Sumber: Dompet Dhuafa |
Berbicara Islam dan budaya lokal, tentu merupakan pembahasan yang menarik, dimana Islam sebagai agama universal merupakan rahmat bagi semesta alam, dan dalam kehadirannya di muka bumi ini, Islam berinteraksi dengan budaya lokal (local culture). Hal ini sebagaimana Islam hadir di Nusantara setelah masyarakat memiliki kebudayaan dan keyakinan (Hindu dan Budha).
Interaksi antara dakwah Islam dengan budaya dinamakan sebagai dakwah antarbudaya/ dakwah kultural. Ketika terjadi proses interaksi antara nilai-nilai Islam dengan budaya-budaya lokal, dalam perspektif sosiologi akan menghasilkan wujud budaya Islami yang bertentangan masing-masing nilai (resistensi), terjadi pembauran (akulturasi), dan penerimaan salah satunya (receipt). Respon-respon yang beragam ini tergantung dari sosialisasi yang dilakukan dan perubahan-perubahan sosial seperti apa nantinya.
Pertama, Resistance Theory (teori resistensi) atau teori penolakan. Dasar asumsi teori ini adalah bahwa setiap aktivitas dakwah akan selalu menghadapkan variabel da’i dan mad’u. Ketika interaksi terjadi, penentangan bahkan sikap dan respons penolakan tidak terelakan khususnya penolakan dari mad’u. Penolakan tersebut adalah konsekuensi logis akibat proses difusi budaya dari budaya yang berbeda. Da’i menyampaikan pesan-pesan dakwah yang termasuk baru bagi komunitas masyarakat tertentu. Maka budaya baru itu jelas mengancam eksistensi budaya lama yang telah dipeluk masyarakat sejak lama yang sudah berurat berakar. Umumnya mad’u menganggap budaya baru itu aneh bahkan menyalahkannya. Budaya baru itu terkadang berbentuk gagasan, teori, dan tindakan yang teraktualisasi dalam proses interaksi masyarakat. Apabila gagasan-gagasan baru itu tidak memiliki landasan kuat dan tidak tersosialisasikan dalam pengalaman hidup serta mendapat dukungan dari komponen masyarakat juga tersosialisasi secara terus-menerus, perlahan-lahan budaya baru itu, apapun bentuknya akan diterima masyarakat.
Kedua, acculturation theory (teori akulturasi) atau teori percampuran. Tuhan memang pantas berujar bahwa manusia diciptakan dari berbagai suku dan bangsa, rupa, bahasa bahkan agama agar manusia saling menenal dan bertukar informasi, prestasi, saling berdialog dan bekerjasama. Manusia merupakan makhluk yang serba terbatas dalam bingkai kesempurnaan, ketergantungan atau membutuhkan antara satu dan lainnya menjadi sesuatu yang tak terbantahkan (zoon politicon). Ini adalah fitrah hukum kemanusiaan agar terjadi saling beinterkasi. Dalam proses sosial inilah, manusia saling melempar latar belakang budaya yang telah mereka pelajari menjadi suatu budaya sebagai identitasnya. Dari landasan teori ini, percampuran budaya, karena interaksi manusia akan kehadiran bentuk budaya lainnya merupakan kemestian. Setiap manusia komponen bangsa penghuni bumi ini memiliki kebudayaan, bahkan kebudayaan unggulan masin-masing anggota masyarakat untuk saling tukar secara terus-menerus dalam proses kehidupannya. Antara budaya baru suatu masyarakat dan budaya lainnya bukan saling berbenturan (clash of culture) tetapi menjadi budaya yang saling mengisi.
Adapun akulturasi menurut Kim merupakan bentuk enkulturasi (proses belajar dan penginternalisasian budaya dan nilai yang dianut oleh warga asli) kedua. Kim mendefinisikan akulturasi sebagai suatu proses yang dilakukan imigran untuk menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi, yang akhirnya mengarah kepada asimilasi. (Mulyana, 2001) Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Apabila dua kelompok manusia mengadakan asimilasi, batas-batas antara kelompok-keleompok tadi akan hilang dan keduanya melebur menjadi satu kelompok. Asimilasi dan akulturasi dapat terjadi apabila adanya kesetiaan dan keserasian sosial, kesempatan dalam bidang ekonomi, persamaan kebudayaan, perkawinan campuran, dan adanya ancaman dari luar.
Ketiga, reception theory (teori resepsi). Teori ini penulis pinjam dari sosiolog Belanda, Christian Snouck Hrugronje. Menerima sepenuhnya atau menerima sebagian gagasan budaya yang lain dan baru harus menjadi budaya masyarakat setempat terlebih dahulu adalah landasan utama teori ini. Penerimaan bisa terjadi karena gagasan dan budaya baru itu dianggap lebih baik dan menjanjikan terhadap perbaikan nasib hidup masyarakat.
Adapun kehadiran dan keberadaan Islam di tengah kehidupan manusia tidak untuk menjadi tandingan dari budaya yang telah berkembang di masyarakat, justru ingin menjadikan nilai-nilai budaya yang merupakan kearifan lokal tersebut sebagai salah satu instrumen dakwah. Pada dasarnya, universalisme ajaran (agama) Islam telah memuat prinsip-prinsip dasar mengenai hubungan-hubungan individu dan hubungan-hubungan sosial yang kemudian pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan tersebut secara subtansial sehingga terjadi perubahan-perubahan sosial di masyarakat.
Sistem nilai Islam yang menjadi komoditi dakwah, sebagaimana wataknya, memang sangat lentur dan fleksibel. Persentuhan budaya Islam ketika mengakomodasi produk budaya manusia sejak dahulu hingga sekarang telah melahirkan budaya-budaya baru yang terus berkembang secara dinamis, dialektikanya akomodatif. Dakwah Islam menghendaki perubahan masyarakat baik secara individu maupun secara kolektif.
Internalisasi dan sosialisasi dakwah Islam ke Indonesia dinilai berjalan mulus dan berhasil. Lantas, apa yang melatarbelakangi kesuksesan ini? Keberhasilan para da’i membumikan Islam adalah proses interaksi yang bersifat asosiatif (akomodasi, asimilasi dan akulturasi) bukan disosiatif (persaingan dan pertentangan). Dalam proses interaksi sosial ini, kita bisa berkiblat kepada Nabi Muhammad SAW dengan tiga model interaksinya antara Islam dengan budaya, yaitu; tahmil adalah menerima, menyempurnakan dan melanjutkan dari apa-apa yang sudah ada di masyarakat; taghyir yaitu menerima dan merekontruksi dari tata nilai yang sudah ada kepada arah yang lebih sesuai dengan ajaran Islam; dan tahrim yaitu menghapus tradisi yang bertentangan dengan ajaran. Tradisi yang kontradiksi dengan syariat tidak diperbolehkan. Dengan menerapkan model interaksi tersebut ketika bersinggungan dengan budaya tradisi masyarakat, ini menunjukkan bahwa Islam tidak membatasi diri dan menjaga jarak dengan budaya.
Adapun contoh konkret keberhasilan perpaduan antara Islam dan budaya lokal adalah dakwah Walisongo dengan produk budayanya yang lebih Islami seperti Sunan Kalijaga dengan gamelan sekaten dan lakon-lakon pewayangan; Sunan Kudus dengan lembunya yang nyentrik untuk menarik perhatian umat Hindu; Sunan Gunung Djati dengan memperbaiki doa mantra, firasat, dan jampi-jampi; Sunan Drajat mengubah bentuk rumah dan alat angkutan; dan masih banyak lagi. Karenanya, terjadi perubahan sosial-budaya di masyarakat menuju yang sejalan dengan kalam Tuhan. Perubahan-perubahan ini selain dikarenakan kepiawaian para Walisongo dalam berinteraksi yang asosiatif juga karena adanya dorongan dari pribumi dalam jalannya proses perubahan, seperti sikap saling menghargai, toleran, sistem lapisan masyarakat yang terbuka, penduduk yang heterogen, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu (contoh: kasta sosial dalam ajaran Hindu), orientasi ke muka, dan nilai meningkatkan taraf hidup.
Referensi
Acep Aripuddin, S. S. (2007). Dakwah Damai: Pengantar Dakwah Antarbudaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
John L. Gillin, J. P. (1954). Cultural Sociology. New York: The Macmillan Company.
Mulyana, D. (2001). Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Paul B. Horton, C. L. (1984). Sosiologi. New York: McGraw-hill.
Safei, A. A. (2017). Sosiologi Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Soerjono Soekanto, B. S. (2013). Sosiologi: Suatu Pengantar. Depok: PT Rajagrafindo Persada.