah hampir sampai di gangnya, aku melihat didepan gang-nya,
ada bendera kuning yang melambai-lambai.
“ Siapa yang meninggal? Fauzi? Ah tidak mungkin, buktinya
tadi dia masih bisa ke rumah dan dia masih terlihat sehat atau ibunya atau
kakaknya yang tadi menelpon? “ Dalam hati aku bertanya dan suudzhon ini tidak
bisa aku tahan.
Aku pun mulai penasaran dengan bendera kuning yang
berkibar di gang ini. Langkahku aku percepat agar cepat sampai di rumah Fauzi.
Tiba-tiba, langkahku terhenti setelah melihat ada bendera
kuning juga di rumah Fauzi. Dalam hati bertanya, “Siapa yang meninggal?? Apa jangan-jangan
Fauzi??” tanyaku ini mulai menyeruat kembali dan semakin besar rasa
penasaranku.
Tanpa pikir panjang, aku berlari masuk ke rumah Fauzi.
Dan… Kaki yang menopang runtuh, ketegaran yang ku punya rapuh dan rasa kecewa
itu pupus. Duggg… Kakiku runtuh tak kuasa menahan melihat seseorang yang
diselimuti kain sarung batik dan dibagian kepala ditutup kain putih. Kini,
tangisan ku runtuh tak tertahankan. Perlahan, aku buka kain putih yang menutupi
wajah seseorang yang terbaring tak bernyawa dibaliknya. Setelah kubuka, aku
berpapasan dengan wajah pria idamanku, penyemangat hidupku, dan pangeranku
terbaring tak berdaya. Badannya dingin, wajahnya pucat, nadinya-pun tak
berdenyut kembali. Tangisan ini makin runtuh dan makin menjadi. Tak kuasa akau
menahannya…
“ Tuhan‼ Kenapa kau harus secepat ini mengambil nyawa
seseorang yang aku cintai?! Kenapa tuhaaaaan? Kenapa bukan aku? Kenapa?! … “
Jeritku dengan tangisan yang tak kunjung henti.
“ Sudah Wulan sudah… “ Kata ibu Fauzi sambil mengelus
rambutku dengan air mata yang masih mengalir.
Aku pun mulai tahan tangisan ini, walau tak dapat
berhenti mengalir. Setidaknya, kini aku bisa menahan amarah kesedihanku. Kini,
hanya penyesalan yang menjamahiku. Penyesalan ini mengiringi tangisan akan
kepergianmu.
“ Fauzi… Semoga kau tenang disana “ Lirihku sambil
menutup kain putih itu kembali.
Waktu yang ditunggu telah tiba, kini waktunya kekasihku
tidur tenang di kasur warna coklat yang keras dan hanya beralaskan kain putih
yang dikenakan. Mau tidak mau, aku pun harus bisa mengikhlaskan kepergiannya.
Tanah demi tanah, mulai membebani ragamu. Semakin banyak
tanah yang di buang, semakin tidak terlihat ragamu.
“ Fauzi.. Harusnya hari ini kita bisa memperingati hari
jadi kita yang ke-1 tahun, namun tuhan belum mengizinkan kita untuk lebih lama
lagi merangkai hari dengan penuh rasa cinta. Tapi tuhan tau, apa yang terbaik
untuk kita.. “ Gumamku dalam hati sambil menatap langit biru.
Kini engkau telah tidur tenang disana. Tapi, ada satu
yang masih mengganjal. Yaitu, alasan engkau memutuskanku dan engkau lebih
memilih kawanku, Lia. Aku tak canggung untuk bertanya semua itu kepada kakak
Fauzi perihal itu semua.
“ Wulan, andai kamu tau saja. Dia memutuskanmu bukan
karena dia memilih Lia.. “ Ceritanya terhenti karena air mata yang mengalir.
“ Ia memutuskanmu, karena dia mengidap penyakit Kanker
stadium akhir. Dan penyakit itu telah menjamahinya sejak dulu, jauh sebelum
mengenalmu. “ Lanjutnya
“ Apa? Kenapa dia tidak cerita? “ Kagetku
“ Ia tak mau melihat kamu sedih akan penyakitnya. Dia
ingin semua orang tersenyum karena-Nya, dia tidak mau orang-orang sedih dan iba
akan penyakitnya. “ Jelasnya
“ Tapi, bagaimana dengan Lia? “ Tanyaku
“ Asal kamu tau saja, Lia itu pura-pura menjadi pacar
Fauzi, dan itu permintaan Fauzi. Dia terpaksa melakukan itu, karena dia tidak
ingin sampai kamu tau akan penyakitnya. Lalu dia pun menjauh, dengan perantara
pura-pura pacaran dengan Lia. “ Jelasnya sambil mengusap air matanya yang tidak
terasa jatuh kembali.
Aku hanya bisa terdiam mendengar semua penjelasan dari
kakak Fauzi. Air mataku roboh lagi untuk kesekian kali. Haru ini tak kunjung
henti.
Aku pun kembali teringat akan kado pemberiannya, aku
bergegas ke rumah dan aku buka kado pemberiannya. Aku buka perlahan dengan
cucuran air mata. Setelah kubuka, ada boneka beruang merah jambu yang
bertuliskan LOVE di tengahnya, disampingnya ada coklat, mawar, dan kepingan CD.
Aku bingung, ini CD apa? Lalu aku play
CD ini. Setelah aku play. Ternyata
isinya itu, Dia menyanyikan lagu kesukaanku, yaitu lagu dari penyanyi terkenal Whitney
Houston, yaitu I Will Always Love You. Kau nyanyikan lagu itu dengan gitar
kesukaanmu, dan kau nyanyikannya tanpa cacat sedikit pun. Dan setelah selesai
menyanyikan lagu itu, engkau memberikan kata-kata indah yang mampu membuat aku
sedih.
“ Wulan, I LOVE YOU. Maaf untuk semua kesalahanku, terima
kasih untuk semuanya sayang. Karena mu aku bisa kuat menghadapi penyakit yang
aku derita dan karena mu aku masih bisa lewati perjalanan hidup ini. Mungkin,
setelah kamu melihat video ini, aku sudah tenang di alam sana sayang. Jaga
dirimu baik-baik. I will always love you…” Rangkain kata indah ini kau ucapkan
dengan senyuman khas mu yang berlesung pipi.
“ Iya sayang, aku juga berterima kasih untuk semuanya “
Lirihku sambil mengusap air mata yang membasahi pipi ini.
Walaupun engkau tidak buka-bukaan perihal penyakit dan
tentang Lia, tapi sekarang aku sudah mengerti. Kini aku tau seperti apa hati
Fauzi. Bagiku, engkau adalah malaikat yang bersembunyi dibalik topeng manusia.
Hatimu bak mutiara laut terdalam Fauzi.. Terima kasih sudah menempatkan aku di
hatimu, dan aku akan selalu menempatkan engkau di hatiku.
Engkau mengajarkan aku seperti apa itu arti cinta,
seperti apa arti kesetiaan, dan seperti apa cinta sejati yang sesungguhnya.
Terima kasih Fauzi, engkau telah mengiringi perjalanan hidupku untuk selama
ini. Karena mu hidupku berwarna, karena mu mendung menjadi cerah, karena kejora
tak canggung memancarkan sinarnya, dan karena mu hidupku lebih berarti.
Di sela doaku, namamu selalu ku sebut, kupanjatkan doa
untukmu. Aku hanya bisa berharap. Semoga kita bisa dipertemukan di Surga nanti.
Amiin..
Oktober 2014