• Beranda
  • Artikel dan Esai
  • Akademik
    • Beasiswa dan Kepemudaan
    • Tugas Kuliah
    • Soon
  • Puisi
  • Cerpen
  • Pidato
  • Jajan Yuk!
  • Excel
instagram facebook youtube Google+ bloglovin Email

Aksara Fauzi

"Aku hadir saat mata terpejam..."

Sejak dahulu, Kabupaten Cianjur sudah terkenal dengan budaya 3M (Maos, Mamaos, Maenpo) yang menjadi ciri Kabupaten Cianjur. Bupati Cianjur saat ini, Bapak Irvan Rivano Muchtar, berinisiatif menambahkan 4 pilar budaya yang menurutnya relevan dengan keadaan masyarakat Cianjur sehingga "7 pilar budaya" menjadi sebuah tagline yang mewakili masyarakat Cianjur. 7 pilar budaya ini merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat Cianjur karena mengandung semua aspek kehidupan, meliputi olah rasa, olah jiwa, juga olahraga. 

Meskipun demikian, kontra terjadi saat penambahan pilar budaya Cianjur tersebut, diantaranya dari Lembaga Kebudayaan Cianjur (LKC). Kebudayaan Cianjur (LKC) meminta agar sejarah tentang filosofi Cianjur, Ngaos, Maos dan Maenpo tidak dirubah atau ditambahkan. Pasalnya tiga pilar budaya Cianjur itu merupakan filosofis yang memiliki nilai historis.

Permintaan LKC tersebut terkait dengan pembahasan Rencana Peraturan Daerah (Raperda) yang didalamnya menambah tiga Pilar Budaya Cianjur itu ditambah menjadi tujuh yakni Tatanan, Tangginas, Someah dan Sauyunan. Penambahan itu dinilai telah menciderai pilar budaya Cianjur. Menurutnya kalaupun ingin menambah jumlahnya serba tujuh, bisa dimasukkan dalam butir-butirnya, bukan dalam tiga pilar budayannya. 
Berikut adalah 7 pilar budaya Cianjur:

1. Ngaos
Cianjur sudah lama dikenal sebagai salah satu kota santri. Dan  salah satu tradisi yang sangat melekat dalam diri masyarakat Cianjur adalah budaya Ngaos. Ngaos adalah tradisi masyarakat yang mewarnai suasana dan nuansa Cianjur dengan masyarakat yang lekat dengan keberagamaan. Citra sebagai masyarakat agamis ini seperti yang telah dikemukakan terdahulu adalah sebagai langkah dari Djajasasana putra R. A. Goparana yang memeluk agama Islam pada tahun 1677 dimana pada saat itu beliau bersama dengan ulama dan santri pada saat itu gencar menyebarkan syariat Islam. Itulah sebabnya mengapa Cianjur mendapat julukan sebagai kota gudang kyai dan gudang santri.

Pondok-pondok pesantren yang tumbuh dan berkembang di tatar Cianjur sedikit atau banyak telah berkontribusi dalam perjuangan sejarah kemerdekaan negeri ini. Di sanalah bergolak jiwa semangat berjihad. Banyak pejuang-pejuang meminta restu dari kyai-kyai sebelum berangkat ke medan pertempuran. Menurut mereka itu, mereka baru merasa lengkap dan percaya diri apabila telah mendapat restu dari kyai. Sekilas, tradisi mengaji di kalangan masyarakat Cianjur ini tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti Garut, Tasikmalaya, Banten, Cirebon dan lain sebagainya yang juga dikenal sebagai gudangnya santri.

Memang pada dasarnya tidak ada perbedaan yang mencolok, sebab Islam sendiri mengajarkan umatnya untuk senantiasa mengaji dan menghayati serta memahami Al-Quran yang merupakan jalan hidup yang lurus. Begitu pula dengan kalangan masyarakat Cianjur, meskipun sekarang terlihat adanya penurunan dalam melestarikan budaya Ngaos tetap tidak akan pernah hilang dalam sanubari masyarakat Cianjur, khususnya masyarakat (dalam arti ini pesantren) yang terletak di daerah-daerah pinggiran Cianjur sebab begitu kuatnya mereka memegang tradisi ini. Umumnya tradisi Ngaos di Cianjur memang lebih dikenal dalam kegiatan kepesantrenan. Sepeti Ngaos nyorangan, Ngaos bandungan, Ngaos tarabasan. Yang kesemuanya memiliki arti yang berbeda akan tetapi dengan tujuan yang sama. Misalnya ngaos nyorangan adalah bentuk mengaji secara mandiri yang dilakukan oleh seorang santri dalam memahami isi kandungan Al-Quran.

Ngaos bandungan adalah suatu bentuk mengaji saat santri yang membaca isi Al-Quran dengan didampingi seorang ustadz yang sewaktu-waktu membetulkan bacaan santri apabila sang santri salah dalam bacaannya serta memberi tafsiran apabila memang diperlukan. Bngaos tarabasan adalah cara membaca Al-Quran secara bersama-sama dengan maksud untuk bersama-sama menghapal isi Al-Quran.


Tugu Al-Quran

2. Mamaos
Mamaos terbentuk pada masa pemerintahan bupati Cianjur RAA. Kusumaningrat (1834—1864). Bupati Kusumaningrat dalam membuat lagu sering bertempat di sebuah bangunan bernama Pancaniti. Oleh karena itulah dia terkenal dengan nama Kangjeng Pancaniti. Pada mulanya mamaos dinyanyikan oleh kaum pria. Baru pada perempat pertama abad ke-20 mamaos bisa dipelajari oleh kaum wanita. Hal itu terbukti dengan munculnya para juru mamaos wanita, seperti Rd. Siti Sarah, Rd. Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu O’oh, Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah.

Bahan mamaos berasal dari berbagai seni suara Sunda, seperti pantun, beluk (mamaca), degung, serta tembang macapat Jawa, yaitu pupuh. Lagu-lagu mamaos yang diambil dari vokal seni pantun dinamakan lagu pantun atau papantunan, atau disebut pula lagu Pajajaran, diambil dari nama keraton Sunda pada masa lampau. Sedangkan lagu-lagu yang berasal dari bahan pupuh disebut tembang. Keduanya menunjukan kepada peraturan rumpaka (teks). Sedangkan teknik vokal keduanya menggunakan bahan-bahan olahan vokal Sunda. Namun pada akhirnya kedua teknik pembuatan rumpaka ini ada yang digabungkan. Lagu-lagu papantunan pun banyak yang dibuat dengan aturan pupuh.

Pada masa awal penciptaannya, Cianjuran merupakan revitalisasi dari seni Pantun. Kacapi dan teknik memainkannya masih jelas dari seni Pantun. Begitu pula lagu-lagunya hampir semuanya dari sajian seni Pantun. Rumpaka lagunya pun mengambil dari cerita Pantun Mundinglaya Dikusumah.

Pada masa pemerintahan bupati RAA. Prawiradiredja II (1864—1910) kesenian mamaos mulai menyebar ke daerah lain. Rd. Etje Madjid Natawiredja (1853—1928) adalah di antara tokoh mamaos yang berperan dalam penyebaran ini. Dia sering diundang untuk mengajarkan mamaos ke kabupaten-kabupaten di Priangan, di antaranya oleh bupati Bandung RAA. Martanagara (1893—1918) dan RAA. Wiranatakoesoemah (1920—1931 & 1935—1942). Ketika mamaos menyebar ke daerah lain dan lagu-lagu yang menggunakan pola pupuh telah banyak, maka masyarakat di luar Cianjur (dan beberapa perkumpulan di Cianjur) menyebut mamaos dengan nama tembang Sunda atau Cianjuran, karena kesenian ini khas dan berasal dari Cianjur. Demikian pula ketika radio NIROM Bandung tahun 1930-an menyiarkan kesenian ini menyebutnya dengan tembang Cianjuran.

Sebenarnya yayaya istilah mamaos hanya menunjukkan pada lagu-lagu yang berpolakan pupuh (tembang), karena istilah mamaos merupakan penghalusan dari kata mamaca, yaitu seni membaca buku cerita wawacan dengan cara dinyanyikan. Buku wawacan yang menggunakan aturan pupuh ini ada yang dilagukan dengan teknik nyanyian rancag dan teknik beluk. Lagu-lagu mamaos berlaras pelog (degung), sorog (nyorog; madenda), salendro, serta mandalungan. Berdasarkan bahan asal dan sifat lagunya mamaos dikelompokkan dalam beberapa wanda, yaitu: papantunan, jejemplangan, dedegungan, dan rarancagan. Sekarang ditambahkan pula jenis kakawen dan panambih sebagai wanda tersendiri. Lagu-lagu mamaos dari jenis tembang banyak menggunakan pola pupuh Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula, serta ada di antaranya lagu dari pupuh lainnya.

Lagu-lagu dalam wanda papantunan di antaranya Papatat, Rajamantri, Mupu Kembang, Randegan, Randegan Kendor, Kaleon, Manyeuseup, Balagenyat, Putri Layar, Pangapungan, Rajah, Gelang Gading, Candrawulan, dsb. Sementara dalam wanda jejemplangan di antaranya terdiri dari Jemplang Panganten, Jemplang, Cidadap, Jemplang Leumpang, Jemplang Titi, Jemplang Pamirig, dsb. Wanda dedegungan di antaranya Sinom Degung, Asmarandana Degung, Durma Degung, Dangdanggula Degung, Rumangsang Degung, Panangis Degung dan sebagainya. Wanda rarancagan di antaranya; Manangis, Bayubud, Sinom Polos, Kentar Cisaat, Kentar Ajun, Sinom Liwung, Asmarandana Rancag, Setra, Satria, Kulu-kulu Barat, Udan Mas, Udan Iris, Dangdanggula Pancaniti, Garutan, Porbalinggo, Erang Barong dan sebagainya. Wanda kakawen di antaranya: Sebrakan Sapuratina, Sebrakan Pelog, Toya Mijil, Kayu Agung, dan sebagainya. Wanda panambih di antaranya: Budak Ceurik, Toropongan, Kulu-kulu Gandrung Gunung, Renggong Gede, Panyileukan, Selabintana, Soropongan, dsb.

Pada mulanya mamaos berfungsi sebagai musik hiburan alat silaturahmi di antara kaum menak. Tetapi mamaos sekarang, di samping masih seperti fungsi semula, juga telah menjadi seni hiburan yang bersifat profit oleh para senimannya seperti kesenian. Mamaos sekarang sering dipakai dalam hiburan hajatan perkawinan, khitanan, dan berbagai keperluan hiburan atau acara adat.

Tugu Mamaos

3. Maenpo
Sejak dulu Cianjur dikenal dengan seni beladiri Pencak Silat yang menghasilkan beberapa aliran terkenal, antara lain aliran Cikalong, Cimande dan Sabandar. Yang sampai kini masih dipelajari dan diminati pencinta pencak silat oleh berbagai kalangan baik di daerah-daerah lokal maupun mancanegara.

Maenpo atau dikenal juga dengan istilah pencak silat adalah suatu kesenian beladiri yang menggambarkan keterampilan dan ketangguhan . Maenpo sendiri secara bahasa terdiri dari dua kata yaitu maen dan po. Maen berarti melakukan sesuatu sementara po berasal dari istilah China untuk memukul. Maka maenpo artinya melakukan sesuatu dengan memukul.

Pencipta dan penyebar seni maenpo ini adalah R. Djadjaperbata atau dikenal dengan nama R. H. Ibrahim. Aliran ini mempunyai ciri permainan rasa yaitu sensitivitas atau kepekaan yang mampu membaca segala gerak lawan ketika anggota badan saling bersentuhan. Dalam maenpo dikenal istilah liliwatan (penginderaan) dan Peupeuhan (pukulan). Seni peupeuhan yang merupakan aliran khas ciptaan R. H. Ibrahim, mengandalkan kecepatan gerak dan tenaga dalam yang luar biasa. Adapun R. H. Ibrahim menunggal pada tahun 1906 dan dimakamkan di pemakaman keluarga Dalem Cikundul, Cikalong Kulon Cianjur.

Pada saat yang sama muncul suatu aliran yang mengandalkan tenaga pengideraan atau liliwatan yang dimunculkan oleh Muhammad kosim dari Sabandar Karangtengah Cianjur yang kemudian beliau dikenal dengan nama Mama Sabandar. Aliran inilah yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan Aliran Sabandar yang mengandalkan kemahiran dalam mengeluarkan tenaga penginderaan.
Tugu Maenpo Cianjur



4. Tangginas
Tangginas dalam bahasa Indonesia bisa diartikan gesit. Artinya, masyarakat Cianjur selalu gesit dalam segala hal. Misalnya saja dalam hal bangun tidur, masyarakat Cianjur terbiasa bangun pagi untuk beribadah dan mencari rezeki karena percaya bahwa orang yang bermalas-malasan di pagi hari rezekinya akan "dipatok ayam".

Setiap warga cianjur dituntut untuk bangun pagi dan membangun sejak dini akan individunya yang ditandai dengan sholat subuh berjamaah di mesjid agar menjadikan manusia yang disiplin dan dimudahkan rezekinya.

Salah satu program sebagai pengimplementasian budaya tanginas ini adalah pegawai sipil diwajibkan salat Subuh dan Ashar berjamah di Masjid Agung Cianjur. 

5. Tatanen
Tatanen atau bercocok tanam ini dinilai sangat relevan dengan masyarakat Cianjur yang terkenal dengan beras Pandanwangi. Tatanen menjadi suatu ciri khas masyarakat Cianjur karena mayoritas masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani terutama padi untuk diolah menjadi beras Pandanwangi.

Salah satu perwujudan budaya tatanen ini, Pemkab Cianjur membangun Kampung Wisata Pandanwangi Cianjur. Pemerintah Kabupaten Cianjur melalui Dinas Pariwisata, Kepemudaan dan Olahraga telah melaksanakan pembangunan Kampung Budaya Padi Pandanwangi, di Desa Mekarwangi Kecamatan Warungkondang.

Kampung budaya Padi Pandanwangi ini memiliki luas lahan 12 hektare yang membentang di Kecamatan Warungkondang Cianjur. Di sini, traveler dapat menikmati suasana desa yang asri, karena semua bangunan rumah terbuat dari kayu seperti zaman dulu. Rumah tersebut juga berbentuk panggung. Dari 12 hektare tersebut, terdapat 1,3 hektar yang dijadikan area bangunan. Hal ini merupakan upaya Pemerintah Kabupaten Cianjur dalam menjaga keberlangsungan produk kearifan lokal kebanggaan Cianjur.
Kampung Budaya Pandanwangi Warungkondang, Cianjur


6. Someah
Someah atau ramah berarti masyarakat Cianjur yang selalu bersikap ramah. Hal ini juga tersurat dalam salah satu tembang Cianjuran yang mengandung lirik "Someah ka semah" berarti ramah terhadap tamu.

7. Sauyunan
Sauyunan atau rukun berarti masyarakat Cianjur dalam setiap kegiatannya senantiasa hidup rukun dan damai. Karena tanpa sebuah kerukunan, maka kehidupan bermasyarakat akan kacau dan tidak beraturan. Dan Bupati Cianjur berharap ke depannya masyarakat Cianjur bisa lebih rukun dan gotong royong dalam membangun Cianjur menjadi kabupaten yang lebih maju.

Apabila filosofi tersebut diresapi, pada hakekatnya merupakan simbol rasa keberagamaan, kebudayaan dan kerja keras. Dengan keberagamaan sasaran yang ingin dicapai adalah terciptanya keimanan dan ketakwaan masyarakat melalui pembangunan akhlak yang mulia. Dengan kebudayaan, masyarakat Cianjur ingin mempertahankan keberadaannya sebagai masyarakat yang berbudaya, memiliki adab, tatakrama dan sopan santun dalam tata pergaulan hidup. Dengan kerja keras sebagai implementasi dari filosofi maenpo, masyarakat Cianjur selalu menunjukan semangat keberdayaan yang tinggi dalam meningkatkan mutu kehidupan.

Ketujuh pilar budaya Cianjur ini adalah representasi dari masyarakat Cianjur. Sudah menjadi kewajiban untuk tetap melestarikannya, sehingga Cianjur bisa menjadi lebih baik, bermartabat, dan menjadi kota yang maju.


Referensi
Galba, A. (2007). Kesenian Tradisional Masyarakat Cianjur.
Jawa, S. d. (1983). Budiono Herusatoto. Yogyakarta: Hanindita.
Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Bandung: PT Rineka Cipta.
Kurnia, G. (2003). Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Bandung: Dinas dan Kebudayaan Pariwisata Bandung.
Nendang, A. (1995). Babad Menak-menak Sunda - Sajarah Bopati-bopati Cianjur. Bandung: Unpas.
Soekadijo. (1999). Antropologi. Jakarta: Erlangga.
Wiratmadja, A. S. (1998). Mengenal Seni Tembang Sunda. Bandung: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah TKI Jawa Barat.
Share
Tweet
Pin
Share
3 komentar
Newer Posts
Kiriman Lampau

Siapakah Aksa?

Siapakah Aksa?
Aku adalah apa yang kamu baca dan dengar

Ikuti dan Tanya Aku!

  • instagram
  • facebook
  • youtube
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

Apa aja yang banyak dicari?

  • [Syarhil] Akhlak Rasulullah sebagai Kunci Perbaikan Dekadensi Moral
    Ilustrasi Assalamualaikum wr.wb. Dewan juri yang kami hormati! para peserta Musabaqah Syarhil Qur’an yang berbahagia, serta ha...
  • Dollar menjadi Raja
    “Waduh! Sembako mahal!” “BBM naik!” “Kemana pemerintah? Kok bahan-bahan pokok jadi mahal!” Itulah beberapa pernyataan yang terlo...
  • Disiplin, Apakah perlu?
    Saat mendengar kata “Disiplin” maka pikiran yang terlintas di benak kita adalah suatu beban atau suatu tanggung jawab yang ...
  • Beasiswa PPA 2019 UIN Sunan Gunung Djati Bandung
    Assalamualaikum! Hallo! Apa kabar? Semoga sehat selalu ya.. Berjumpa lagi dengan Aksa di tahun yang berbeda tapi kabar yang sama...
  • [Story Telling] Malin Kundang (+Video)
    Once upon a time, there was a poor boy named Malin Kundang. He lived with his old mother in West Sumatera. He was very nice boy but he...
  • Mengenal Pilar Budaya Cianjur
    Sejak dahulu, Kabupaten Cianjur sudah terkenal dengan budaya 3M (Maos, Mamaos, Maenpo) yang menjadi ciri Kabupaten Cianjur. Bupati Cianjur...
  • Ruksakna Iman jeung Alam (Bahasa Sunda)
    Sumber: ISNET Dina surat Ar-Rum ayat 40 deugika 42, Alloh negeskeun ka manusa, yén ‘ngayugakeun kahirupan’ , ‘nyiptakeun rejeki’ ajan...
  • Best Position Paper Asia World MUN III (Committee OIC)
    Topic : “Discussing the Roles of Member States and the OIC in Response to the Ongoing Refugee Crisis” Commit...
  • [PUISI] Tangis (W.S. Rendra)
    Tangis Karya: W.S. Rendra Ke mana larinya anak tercinta Yang diburu segenap penduduk kota? Paman Doblang! Paman Doblang! Ia la...
  • Cyberbullying, Tren Generasi Milenial Indonesia
    Source: iam1n4.com Perbincangan mengenai bullying kembali mencuat ke permukaan. Masalah kolot yang biasanya terjadi di sekolah ini b...

Postingan Terbaru!!

Ada Apa Aja?

  • Artikel dan Essai
  • Beasiswa dan Kepemudaan
  • Cerpen
  • Excel
  • Pidato
  • Puisi
  • Tugas Kuliah

Garis Waktu

  • Desember 2023 (1)
  • September 2021 (1)
  • Agustus 2021 (1)
  • Mei 2021 (1)
  • Maret 2021 (3)
  • November 2020 (3)
  • Oktober 2020 (1)
  • September 2020 (1)
  • Agustus 2020 (6)
  • Juli 2020 (3)
  • Juni 2020 (1)
  • Mei 2020 (3)
  • April 2020 (7)
  • Maret 2020 (5)
  • Februari 2020 (1)
  • Januari 2020 (5)
  • November 2019 (1)
  • Oktober 2019 (1)
  • Juni 2019 (1)
  • Mei 2019 (1)
  • Maret 2019 (1)
  • Februari 2019 (1)
  • Januari 2019 (2)
  • Desember 2018 (6)
  • November 2018 (3)
  • Oktober 2018 (10)
  • September 2018 (5)
  • Agustus 2018 (6)
  • Juli 2018 (3)
  • April 2018 (6)
  • Desember 2015 (8)
  • Juli 2015 (1)
  • April 2015 (1)
  • Maret 2015 (9)

Created with by Aksara Fauzi | Helped by Someone