Arti Kesetiaan

by - Juli 25, 2015



Dalam kebisuan dunia, perlahan aku ayunkan penaku untuk mengenang masa laluku. Buku dan pena inilah yang menjadi saksi perjalanan cinta kita. Lembaran demi lembaran diaryku, aku buka perlahan dan aku baca kata demi kata dengan fasihnya. Tiba-tiba tanganku terhenti di salah satu lembaran yang aku tandai dengan origami berbentuk hati. Ya, ini adalah dimana aku tuliskan pertama kalinya aku bertemu dirimu dan pertama kalinya rangkaian hari ku diiringi dengan penuh cinta dan suka cita.
            
Terpampang jelas disana “23 Desember 2011 Wulan dan Fauzi”. Dan hari ini bertepatan dengan tanggal bersejarah itu “23 Desember 2013”. Tapi, hari bersejarah yang aku peringati hari ini tidaklah seindah yang aku bayangkan.
           
Dulu, aku ingin sekali setelah 2 tahun kita menjalin kasih. Kita bisa menari di hamparan rumput hijau dan disekelilingnya dihias Lampion indah. Di tempat itu, aku ingin kita saling berbagi kasih, kita bisa tertawa dan bercerita sepuasnya dan menghiraukan derasnya sungai. Tapi, kini semua angan-anganku hanyalah angin yang hampa, tiada berarti dan tidak akan terjadi. Kini, hari-hariku tidak ditemani dirimu, hanya buku, pena, dan anganku yang menemaniku.
            
“Mungkin, disana engkau sedang memperhatikan dan tersenyum kepadaku. Mungkin juga, engkau sedang sedih, karena kini aku bukanlah aku yang sesungguhnya” Lirihku sambil menatap langit-langit kamar.
           
23 Januari 2012, itu juga adalah tanggal bersejarah. Tanggal itu yang telah memisahkan kita, tanggal itu juga yang membuat kita tak bisa berbagi kisah lagi. Padahal seminggu sebelum itu, kita bertemu. Walau kejadian itu terjadi 1 tahun yang lalu, tapi aku akan tetap mengenang kejadian itu…
            
Waktu itu, Ku awali pagiku dengan senyum yang sesungguhnya. Langkahku dipenuhi dengan rasa bahagia. Bagaimana tidak, seminggu lagi adalah hari Anniversary-ku dengan kekasihku, Fauzi yang ke-1 tahun.
            
“ hmmm. Tida terasa, seminggu adalah hari Anniversary antara aku dan kamu pangeranku..” Gumamku dalam hati sembari mengelus lembut fotomu.
            
Hari ini, aku dan dia akan bertemu di taman kesukaan kita, taman itu pulalah yang mengikatkan cinta kita.
            
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku cepat pulang dan cepat-cepat aku ganti pakaian dan langsung bergegas pergi ke taman itu.
            
Ku lihat jam tangan pemberianmu, jarum jamnya menunjukkan pukul 19.10 WIB.
            
“ aaaa, udah telat nih. Kan janjiannya aku ketemuan sama dia jam 7 malem. Aaaa, gara-gara amang angkotnya nih ngetem mulu!” Gerutuku dengan wajah kesal.
            
Tak lama, aku pun akhirnya sampai juga di taman itu. Cepat-cepat aku ke taman itu, di setiap sisi jalan taman dipenuhi lampion beragam warna dan banyak bunga mawar yang indah dan disela-sela bunga mawar itu ada tulisan dengan Styrofoam “ Wulan    Fauzi “
            
“ Emm, dia memang hebat membuat aku nge-Fly. Tidak salah aku memilihmu Fauzi, pangeran dunia akhiratku. “ Gumamku dalam hati sambil meneruskan langkahku agar sampai di kolam air mancur yang berada di tengah-tengah taman ini.
           
Langkah demi langkah aku iringi dengan senyuman bahagia yang terus aku luapkan. Tak lama, aku sampai di tengah-tengah taman ini. Aku lihat, kolam ini semakin indah dengan lampion dan warna lampu yang menghiasai air mancur ini. Tapi…
            
“ Loh? Dia mana? Apakah dia belum sampai disini? Apakah dia lupa?” Tanyaku dalam hati.
            
Aku mencari-cari dia, seisi taman aku itari. Tapi, aku belum juga melihat dia. Ya, ada satu tempat yang belum aku periksa, yaitu pohon besar yang berada di pinggir taman ini.
            
Aku cepat pergi ke tempat itu. Tapi.. Setelah aku lihat. Tubuhku dari ujung kepala hingga ujung kaki tiba-tiba lemah tak berdaya. Senyuman yang aku ukir pun runtuh. Air mata tidak bisa dibendung, dia keluar dengan penuh kekecewaan dan kebencian. Ya, aku melihat kekasihku sedang becanda gurau dan saling berpelukan dengan kawanku sendiri, Lia. Mereka berdua begitu asyik becanda gurau. Sesekali, Fauzi mengelus rambut kawanku itu. Mulutku hanya ternganga tidak percaya akan semua itu. Air mata ini terus mengalir tanpa henti. Ku coba berkata, namun gagu tiba-tiba menjamahiku. Satu kata pun tak kuasa aku keluarkan.
            
Aku akhirnya hanya bisa berdiri lemas, bak patung lilin yang sedang menonton pertunjukan FTV di depan mataku secara nyata. Hingga akhirnya, Fauzi melihatku. Lalu dia menghampiriku bersama Lia dibelakangnya. Kebencian telah merasukiku, aku pun berlari secepat mungkin untuk menghindar darinya.
           
“ Wulan! Jangan lari, tunggu! Tunggu Wulan! “ Teriak fauzi sambil mengekoriku dari belakang.
            
Aku pun berhenti di tengah taman. Tapi, air mata ini tak ikut berhenti.
           
“ Wulan.. “ Lirih fauzi.
            
Aku tak kuasa menjawabnya, hanya tangisan lah yang menjawab kekecewaanku.
            
“ Wulan, Happy Anniversary buat kita yah. Tidak terasa kita sudah satu tahun menjalin kasih, baik dalam suka maupun duka… “ Ucapnya.
            
Aku hanya bisa mengangguk, karena air mata ini tak mengizinkan aku berbicara.
            
“ Wulan.. Aku tau, kamu kecewa kan, setelah kamu melihat aku dengan Lia kawanmu bersama. Wulan, sebenarnya aku ingin jujur, sepertinya… “ Hentinya dan kini aku lihat air matanya mengalir.
            
“ Sepertinya apa? Hah‼…” Tiba-tiba kata-kata itu kaluar dari mulutku dengan nada tinggi dan kekecewaan.
            
“ Wulan, sepertinya hubungan kita tidak bisa dilanjutkan lagi. Ini semua bukan tanpa alasan, dan alasan ini akan kamu ketahui nanti. Bukan sekarang “ Lanjutnya dan tampaknya dia tidak bisa membendung tangisannya.
            
“ Apa?! Jadi kamu menyuruhku supaya kita bisa bertemu hanya untuk mendengarkan kata-kata ini? Jadi semua hiasan taman ini kamu berikan supaya aku merasa fly lalu kau jatuhkan begitu saja?! Kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan? REMUK‼Kamu juga Lia! Dasar kawan yang hanya bisa menusuk dari belakang! Kalian tau kan sampah jalanan? Kalian lebih rendah darinya! “ Kemarahanku tak terhankan.
            
“ Wulan, aku tau kamu sakit. Tapi alasannya bukan Lia, tapi… “ Ucapnya terhenti.
           
“ Jangan banyak alasan! Aku sudah tidak sudi mendengarkan semua alasan darimu, aku menyesal kenal denganmu. Aku kira engkaulah orang yang terbaik untukku, nyatanya tidak! “ Marahku padanya lalu aku meninggalkan mereka berdua.
            
Aku berlari dengan sekuat tenaga, hati ini sudah tersayat dan kepedihan sedang aku rasakan. Sepanjang jalan, lariku diiringi tangisan kesedihan dan entah alam ikut sedih, hujan pun turun dengan lebat. Aku berlari dan menangis diantara butiran air yang berjatuhan. Hujan ini akan menjadi saksi sedihku.
            
Sesampainya di rumah, aku langsung cepat-cepat pergi ke kamar. Aku tidak mau orangtuaku tau akan kesedihanku.
            
Cepat aku duduk di sudut kamarku, aku duduk didepan meja tempat aku berkeluh kesah dan tempat aku mencurahkan kebahagiaanku. Tapi, kini cerita duka yang aku bawa ke meja ini. Ku buka buku diaryku, ku goreskan tinta, rangkaian bahasa kalbu aku curahkan disini, disetiap tulisan ini dihujani air mata. Dan kini, buku inilah yang menjadi saksi kesedihanku.
            
Hari demi hari kulewati dengan dirundung pilu, kejadian itu masih terbenak di pikiranku. Kring…Kring… Fauzi menelponku. Luka ini masih belum terobati, tak berpikir panjang aku reject panggilannya itu. Walau bertubi-tubi telpon darinya, aku reject tanpa penyesalan. Penyesalanku kini terinjak oleh rasa sakitku.
            
Tepat tanggal 22 Desember 2012, esoknya merupakan hari jadiku dengan Fauzi. Tapi, kata maaf belum bisa aku keluarkan.
            
Tok-tok-tok..
            
“ Assalamu’alaikum.”
           
 Suara itu, aku ingat suara itu. Ya, itu suara Fauzi. Mau apa dia kemari? Ini kan sudah malam? Semua pertanyaan itu menyeruat di dalam lubuk hati ini. Aku pun hanya bisa mendengarkan suaranya dibalik kamarku.
            
“ Eh, nak fauzi. Silahkan masuk nak. “ Sapa ibuku yang membukakan pintu.
“ Iya bu, gak usah bu. Lagian cuman sebentar bu. Maaf bu, Wulannya ada? “ Tanyanya
“ Ada nak, bentar yah ibu panggilkan dulu.. Wulan‼ Ada Fauzi nih “ Jawab ibuku.
            
Deeeeg, ibu memanggilku. Aku hela nafas sejenak dan..
            
“ Suruh dia pulang saja bu! Aku tidak mau bertemu dengannya‼ Sepertinya yang dia butuhkan bukan aku! Tapi Lia! Suruh dia pulang bu! “ Balasku dengan nada tinggi.
“ Eh Wulan! Gak boleh gitu, cepat temui Fauzi dulu.. “ Jawab ibuku.
“ Gak apa-apa bu kalo Wulan gak mau ketemu, gak apa-apa. Tapi bu, tolong berikan ini ke Wulan ya bu. Sampaikan salam ku buatnya bu.. “ Ucapnya dengan suara lirih, tapi aku masih bisa mendengarnya.
“ Iya nak, maaf yah. Mungkin Wulan lagi gak enak badan. “ Jawab ibuku sambil meminta maaf akan ketidaksopanan anak perempuannya ini.
“ Ya udah bu, saya pamit pulang dulu. Asalamu’alaikum. “ Pamit Fauzi kepada ibuku.
“ Wa’alaikumsalam. “ 

Tidak lama setelah itu, ibuku membuka pintu kamarku.

“ Kamu kenapa sih Wulan? Kok gitu sama Fauzi? Gak boleh gitu ah, gak baik. Kalo ada masalah, bicarakan baik-baik. Nih dari Fauzi.. “ Tanya ibuku, lalu dia menyodorkan sebuah kotak yang telah dibungkus kertas kado merah jambu.
“ Iya bu.. “ Balasku.
            
Kado pemberian Fauzi ini tidak aku buka, aku tidak sudi membukanya. Aku cepat tidur untuk menghilangkan rasa kantuk ini dan menghiraukan pemberian Fauzi.
            
Kring…kring… Bunyi tanda panggilan Handphoneku itu membangunkanku. Aku pun mengangkatnya.
            
“ Ya? Ini sama siapa ya? “ Tanyaku dengan kantuk berat.
“ Wulan? Ini Wulan? “ Tanya-Nya
“ Ya, ini saya sendiri. Anda siapa? “ Jawabku dengan wajah bingung.
“ Wulan ini kakaknya Fauzi! Wulan, cepat kamu kesini. Fauzi ingin ketemu dengan kamu! Cepat sekarang juga kesini! “ Jelasnya dengan nada seperti orang yang dirundu kecemasan
            
Tut..tut..tuuuuuuuuut…
            
Telpon dari dia pun ditutup. Aku makin bingung, kenapa dengan Fauzi? Apa dia sakit?. Pertanyaan-pertanyaan itu mengitari pikiranku. Ku lihat jam dinding, dan jarum jamnya tepat pukul 00.00, satu detik lagi adalah tanggal 23 Desember 2013, hari jadiku dengan Fauzi. Tak berfikir panjang, aku pamit ke ibu dan aku langsung bergegas pergi ke rumah Fauzi.
            
Setelah hampir sampai di gangnya, aku melihat didepan gang-nya, ada bendera kuning yang melambai-lambai.
            
“ Siapa yang meninggal? Fauzi? Ah tidak mungkin, buktinya tadi dia masih bisa ke rumah dan dia masih terlihat sehat atau ibunya atau kakaknya yang tadi menelpon? “ Dalam hati aku bertanya dan suudzhon ini tidak bisa aku tahan.
           
Aku pun mulai penasaran dengan bendera kuning yang berkibar di gang ini. Langkahku aku percepat agar cepat sampai di rumah Fauzi.
            
Tiba-tiba, langkahku terhenti setelah melihat ada bendera kuning juga di rumah Fauzi. Dalam hati bertanya, “Siapa yang meninggal?? Apa jangan-jangan Fauzi??” tanyaku ini mulai menyeruat kembali dan semakin besar rasa penasaranku.
            
Tanpa pikir panjang, aku berlari masuk ke rumah Fauzi. Dan… Kaki yang menopang runtuh, ketegaran yang ku punya rapuh dan rasa kecewa itu pupus. Duggg… Kakiku runtuh tak kuasa menahan melihat seseorang yang diselimuti kain sarung batik dan dibagian kepala ditutup kain putih. Kini, tangisan ku runtuh tak tertahankan. Perlahan, aku buka kain putih yang menutupi wajah seseorang yang terbaring tak bernyawa dibaliknya. Setelah kubuka, aku berpapasan dengan wajah pria idamanku, penyemangat hidupku, dan pangeranku terbaring tak berdaya. Badannya dingin, wajahnya pucat, nadinya-pun tak berdenyut kembali. Tangisan ini makin runtuh dan makin menjadi. Tak kuasa akau menahannya…
            
“ Tuhan‼ Kenapa kau harus secepat ini mengambil nyawa seseorang yang aku cintai?! Kenapa tuhaaaaan? Kenapa bukan aku? Kenapa?! … “ Jeritku dengan tangisan yang tak kunjung henti.
“ Sudah Wulan sudah… “ Kata ibu Fauzi sambil mengelus rambutku dengan air mata yang masih mengalir.
            
Aku pun mulai tahan tangisan ini, walau tak dapat berhenti mengalir. Setidaknya, kini aku bisa menahan amarah kesedihanku. Kini, hanya penyesalan yang menjamahiku. Penyesalan ini mengiringi tangisan akan kepergianmu.
            
“ Fauzi… Semoga kau tenang disana “ Lirihku sambil menutup kain putih itu kembali.
            
Waktu yang ditunggu telah tiba, kini waktunya kekasihku tidur tenang di kasur warna coklat yang keras dan hanya beralaskan kain putih yang dikenakan. Mau tidak mau, aku pun harus bisa mengikhlaskan kepergiannya.
            
Tanah demi tanah, mulai membebani ragamu. Semakin banyak tanah yang di buang, semakin tidak terlihat ragamu.
            
“ Fauzi.. Harusnya hari ini kita bisa memperingati hari jadi kita yang ke-1 tahun, namun tuhan belum mengizinkan kita untuk lebih lama lagi merangkai hari dengan penuh rasa cinta. Tapi tuhan tau, apa yang terbaik untuk kita.. “ Gumamku dalam hati sambil menatap langit biru.
            
Kini engkau telah tidur tenang disana. Tapi, ada satu yang masih mengganjal. Yaitu, alasan engkau memutuskanku dan engkau lebih memilih kawanku, Lia. Aku tak canggung untuk bertanya semua itu kepada kakak Fauzi perihal itu semua.
            
“ Wulan, andai kamu tau saja. Dia memutuskanmu bukan karena dia memilih Lia.. “ Ceritanya terhenti karena air mata yang mengalir.
“ Ia memutuskanmu, karena dia mengidap penyakit Kanker stadium akhir. Dan penyakit itu telah menjamahinya sejak dulu, jauh sebelum mengenalmu. “ Lanjutnya
“ Apa? Kenapa dia tidak cerita? “ Kagetku
“ Ia tak mau melihat kamu sedih akan penyakitnya. Dia ingin semua orang tersenyum karena-Nya, dia tidak mau orang-orang sedih dan iba akan penyakitnya. “ Jelasnya
“ Tapi, bagaimana dengan Lia? “ Tanyaku
“ Asal kamu tau saja, Lia itu pura-pura menjadi pacar Fauzi, dan itu permintaan Fauzi. Dia terpaksa melakukan itu, karena dia tidak ingin sampai kamu tau akan penyakitnya. Lalu dia pun menjauh, dengan perantara pura-pura pacaran dengan Lia. “ Jelasnya sambil mengusap air matanya yang tidak terasa jatuh kembali.
            
Aku hanya bisa terdiam mendengar semua penjelasan dari kakak Fauzi. Air mataku roboh lagi untuk kesekian kali. Haru ini tak kunjung henti.
            
Aku pun kembali teringat akan kado pemberiannya, aku bergegas ke rumah dan aku buka kado pemberiannya. Aku buka perlahan dengan cucuran air mata. Setelah kubuka, ada boneka beruang merah jambu yang bertuliskan LOVE di tengahnya, disampingnya ada coklat, mawar, dan kepingan CD. Aku bingung, ini CD apa? Lalu aku play CD ini. Setelah aku play. Ternyata isinya itu, Dia menyanyikan lagu kesukaanku, yaitu lagu dari penyanyi terkenal Whitney Houston, yaitu I Will Always Love You. Kau nyanyikan lagu itu dengan gitar kesukaanmu, dan kau nyanyikannya tanpa cacat sedikit pun. Dan setelah selesai menyanyikan lagu itu, engkau memberikan kata-kata indah yang mampu membuat aku sedih.
            
 Wulan, I LOVE YOU. Maaf untuk semua kesalahanku, terima kasih untuk semuanya sayang. Karena mu aku bisa kuat menghadapi penyakit yang aku derita dan karena mu aku masih bisa lewati perjalanan hidup ini. Mungkin, setelah kamu melihat video ini, aku sudah tenang di alam sana sayang. Jaga dirimu baik-baik. I will always love you…” Rangkain kata indah ini kau ucapkan dengan senyuman khas mu yang berlesung pipi.
            
“ Iya sayang, aku juga berterima kasih untuk semuanya “ Lirihku sambil mengusap air mata yang membasahi pipi ini.
            
Walaupun engkau tidak buka-bukaan perihal penyakit dan tentang Lia, tapi sekarang aku sudah mengerti. Kini aku tau seperti apa hati Fauzi. Bagiku, engkau adalah malaikat yang bersembunyi dibalik topeng manusia. Hatimu bak mutiara laut terdalam Fauzi.. Terima kasih sudah menempatkan aku di hatimu, dan aku akan selalu menempatkan engkau di hatiku.
            
Engkau mengajarkan aku seperti apa itu arti cinta, seperti apa arti kesetiaan, dan seperti apa cinta sejati yang sesungguhnya. Terima kasih Fauzi, engkau telah mengiringi perjalanan hidupku untuk selama ini. Karena mu hidupku berwarna, karena mu mendung menjadi cerah, karena kejora tak canggung memancarkan sinarnya, dan karena mu hidupku lebih berarti.
            
Di sela doaku, namamu selalu ku sebut, kupanjatkan doa untukmu. Aku hanya bisa berharap. Semoga kita bisa dipertemukan di Surga nanti. Amiin..

Oktober 2014

You May Also Like

0 komentar