[Resensi] Menjelajahi Korelasi Dunia Filsafat dan Kajian Keislaman
Judul : Filsafat Ilmu: Pendekatan Kajian Keislaman
Penulis : Dr. Abdul Chalik
Penerbit : Arti Bumi Intaran
Cetakan : Agustus 2015
Tebal : 184 halaman
ISBN : 978-602-7731-57-8
Harga : - (e-book pdf)
Sebelum berbicara mengenai filsafat ilmu, penulis buku yang juga merupakan dosen tetap di UIN Sunan Ampel ini mengajak pembaca untuk mengenal pondasi dari ilmu itu sendiri, yaitu alam. Gagasan tentang hukum alam adalah fundamental bagi sains. Jika hukum yang digagas masingmasing mereka dianggap sebagai jalan satusatunya memahami hukum alam, maka klaim itu menyedihkan. Menerangkan, melakukan kategorisasi, mendeteksi penyebab, mengukur, dan memprediksi adalah maksud dari aktivitas saintifik. Hukum menjadi penting karena semua aktivitas tadi bergantung padanya. Tanpa hukum, dunia akan chaos dan tempatnya akan acak.
Penulis : Dr. Abdul Chalik
Penerbit : Arti Bumi Intaran
Cetakan : Agustus 2015
Tebal : 184 halaman
ISBN : 978-602-7731-57-8
Harga : - (e-book pdf)
Lantas, apa yang disebut hukum? ia bukan pernyataan hukum atau teori tentang hukum. Hukum adalah suatu hal yang ada di dunia yang coba kita temukan. Hukum adalah fakta atau serupa dengan fakta. Adapun statemen (pernyataan hukum) adalah satu item bahasa yang tidak eksis, meski terkait dengan hukum. Teori adalah kreasi manusia, sementara hukum bukan teori manusia.
Setelah paham mengenai alam sebagai ilmu pengetahuan, bagian selanjutnya mulai menyelami inti buku, yaitu menelusuri bab Dunia Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Filsafat Ilmu. Dalam sebuah perdebatan ilmiah atau filosofis, istilah pengetahuan (knowledge), ilmu (science) dan filsafat (philosophy) selalu muncul bersamaan meskipun dalam sudut pandang yang berbeda. Max Scheller mendefinisikan pengetahuan adalah bentuk partisipasi suatu realitas ke realitas lain, tetapi tanpa modifikasi dalam kualitas lain. Sementara ilmu atau juga disebut ilmu pengetahuan (science) memiliki arti dan kualifikasi yang berbeda. Karl Pearson mendefinisikannya sebagai; complete and consistent discription of the facts of experience in the simpliest possible terms. Pengetahuan menurut Pearson adalah gambaran yang lengkap tentang suatu fakta pengalaman. Ralph Ross mendefinisi kan ilmu sebagai; empirical, rational, general and comulative, and it is all four at once.
Asal mula kata filsafat sangat umum, intinya adalah mencari keutamaan mental (the pursuit of mental exellence). Ada dua arti secara etimologik dari filsafat yang sedikit berbeda. Pertama, apabila istilah filsafat mengacu pada istilah philein dan sophos, maka artinya mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (bijaksana dimaksudkan sebagai kata sifat). Kedua, apabila filsafat mengacu pada kata philos dan sophia maka artinya adalah teman kebijaksanaan (kebijaksanaan sebagai kata benda). Filsafat dalam kenyataannya mencakup bidang yang sangat luas sejauh dapat dijangkau oleh pikiran. Filsafat berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang menjadi tujuan hidupnya. Berfilsafat adalah berfikir, namun bukan berarti semua aktivitas berfikir adalah berfilsafat, karena berfikir secara filosofis memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu bersifat radikal, universal, koheren dan konsisten, sistematis dan komprehensif, bebas, dan bertanggungjawab. Dalam filsafat ada enam teori kebenaran, yaitu teori kebenaran korespondensi, teori kebenaran koherensi, teori kebenaran pragmatis, teori kebenaran semantik, teori kebenaran sintaksis, dan teori kebenaran logis.
Ilmu dengan segala kedewasannya tidak bisa lepas dari filsafat, demikian juga filsafat, meskipun posisinya sebagai ‘ibu’ yang melahirkan ilmu bukan berarti tidak membutuhkan pertolongannya. Ada hubungan timbal balik yang tidak dapat dipisahkan. Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pengetahuan ilmiah apabila pembahasannya tidak ingin dikatakan dangkal dan keliru.
Bab ketiga buku ini membahas epistemologi dan kebenaran ilmiah. L. Katsoff memberikan batasan epistemologi yaitu cabang filsafat yang menyelidiki asalmula, susunan, metode dan sahnya pengetahuan. Katsoff lebih lanjut menjelaskan bahwa epistemologi berupaya untuk menjawab pertanyaanpertanyaan dasar menyangkut pengetahuan. Epistemologi bertujuan untuk mengungkap (mengoreksi) sejauh mana pengetahuan yang diperoleh mencapai validitas yang benar-benar memiliki landasan yang kuat dan konsisten yang pada akhirnya kebenaran pengetahuan tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Bagian selanjutnya menjelaskan korelasi antara ilmu dan agama. Di dunia Islam, hubungan Islam dan ilmu terutama filsafat mengalami fase-fase konstraksi yang tidak sederhana. Pada abad 10 M ketika al Ghazali mempersoalkan cara kerja filsafat dan ilmu yang (dianggap) mengganggu kemapanan beragama, sering dipahami oleh sebagian besar umat Islam sebagai bentuk penolakan terhadap cara kerja ilmu dan filsafat. Meski penjelasan atas pemahaman al Ghazali tersebut kemudian dibantah oleh Ibn Rusyd, yang berupaya meluruskan kembali hubungan antara ilmu dan filsafat. Dalam sejarahnya, terdapat empat pola hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan, menurut Ian G. Barbour dalam When Science Meets Religion: Enemies, Strangers or Partners (2000), yaitu; konflik, independensi, dialog dan integrasi.
Studi agama harus dikembalikan pada pandangan awal, bahwa agama adalah wilayah absolut sehingga mata telanjang manusia tidak semua mampu mengungkap semuanya secara objektifrasional. Lalu, ada beberapa pendekatan untuk bisa menelusuri lebih jauh tentang studi agama Islam, diantaranya yaitu pendekatan normatif atau keagamaan, pendekatan fisiologis dan historis, pendekatan ilmu-ilmu sosial, dan pendekatan fenomenologis. Sedangkan pandangan filsafat ilmu terhadap pengembangan ilmu agama Islam dapat dijelaskan ke dalam tiga bagian, yaitu ilmu agama islam sebagai aktifitas ilmiah, ilmu agama islam sebagai metode ilmiah, dan Ilmu agama Islam sebagai pengetahuan sistematis.
Bagian kelima dari buku ini membahas hermeneutika dan lompatan kajian keislaman. Pada dasarnya Hermeneutika adalah tradisi berfikir filosofis yang mencoba untuk menjelaskan konsep pemahaman dalam bahasa (concept of verstehen). Salah satu masalah epistemologi dalam Hermeneutika adalah bagaimana mendemontrasikan penerjemahan ke dalam bahasa dan arti yang benar sesuai dengan yang dikehendaki teks. Peran interpretasi adalah membuat sesuatu (teks) yang tidak familiar (unfamiliar), jauh (distant) dan kabur (obscure) ke dalam bentuk teks yang jelas (real), dekat (near) dan dapat dimengerti (intelligible). Josef Bleicher mengklasifikasikan Hermeneutika ke dalam tiga bagian, yaitu Hermeneutika teori (hermeneutical theory), Hermeneutika filsafat (hermeneutic philosophy) dan Hermeneutika kritik (critical hermeneutic). Dewasa ini istilah Hermeneutika dipakai untuk arti yang sangat luas meliputi hampir seluruh tema filsafat tradisional sejauh berkaitan dengan bahasa. Karena itulah Hermeneutika berkaitan dengan penerapan dan penggunaan bahasa dalam usaha memahami suatu pesan. Bahasa merupakan bagian integral dari suatu pesan yang disampaikan, atau totalitas arti diri seseorang, atau teks yang hidup.
Penulis pun berusaha mengupas hermeneutika dalam sisi keislaman. Hermeneutika dipahami oleh pemikir muslim kontemporer sebagai bahan analisis untuk mengkaji sebuah disiplin keilmuan tertentu, baik sejarah (tarikh), tradisi (turats) maupun teks keagamaan (al-Quran). Hal Ini bukan berarti mengganti epistemologi yang telah mapan dipakai dalam Islam, melainkan Hermeneutika diposisikan sebagai bahan analisis pelengkap untuk mencari ruang yang belum tersentuh oleh Ilmu Tafsir.
Bab terakhir dari buku ini mengkaji konversi IAIN ke UIN dan Upaya Mengintegrasikan Ilmu dan Agama. Sejalan dengan upaya pengembangan keilmuan keislaman di perguruan tinggi Islam, penulis mempertemukan agama sebagai sesuatu yang holistik dan ilmu modern yang cenderung sekuler memang bukan persoalan mudah. Berbagai upaya sudah dilakukan oleh ilmuwan IAIN/STAIN bersama dengan Departemen Agama, agar kedua domain tersebut bisa berjalan secara beriringan, dengan tidak menempatkan salah satu di antara ilmu keislaman dan modern sebagai sesuatu yang ordinat dan subordinat, tinggi rendah, luar dan dalam, dan bentuk dikhotomik lainnya. Munculnya gagasan merubah IAIN/STAIN menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) karena didasari oleh adanya kesulitan mengembangkan paradigma keilmuan dalam bentuk pengembangan prodiprodi yang selaras dengan perubahan masyarakat. Usaha yang dilakukan oleh IAIN/STAIN adalah dengan menyusun paradigma keilmuan yang mengintegrasikan antara variabel normatif (wahyu) dan ilmu sekuler. Usaha ini telah menghasilkan beberapa konsep keilmuan yang lahir atas dasar memadukan (mengintegrasikan) antar dua entitas yang selama ini diklaim lahir dan terbentuk dari rahim yang berbeda.
Sejalan dengan ragam pemikiran di kalangan muslim dan tantangan global yang dihadapi, maka muncul sekian gagasan pengembangan keilmuan di kalangan akademisi IAIN. Munculnya konsep keilmuan ‘integratif interkonektif’ oleh Prof. Amien Abdullah yang kemudian menjadi branding pengembangan keilmuan UIN Yogyakarta, konsep keilmuan ‘pohon ilmu’ yang digagas oleh STAIN Malang yang kemudian menjadi dasar pengembangan keilmuannya, menjadi contoh ragam cara untuk memadukan konsepkonsep ilmu agama dan sekuler tersebut. Demikian pula UIN Alauddin Makasar dengan pendekatan interdisipliner melalui konsep sinergi keilmuan dan UIN Syarif Hidayatullah mengembangkan integrasi ilmu. Bahkan IAIN Sunan Ampel Surabaya melalui pikiran rektor Prof. Nur Syam, menggagas konsep pengembangan keilmuan baru yang disebut dengan ‘integrated twin towers’ suatu gagasan untuk memadukan kedua ilmu tersebut dimana masih banyak lubang yang perlu dipersatukan berdasarkan pengalaman yang dilakukan oleh banyak IAIN/ UIN.
Jika ditelaah secara keseluruhan dari isi buku, sejatinya filsafat ilmu secara teoritik tidak mengalami perkembangan sepesat disiplin ilmu yang lain karena dalam dunia perguruan tinggi, ilmu ini termasuk mata kuliah dasar dan menjadi pondasi atas mata kuliah yang lain. Berdasarkan latar belakang pekerjaan dari penulis buku ini, maka buku ini sengaja didesain berbeda—dengan banyak menampilkan aplikasi Filsafat Ilmu dalam ranah praktis—khususnya kajian keislaman. Hal tersebut menjadi keunggulan yang bisa membantu mahasiswa dan pembaca agar lebih familiar dengan implementasi Filsafat Ilmu. Selain itu, yang membedakan dari buku-buku filsafat lainnya, nuansa Islam lebih kental dalam buku ini dan pembahasannya pun cukup spesifik, terutama saat mengkaji upaya mengintegrasikan ilmu dan agama yang sekaligus mengkorelasikannya dengan IAIN/ UIN. Nilai tambah lainnya adalah bisa memacu bagi tenaga pendidik dan jajaran rektorat untuk bisa meningkatkan kembali kajian keilmuan dan memahami problematika yang tengah dihadapi di era globalisasi ini. Meskipun masih terdapat beberapa kesalahan dalam ejaan, hal tersebut tidak terlalu kentara karena tersamarkan oleh substansi yang begitu kompleks. Maka dari itu, buku ini sangat cocok bagi akademisi dan umum yang sedang menggeluti dan mendalami dunia keilmuan serta bagaimana aplikasinya dalam kajian keislaman.
0 komentar