Peristiwa penting yang bersentuhan langsung dengan publik khususnya yang berkaitan dengan pesta demokrasi yang disebut sebagai Pemilu senantiasa menarik perhatian masyarakat. Terlebih, konstelasi politik nasional jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 bisa dikatakan berbeda dibandingkan pemilihan-pemilihan presiden sebelumnya. Panasnya duel antarkubu koalisi partai politik yang mempunyai kepentingan berbeda pada Pilpres 2019 menghadirkan suasana yang menuntut semua elemen masyarakat harus berpikir kritis.
Hal ini pun tidak terlepas dari perhatian media. Media massa, baik cetak maupun elektronik menjadi corong informasi bagi masyarakat mengenai panasnya panggung peropilitikan yang disuguhkan sehingga menimbulkan beragam opini. Dari medialah, khalayak dapat mengetahui kualitas dan kapabilitas serta visi dan misi para kandidat.
Namun, riuh kampanye yang tertangkap media belakangan ini dinilai miskin substansi. Pasalnya, porsi pemberitaan lebih banyak menyoroti gimik-gimik kampanye seperti munculnya istilah 'tampang boyolali' hingga 'politik genderuwo' atau bahkan berita-berita yang sudah lapuk pun digoreng kembali untuk menjadi diskursus antarkubu. Hal tersebut disampaikan oleh pengamat politik sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, Dadang Rahmat Hidayat pada diskusi Gerakan Media Bermartabat untuk Pemilu Berkualitas di Gedung Sate, Jumat (30/11/2018). Menurutnya, media lebih baik memaparkan apa yang ditawarkan kedua capres-cawapres, disajikan dengan data yang akurat sehingga masyarakat memilih karena tahu kebenarannya bukan ‘katanya’. Media dituntut harus mampu menemukan substansi dari fenomena perpolitikan bukan justru menghadirkan perbedaan-perbedaan yang memicu kisruh dan kesalahpahaman masyarakat dalam menanggapinya. Terlebih lagi, masyarakat kita masih berkiblat kepada media konvensional dalam mendapatkan informasi, meskipun penggunaan media sosial sudah masif. Media dalam hal ini menciptakan polarisasi di masyarakat.
Intervensi Bos Media
Di sisi lain, hal yang paling kontras menjelang pemilu atau Pilpres 2019 adalah independensi dan netralitas media yang selalu dipertanyakan. Saat ini, media massa berani mendobrak aturan yang ada. Secara tidak sungkan, media-media saat ini yang berposisi sebagai pendukung Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi saling menggali kelemahan lawan dan meninggikan calon presiden yang didukung dan kemudian disebarluaskan para pendukungnya.
Melihat fenomena yang terjadi, media massa dililit oleh tiga masalah, yakni: partisan, abal-abal dan pemilik yang menjadi politisi. Pakar politik dari Australia Jeffry A. Winters menyebut, media massa menjadi bagian dari oligarki. Sedangkan Herman dan Chomsky (2000) menyebut, ‘kongkalingkong’ sebagai model propaganda baru. Gejalanya terlihat ketika bisnis media mulai diatur oleh tokoh-tokoh yang punya senjata dan uang. Para elit kekuasaan dan elit bisnis berkolaborasi mengatur isi media.
Peta media massa mulai diubah sedemikian rupa, hanya untuk pemuasan nafsu dan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Tidak sedikit bos gurita bisnis media massa di Indonesia menjadikan media-medianya sebagai tunggangan politik. Tak ayal, banyak media massa tidak lagi dijadikan sebagai corong informasi dan kontrol sosial, tetapi menjadi instrumen kampanye pemenangan Pilpres 2019. Setidaknya, pemberitaan yang menekankan kegiatan pemilik media dan afiliasinya terlihat memiliki porsi yang lebih banyak, dibandingkan dengan pemberitaan saingan politiknya. Kendati, upaya media untuk menjaga kode etik, independensi, dan netralitas tetap diusahakan para pekerjanya. Namun, intervensi dari pemilik tak bisa dielakkan, sehingga menimbulkan kesan media berpihak pada satu sisi secara terbuka.
Ketidakindependenan dan ketidaknetralan berita politik dapat diamati dari sejumlah indikator, yaitu adanya bias pemberitaan yang cenderung membela kepentingan pemilik, adanya opini mengenai pemilik dan kelompok afiliasinya, mengandung unsur personalisasi, sensasionalisme, stereotype, juxtaposition/ linkage, keberimbangan dan persoalan akurasi.
Mengembalikan Khitah Media Massa
Bertolak dari carut marutnya media massa di Indonesia, sudah semestinya adanya pengembalian media massa kepada khitahnya. Sebagai pilar ke-4 dari demokrasi setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif, media massa diharapkan memang harus berdiri menjaga ‘jarak’ dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Ia harus mampu menjadi watchdog (anjing penjaga), bukan sebagai penjilat penguasa. Karena ia harus menjadi media untuk mengkritik jika penguasa melakukan sesuatu yang tidak benar, dan juga menjadi penyambung lidah penguasa jika kebijakan yang dilakukan pemerintah bersama-sama rakyat.
McQuail (1992, 2005) berpendapat bahwa media yang berfungsi menyebarluaskan informasi kepada publik seharusnya bekerja berdasarkan prinsip-prinsip: kebebasan, kesetaraan, keberagaman, kebenaran dan kualitas informasi, mempertimbangkan tatanan sosial dan solidaritas, serta akuntabilitas. Selain dari itu, ia pun memberikan penilaian terhadap kualitas media yang terbagi atas empat kriteria, yaitu: kebebasan media, keragaman berita, gambaran realitas, dan objektifitas berita.
Dalam penyajian berita, media harus bebas dari pengaruh tersembunyi pemilik media atau pemasang iklan dalam hal pemilihan berita dan opini dengan menyajikan berita yang beragam dan mengacu pada prinsip keadilan. Realitas yang digambarkan tidak memihak kelompok tertentu dan keobjektifitasan berita pun harus dijunjung dengan mengedepankan fakta dan ketidakberpihakkan.
Pandangan McQuail tersebut pada dasarnya sudah tercakup dalam sejumlah peraturan perundang-undangan mengenai kode etik jurnalistik media massa di Indonesia, misalnya pada media penyiaran televise yang termuat dalam UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan juga dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Terkait dengan pemberitaan yang disiarkan stasiun TV, maka P3SPS menyatakan bahwa stasiun penyiaran dalam menayangkan informasi harus senantiasa mengindahkan prinsip-prinsip jurnalistik, yang terdiri atas tiga prinsip, yaitu prinsip akurasi, prinsip keadilan, dan prinsip ketidakberpihakkan.
Maka dari itu, dalam situasi Pemilu dan bangsa seperti ini, media massa dituntut untuk tetap menjaga independensi, akurasi dan keberimbangan dalam pemberitaan dan penayangan berita-beritanya. Peraturan perundang-undagan dan peraturan lainnya yang menyangkut pemberitaan di media massa harus dipatuhi seluruhnya. Dengan cara ini, maka proses dan hasil Pemilu 2019 diharapkan ikut memberikan solusi atas berbagai problem bangs.
Tidak mudah memang menjaga objektivitas dan independensi media dalam melaksanakan salah satu fungsinya yakni melakukan pendidikan politik kepada masyarakat melalui pemberitaan kampanye Pemilu Presiden 2019. Untuk itu perlu kiranya media tetap profesional, agar tidak terkooptasi kepentingan politik tertentu. Proporsional dalam menyajikan berita terkait dengan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, kontrol dan perekat sosial dalam membangun budaya demokrasi yang berkualitas.
Di satu sisi, masyarakat dituntut kritis terhadap berita yang dikeluarkan media massa. Jangan sampai tenggelam dalam berita yang sebenarnya hanya upaya penggiringan opini, karena bisa dipastikan situasi pemberitaan media massa sadads –meskipun tidak semua– jelang Pilpres 2019 akan seperti 2014, terpecah antara kubu pro dan kontra. Masih ada media massa yang jika diamati tetap berimbang dalam pemberitaannya dan masyarakat bisa menjadikan media tersebut referensi utama. Oleh karena itu, masyarakat harus mau bersinergi bersama Komisi Penyiaran Indonesia dan lembaga-lembaga lainnya dalam mengawasi pergerakan media massa agar tidak keluar dari jalur semestinya.