Sumber gambar: favim.com |
Malam yang sendu. Kudopang dagu di jendela kayu yang mulai menunjukkan tanda-tanda hendak roboh. Sembari memandangi alam luar, perlahan kata demi kata dalam surat dari sekolah kuelus penuh iba.
“Apakah aku bisa membulatkan kata “Ya” di surat ini?” lirihku.
“Pasti bisa a.” Wanita paruh baya menjawab dengan yakin.
***
“A, ayo bangun, biar nanti gak telat” Tak satu dua kali Ibu berkata sambil menggoyang-goyang tubuhku.
“Iya Bu..” Jawabku yang masih diselimuti kantuk.
Seperti biasa, subuhku berbeda dengan anak-anak seusiaku. Televisi di ruang tengah tak pernah sempat dinyalakan untuk menonton acara-acara yang acapkali teman-temanku bicarakan di sekolah. Ingin sebenarnya duduk manis di hadapan tv sembari melahap beberapa suap nasi, atau mungkin selembar roti berpadu susu dan meses seperti orang-orang gedongan. Apa boleh buat, garisku tak selurus teman-temanku. Namun, aku selalu yakin garis yang tak karuan mondar mandir, kelak akan menjadi lukisan yang indah dan sempurna.
Kusingsingkan lengan bajuku agar tak terjamah alat dan bahan perang yang siap kukendalikan. Piring, sendok, baskom, dan bumbu kacang sudah sedia menerima ratusan bulatan cilok. Iya, inilah ‘teman-temanku’ yang selalu mencegatku untuk leha-leha menekan tombol-tombol remot tv.
“A, udah berapa bungkus?” ibu sedikit berteriak dari arah dapur.
“Baru dua puluh bu..” kujawab sambil menghitung kembali kantong plastik yang sudha berisi cilok tersebut. Kalau salah perhitungan, malah rugi yang kudapatkan.
“Kalau gitu, sekarang makan nasi kuning dulu. Ibu sudah siapkan di atas meja, lalu kamu bergegas ke sekolah, nanti terlambat seperti waktu itu..”
“Iya Bu..” dengan cekatan satu per satu bungkus cilok kutata di dalam tas. Aku berhati-hati sekali dengan hal ini, takut kejadian saat itu terulang kembali yang akibatnya aku terlambat masuk sekolah dan dihukum Pak Budi, bagian kesiswaan sekolahku.
***
“Mang, kok angkotnya bau?” celetuk seorang wanita sambil menutup hidungnya dengan kerudung.
“Ah masa sih neng, angkot saya bersih kok. Baru saja kemarin si kumpay dicuci” jawab supir angkot sambil membela kendaraan kesayangannya, buktinya diberi nama olehnya.
Saat itu aku belum mencium bau sebagaimana wanita tersebut cium. Kucoba mendikte hidungku ke berbagai tempat, dan melihat bawah sepatuku, khawatir menginjak kotoran kucing.
“Iya mang bau, tapi kayaknya bau bumbu masakan” saut penumpang lainnya.
Aku terperanjat, jangan-jangan ada bungkus cilokku yang pecah. Aku tidak terlalu khawatir dengan baunya, yang kutakutkan adalah buku-bukuku dilumat bumbu. Bisa-bisa hasil kerja PR ku rusak dan tak bisa kusetorkan ke guru.
Suasana angkot menjadi sedikit gaduh. Banyak yang risih dengan baunya. Supir angkot pun terkena imbasnya, terus menerus diteror keluhan para penumpang. Aku yang merasa salah pun bingung harus melakukan apa. Terlebih orang di sebelahku sepertinya sudah mengetahui di mana sumber kegaduhan ini.
“Kiri payun mang,” mau tak mau, inilah jalanku agar tidak merugikan orang lain, terlebih supir angkot yang boleh jadi akan kehilangan para penumpang.
Lima menit lagi gerbang akan ditutup, sementara aku masih di pinggir jalan menunggu angkot yang tak kunjung datang. Kalau pun ada, penuh sesak oleh para penumpang. Aku terus mondar mandir, alih-alih supaya tidak terlalu stress karena sudah pasti akan dihukum, malah membuat kecemasanku semakin bertambah. Pada akhirnya, aku mendapat tumpangan angkot, ya walaupun harus duduk di bibir pintu yang akan membuat tanganku pegal menopang badan agar tidak jatuh.
Sesampainya di sekolah, gelengan kepala Pak Budi menyambut keterlambatanku. Aku hanya tertunduk dan pasrah menerima hukuman.
“Tumben kamu terlambat, Aji,” Pak Budi terheran.
“Eh iya pak, maaf, tadi ada sedikit insiden dengan barang dagangan saya,” kepalaku masih tertunduk, antara malu dan takut.
“Sebagai hukumannya, sekarang kamu cepat menghadap Bu Nani di ruang guru”
“Maaf pak, kenapa?” ku dongakkan kepala dan mengernyitkan dahi.
“Tidak apa-apa, Bu Nani ingin beli cilok kamu. Kalau menunggu bel istirahat, selalu kehabisan katanya” senyum Pak Budi kembali tersungging.
“Oh iya pak baik, saya ke sana.” Kuraih tangan Pak Budi untuk menyalaminya dan bergegas ke ruang guru menemui Bu Nani.
***
“Waktu istirahat akan dimulai lima menit lagi” suara yang senantiasa memberi senyum dan membuat wajah para siswa kembali cerah setelah lelah bertempur melawan mata pelajaran. Mereka berhamburan ke berbagai tempat yang telah dipikirkan sebelumnya, ada yang ke kantin, perpustakaan, ruang guru, dan musala.
Aku pun tak kalah senangnya mendengar suara itu, namun bedanya jika teman-temanku sibuk menyetorkan uang ke kantin, sedangkan aku sibuk mengambil uang dari mereka. Sama-sama sibuk, tapi orientasinya berbeda.
Kelas demi kelas aku ketuk sambil sedikit teriak, “Barade cilokna?” Ada yang menjawab dengan ucapan atau anggukan, tak sedikit juga yang tak menghiraukan. Sedikit dongkol jika tak ada balasan, tapi ya namanya juga berjualan, penolakan adalah hal lumrah.
Semua kelas aku kunjungi, tak akan kubiarkan orang-orang tak mencicipi kenikmatan cilok buatan ibuku, atau dalam hal lain aku tak akan membiarkan uang-uang kabur dan malah sampai di lapak dagangan orang lain. Tak lupa, ruang guru pun aku datangi. Sempat merasa takut dan malu, tapi ketakutanku terhadap ketidaktercapaian target yang sedang aku perjuangkan menutupi ketakutan itu. Aku sangat senang dengan sambutan para guru yang baik, terlebih Bu Nani. Pelanggan setia yang tak pernah tertinggal untuk membeli cilok. Mungkin, bisa dikatakan Bu Nani ini peri cilok untukku. Ia tak hanya membeli, tetapi juga menawarkan ke rekan-rekannya dengan kalimat-kalimat persuasif yang mampu membuat luluh hingga memborong daganganku. Bersyukur sekali bisa kenal dan akrab dengan Bu Nani.
Sebelumnya aku telah menjelaskan bahwa berdagang kali ini sedikit berbeda, ada target yang perlu dicapai. Maka dari itu, semangatku berjualan dimaksimalkan selama sebulan penuh. Bangun sebelum ayam berkokok, kelimpungan dengan tugas sekolah yang semakin menumpuk hingga akhirnya mau tidak mau tugas sekolah selalu kukerjakan di perpustakaan setelah tugas diumumkan menjadi aktifitas baruku.
Lelah? Tentu. Seringkali ingin menempati posisi teman-temanku yang mengisi waktu istirahat sekolah untuk benar-benar istirahat. Jajan di kantin sekolah, menggoda adik kelas yang parasnya bak bidadari, atau bahkan sekadar membicarakan film yang baru tayang pada malam sebelumnya. Ingin sesekali menjadi mereka. Tak perlu berjuang hingga lelah untuk mendapatkan rupiah.
Semakin mengiba pada diri sendiri, malah semakin membuatku tidak bersyukur. Lambat laun aku lupakan ekspektasi fatamorgana tersebut. Aku selalu ingat peribahasa sohor, “berakit-rakit dahulu, berenang-renang ketepian”. Selalu kujadikan pedoman dalam segala usaha yang sedang aku upayakan. Mengeluh pun tak ada gunanya, lebih baik memaksimalkan segala usaha, bukan?
***
“A, sini..” ibuku memanggil dari kamarnya.
“Iya bu, bentar ini tanggung,” cepat-cepat aku selesaikan membungkus cilok dan bergegas ke kamar ibu.
“Serahkan surat ini ke bagian kesiswaan ya, udah ibu lingkari kata ‘Ya’,” ibu menyodorkan surat yang tak asing bagiku.
“Bu, beneran?” Aku kaget tak percaya.
“Iya a,” ibu membalas dengan senyum ketika melihat anaknya berkaca-kaca kegirangan.
“Makasih ya Bu, aa janji bakal lebih giat jualan lagi, biar bisa dapet uang banyak dan segala kebutuhan bisa terpenuhi.” Kupeluk ibu dengan erat cukup lama hingga tak sadar waktu memaksaku untuk berangkat sekolah.
“Alhamdulillah kalau gitu. Sekarang cepat siap-siap, nanti kamu kesiangan.” Ibu melepaskan rangkulan, lalu mengelus rambutku. Aku melihat mata ibu berbinar-binar, dalam hati aku ‘kegeeran’, mungkin ibu bangga dengan anaknya yang mau berusaha mendapatkan sesuatu dengan jerih payahnya sendiri. Hehe..
***
Hari yang ditunggu telah tiba. Hasil keringatku terbayarkan dengan kontan. Sesuatu yang kuidam-idamkan dapat terpenuhi. Jika dulu aku hanya bisa melihatnya di internet tentang kemegahan dan keseruan orang-orang bermain di dalamnya, kini secara nyata aku merasakan apa yang telah orang lain rasakan. Monumen raksasa bertuliskan “Dufan” terpampang di gerbang utama. Wahana permainan ini menjadi favorit setiap sekolah sebagai destinasi studytour menawarkan banyak arena permainan yang seru dan menantang. Teriakan ketakutan terdengar di setiap penjuru. Aku melihat dengan jelas bagaimana wajah mereka yang ketakutan saat dilempar ke angkasa, berputar dengan cepat, atau dibawa kereta rollercoaster dengan melesat. Seriang ini hatiku dibuatnya.
***
“Udah ceritanya?” tanya ibuku setelah mendengarkan banyak celotehku tentang wahana yang ada di Dufan.
“heheh udah bu,” aku sedikit canggung dan malu, sepertinya terlalu banyak kata yang dilontarkan mulutku ini. Maklum, baru pertama kali main ke kota.
“Jadi, pelajaran apa yang bisa aa ambil?”
“Cilok adalah penyelamatku, hahaha” aku dan ibu tertawa memecah keheningan.
“ehh, yang bener dong ah..”
“Aa belajar, hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha, dan kalau mau mendapatkan sesuatu harus berjuang, terlebih aa itu laki-laki, sudah seharusnya bisa memenuhi kebutuhan yang masih bisa diusahakan, kalau meminta terus ke ibu dan ayah, nanti kesusahan, apalagi sekarang ayah lagi kerja merantau demi kita. Aku senang bisa menikmati wahana permainan setelah berjibaku dengan wahana perjuangan, kini semakin bisa memaknai lebih dalam lagi tentang proses.” Aku menjawab dengan serius, sepertinya cilok membuat kepribadianku lebih dewasa.
“Anak pintar, betul sekali nak. Jangan lupa juga untuk terus senantiasa berdoa ya. Jangan lengah dalam doa, jangan lelah dalam usaha, dan jangan lalai dalam tawakal. Kita tidak akan tahu doa yang mana dan usaha yang keberapa yang akan terkabul, tugas kita hanya memperbanyak. Dan aa harus selalu ingat, tak seorang pun dapat mencapai kesuksesan, tanpa kesediaan untuk berkorban. Jangan berhenti sampai di sini ya untuk terus berusaha meraih apa yang diinginkan.” Nasehat ibu begitu membekas di hati dan membuatku untuk terus memaksimalkan segala usaha saat berproses. Aku beruntung dididik ayah dan ibu hebat sehingga bisa menaklukkan wahan permainan hidup yang sarat akan perjuangan.