Sumber: Jejamo |
Islam membumi dengan membawa ajaran yang bersifat universal dan menjunjung tinggi toleransi. Hal ini pun sejalan dengan perkembangan awal Islam di Nusantara pada abad ke-13 M. Kehadiran Islam tidak mengganggu atau menghancurkan kebudayaan yang sudah hidup di masyarakat. Justru, Islam mengikuti alur sosial-budaya setempat dan lambat laun menyelinap ke dalam tubuh kebudayaan yang pada akhirnya mampu menjinakkannya agar sejalan dengan firman dalam Al-Quran. Pendekatan budaya yang dilakukan berhasil mengonversi keagamaan secara massal. Keluwesan Islam diterima dengan baik oleh masyarakat. Dalam proses ini, terlihat sekali wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, telah terjadi distorsi terhadap wajah Islam. Nahasnya, internal umat Islam sendirilah yang melakukan perusakan itu.
“Jangan campuradukkan budaya dan Islam, itu haram!”
“Itu tidak ada dalam budaya Nabi.”
“Harus seperti kami, melestarikan sunnah Nabi!”
Beberapa pernyataan di atas menjadi ucapan yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Wajah dakwah telah mengalami pergeseran, tidak sedikit, kegiatan dakwah yang dilakukan justru saling memperolok satu sama lain, merasa paling benar sendiri, tidak toleran, dan bahkan dengan semena-mena mencap bid’ah dan mengkafirkan sesama muslim. Akibatnya, masyarakat yang tidak memahami secara menyeluruh tentang Islam, menilai wajah Islam sesuai apa yang sedang terjadi. Islam dipandang sebagai agama yang radikal, keras, dan tidak toleran.
Keyakinan kelompok yang dikategorikan “radikal” terhadap teks agama ini berimplikasi kepada pemahaman agama yang hanya dipahami dari satu sudut pandang yang sempit dan rigid, dengan mempertentangkan dua nilai yang paradoksial, benar-salah, Islam-kafir, dan surga-neraka. Karena itu, dua kekuatan tersebut akan menghiasi konflik makro sepanjang sejarah kemanusiaan di muka bumi ini (Sumbullah, 2010). Akibatnya, Islam menjadi statis dan sulit diterima masyarakat karena keketatan yang ditawarkan.
Di tengah kondisi seperti ini, urgensi keteladanan pelaku dakwah (da’i) sangat dibutuhkan, sehingga pesan yang disampaikan pun sesuai kebutuhan umat. Pesan yang ditransmisikan harus mencerminkan Islam sebagai agama yang moderat. Moderasi Islam disini bukan berarti suatu ide yang tidak konsisten atau masih abu-abu dan cenderung mengikuti arus perubahan, atau bahkan suatu paham yang berkiblat kepada Barat dengan ideologi liberal. Moderasi Islam yang dimaksud adalah nilai-nilai universal seperti keseimbangan, keadilan, persamaan, dan kerahmatan yang dimiliki Islam untuk dibumikan sebagaimana yang diajarkan Nabi dan para sahabat.
Kepribadian da’i bukan hanya menjadi modal utama dalam keberhasilan dakwah, pun bisa menjadi penghambat terbesar bagi usaha-usahanya menggerakan perubahan. Meminjam ilmu psikologi komunikator, ketika komunikator –dalam dakwah dikenal da’i– mengkomunikasikan sesuatu, yang berpengaruh bukan saja apa yang ia katakan, tetapi juga keadaan dia sendiri. “He doesn’t communicate what he says, he communicates what he is.” Maka dari itu, da’i harus paham lapangan dan realitas mad’u itu sendiri.
Untuk sampai kepada keberhasilan dakwah, da’i mesti melakukan dakwah Islam secara persuasif, yaitu: tidak memaksa, tidak merusak, dan tidak anarkis yang akan menjadikan mad’u menjauh dari dakwah. Sehingga da’i perlu menangkap aspirasi, jati diri, dan motivasi mad’u-nya. Yang perlu adalah menyampaikan dengan bahasa emosi (rasa) dan fakta-fakta yang kuat (bashirah), dengan bahasa kaumnya (Bil Lisani Qawmih). Maka dakwah Islam dengan cara cinta damai dapat dilakukan oleh da’i dengan komunikasi interpersonal untuk merubah pikiran, perasaan, dan perilaku mad’u untuk meyakini Islam dan melaksanakan keislaman dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Selain dari sisi psikologis, dalam penyemaian nilai-nilai Islam, da’i pun harus memahami dari aspek kebudayaan yang beragam. Dalam kontekstasi keragaman dalam segala aspek, Indonesia ditasbihkan sebagai salah satu bangsa yang multikultural. Realitas pluralisme ini selain sebagai rahmat, juga menjadi ancaman perpecahan dan perseteruan.
Menyikapi keragaman ini, sebagaimana yang telah dilakukan Rasulullah pada awal dakwah Islam, tidak lantas ditolak dan diharamkan seluruh kebudayaan dan tradisi yang telah ada. Ada tiga model interaksi antara Islam dan budaya yang bisa dicontoh dari Nabi untuk diaplikasikan para da’i masa kini, yaitu:
Pertama, Islam hadir sebagai tahmil yaitu menerima, menyempurnakan dan melanjutkan dari apa-apa yang sudah ada di masyarakat.
Kedua, Islam hadir sebagai taghyir yaitu menerima dan merekontruksi dari tata nilai yang sudah ada kepada arah yang lebih sesuai dengan ajaran Islam. Model interaksi ini misalnya Sunan Kalijaga dengan tetap melaksanakan tradisi pewayangan yang sudah ada di masyarakat, namun dalam segi cerita tidak lagi mengisahkan kepada pemujaan dewa Hindu tapi berisi nilai-nilai yang sejalan dengan Al-Quran dan tokoh yang dilakonkan pun representasi dari rukun Islam, dua kalimat Syahadat – Yudhistira, salat – Bima, puasa – Arjuna, zakat – Nakula, dan haji - Sadewa. Bahkan, syarat utama yang harus dipenuhi untuk bisa menyaksikan pertunjukan ini yaitu membaca kalimosodo yang artinya dua kalimat syahadat.
Ketiga, Islam hadir sebagai tahrim yaitu menghapus tradisi yang bertentangan dengan ajaran. Tradisi yang kontradiksi dengan syariat tidak diperbolehkan. Contohnya yaitu minum khamr, berjudi, dan riba.
Dengan pengaplikasian model interaksi kenabian ini, akan mencitrakan Islam sebagai agama yang bersifat fleksibel dan toleran terhadap budaya yang ada. Da’i harus cermat dan hati-hati melihat tradisi yang sudah berlaku. Selama dalam tradisi tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka tidak salah untuk terjadi interaksi, sampai menemukan titik temu dan bisa berjalan tanpa adanya pelanggaran secara tauhid, sosial dan kebudayaan. Hasil akhirnya adalah terjadi akulturasi dan asimilasi antara Islam dan budaya.
Dengan demikian, jika da’i telah mampu menguasai medan lapangan dengan memahami psikologi mad’u dan sosial-budaya mad’u, internalisasi nilai-nilai Islam akan mudah masuk ke ranah masyarakat multikultural. Kafir mengkafirkan bukanlah jalan yang tepat, tetapi kesantunan dalam penyampaianlah yang menjadi hal wajib diperhatikan untuk seorang da’i. Sehingga, Islam dan masyarakat multikultural dapat beriringan menciptakan harmoni masyarakat yang moderat.