Sumber: Suara Kutim |
Media bersifat netral memang sudah seharusnya menjadi sifatnya. Diskursus mengenai netralitas media mencuat ke permukaan ketika atmosfir perpolitikan mulai terasa. Memasuki tahun-tahun pemilu, akan muncul permainan politik dan isu-isu kabur dalam tubuh media massa. Untuk mengombang-ambingkan golongan masyarakat, ataupun sebagai strategi bersaing politik. Seperti yang kita ketahui, pemberitaan akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak benar alias hoax. Terdapat dari sekian banyak media massa yang memutar balikkan fakta dan memainkan peran politik dalam pemberitaannya.
Media yang seharusnya, berada ditengah-tengah. Tidak condong kepada sisi manapun dan dalam sektor apapun. Media massa lazimnya bergerak pada tataran tengah, tidak bergeser ke kanan, ataupun ke kiri. Hingga menjadi penengah dari dua sisi yang kontras berbeda. Sehingga dapat tercipta tatanan informasi yang menjunjung tinggi keadilan, keseimbangan, serta bertanggung jawab.
Dalam perspektif ekonomi politik media, ternyata media sulit untuk netral dan obyektif sebagaimana idealismenya. Media sangat terikat dan dipengaruhi ideologi pemiliknya. Sehingga media sangat rentan dijadikan sebagai alat kekuasaan dalam sebuah sistem politik. Di sisi lain media juga harus menguntungkan secara ekonomi baik untuk biaya operasional media itu sendiri maupun untuk keuntungan para pemilik modal. Oleh karena itu media dituntut untuk menyesuaikan pada selera pasar agar menarik bagi para pengiklan. Iklan merupakan salah satu nafas utama bagi sebuah media selain audien atau khalayaknya.
Selain itu, dalam dunia media juga dikenal dengan teori kritis, merupakan sebuah aliran pemikiran yang menekankan penilaian reflektif dan kritik dari masyarakat dan budaya dengan menerapkan pengetahuan dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Salah satu acara yang mungkin bisa dibilang kritis dalam kehidupan masyarakat ialah siaran invertigasi, dimana mereka akan terus mencari jawaban dari apa yang menjadi permasalahan yang baisanya masalah terbaru yang tentu sangat menarik untuk diberitakan.
Teori kritis melihat bahwa media tidak lepas kepentingan, terutama sarat kepentingan kaum pemilik modal, negara atau kelompok yang menindas lainnya. Dalam artian ini, media menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat. Konsekuensi logisnya adalah realitas yang dihasilkan oleh media bersifat pada dirinya bias atau terdistorsi.
Media massa merupakan produk yg dipengaruhi oleh politik, ekonomi, kebudayaan, dan sejarah. Jadi fokus kajiannya adalah fungsi-fungsi apa yg harus dilakukan oleh media massa di dalam masyarakat.
Pendefinisian dan reproduksi realitas yang dihasilkan oleh media massa tidak hanya dilihat sebagai akumulasi fakta atau realitas itu sendiri. Reproduksi realitas melalui media merupakan representasi tarik ulur ideologi atau sistem nilai yang mempunyai kepentingan yang berbeda satu sama lain. Dalam hal ini, media tidak hanya memainkan perannya hanya sekedar instrumen pasif yang tidak dinamis dalam proses rekonstruksi budaya tapi media massa tetap menjadi realitas sosial yang dinamis.
Teori ini memberikan perhatian yang sangat besar pada alat-alat komunikasi dalam masyarakat. Komunikasi merupakan suatu hasil dari tekanan (tension) antara kreativitas individu dalam memberikan kerangka pada pesan dan kedala-kendala sosial terhadap kreativitas tersebut. Hanya jika individu benar-benar bebas untuk megespresikan dirinya dengan kejelasan dan penalaran, maka pembebasan akan terjadi, dan kondisi tersebut tidak akan terwujud sampai munculnya suatu tatan masyarakat yang baru.
Di Indonesia sendiri perkembangan teori kritis mengikuti daripada sistem pemerintahan yang ada. Jika dahulu terutama pada era orde baru, media massa seolah dibungkam. Tidak boleh sama sekali ada media yang melancarkan kritik pada pemerintah. Dan hanya ada media yang pro pemerintah yang dapat beroperasi maka kini kondisinya sudah berbeda 360 derajat. Dimana media massa terutama sudah lebih leluasa untuk mengkritisi kinerja pemerintah.
Lain dulu lain sekarang, penerapan teori kritis pada media massa di Imdonesia sendiri terkadang cenderung berlebihan. Dimana antara satu media massa dan media massa lainnya seolah saling menjtuhkan atau memojolkan tokoh tertentu. Terkadang juga media massa bahkan mampu mengiring oponi publik. Terlihat jelas bahwa saat ini semua orang dapat berperan sebagai kritikus. Padahal jika di telaah lebih dalam lagi yang berhak mengkritik ialah memang mereka yang ahli dan mengerti akan hal tersebut. Simak juga konsep komunikasi efektif.
Keleluasaan media massa untuk mengkritik sebagai bagian komunikasi organisasi dan pola komunikasi organisasi, malah bisa menyebabkan perpecahan atau juga adu domba dengan pihak lainnya. Media massa harusnya bisa menjadi sebuah penghubung antara rakyat dan pemerintah. Media massa juga. Namun, pada kenyataannya media massa malah terbagi menjadi dua kelompok. Ada yang pro pemerintah yang menyajikan berbagai progres dan kinerja serta program kerja pemerintah yang telah berjalan, ada juga yang tak henti-hantinya menyerang dang mengkritik kinerja pemerintah. Inilah yang kemudian membuat masyarakat merasa bahwa media massa Indonesia tidak dapat mewakili kritik rakyat, namun media massa justru menjadi senjata untuk menyerang pemerintah.